25. Pinky Childhood

70 10 7
                                    

"To the nearest hospital."

Tentu saja kalimat itu bukan berasal dari mulutku. Walaupun situasi saat ini sedang genting, mukjizat namanya kalau tiba-tiba aku mahir berbicara dalam bahasa Inggris.

Begitu ia selesai mengucapkan kalimat itu, segera kendaraan sekali lagi dibawa oleh supir pengemudi pria yang berambut pirang untuk melaju kencang. Untungnya taksi tadi belum terlanjur pergi dan masih menungguku di pinggir jalan ... yang mana, ya, iyalah! Aku kan belum bayar!

Si Bocah sendiri sudah sepenuhnya tidak sadar. Tubuhnya terkulai lemas dan ... kepalanya malah sepenuhnya menyandar pada pundakku! Woi, Bocah! Ke kanan! Bukan ke kiri! Mama kamu di sini! Tidak enak 'kan, dilihatnya! Siapa juga aku? Pacar juga bukan. Tapi kalau kudorong, nanti malah disangka aku ini pria kasar yang demen akan kekerasan!

Tentu aku tahu kalau ibu di sampingku ini adalah mamanya. Bayangkan saja muka Antony apabila didandani menjadi seorang wanita. Itulah penampakan wajah mamanya.

Tapi ... suhu badan si Bocah saat ini memang terlalu tinggi dan cukup mengkhawatirkan. Euh ... jangan bilang—

"Kamu temennya Agnes?"

"Apa? ... Oh, euh ... iya, Tante."

Iya, 'teman' yang sudah berani-beraninya mencicip bibir anak Tante yang kemarin merona merah tapi kali ini berubah pucat putih. Dan karenanya, mungkin ia demam akibat tertular olehku. Ugh! Kalau dipikir-pikir betulan aku ini, bejat sekali.

"Maaf, yah. Tante malah ngambil waktu kamu."

"Hah? Ga, Tante. Ga ngerepotin sama sekali, kok," jawabku sambil mengangkat kedua tangan dan menggerakkannya ke kiri dan kanan dengan cepat.

Kebalik, Tante. Justru aku yang telah merepotkan kalian berdua. Akulah dalang di balik sakit yang diderita si Bocah. Ugh!

Kami berdua berubah hening dan tidak berbicara lagi setelahnya. Hanya terdengar suara isakannya yang tidak juga berhenti dan terus meremas tangan si Bocah dengan kedua tangannya yang bergetar.

Segera kualihkan tatapanku darinya keluar kaca. Hubungan terlalu erat antara ibu dan anak yang mereka tunjukkan detik itu juga membuatku pedih.

Berdasarkan ingatanku, Mama tidak pernah sekali pun menunjukkan perilaku hangat seperti itu kepadaku. Setiap kali aku jatuh sakit, Bi Inem yang setiap kali menemaniku dan membawakanku makanan serta obat-obatan. Sedangkan Mama? Masak saja ia tidak bisa, jangan pikir bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik! Mama malah sibuk menghadiri berbagai pesta yang digelar hampir setiap hari.

Kalau pun Mama ada di rumah, ia tidak pernah lupa untuk memarahiku. Ocehannya cuma satu, apa lagi kalau bukan mengomel dan mengeluh, bertanya-tanya mengapa aku tidak sepintar Olivia. Aku selalu dibanding-bandingkan dengannya. Menyebalkan.

Keseharianku pun mulai bertambah padat karenanya. Selesai pulang sekolah setelah kegiatan belajar selama delapan jam lamanya, dilanjutkan dengan les berbagai mata pelajaran di rumah, belum lagi kursus etika, berperilaku, dan berbahasa, dan masih banyak lagi yang lain. Begitu terus berulang-ulang hingga masa-masa SMA.

Baru ketika kuliah, saat aku beranjak dewasa dan mulai berani membangkang, aku memilih untuk jarang ke kampus dan selalu pulang larut malam. Bar, lounge, dan club. Ketiga tempat itu kukunjungi bergantian sebagai wadah pelarianku saat itu. Sehingga hasilnya, tentu saja nilaiku berantakan dan mau tidak mau, drop out. Sejak dari sana, tamparan Mama mulai mendarat di pipiku. Kian hari, kesakitan yang ditimbulkannya makin sering kurasakan pada wajahku.

Aku pun bertambah muak saat kuketahui bahwa di dalam tubuh sepupuku itu malah bukan mengalir darah seorang Hartanto. Mama lebih memilih dia daripada aku. Semua Hartanto lebih memercayakan perusahaan dan seluruh keuangan kepadanya daripada kepadaku.

Tidak terkecuali Papa.

"We're here," ucap supir taksi seraya menginjak pedal rem. Ingatan menyakitkan itu pun segera buyar oleh suara bariton yang dikeluarkannya.

Dan nilai yang tertera pada layar di dashboard-nya ... enam belas dolar! Tidakkk! Uangku tidak cukup!

Bagaimana ini, bagaimana?!!! Apa aku kabur saja? Lalu bagaimana dengan si Bocah? Aku tidak mungkin meninggalkannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Mana ada mamanya pula! Tidak bagus dong, nilai aku nanti di matanya!

"Thank you, thank you," ucapnya seraya menyerahkan uang lebih banyak daripada nominal yang ditunjukkan.

Oh, wow! Tante! Aku mencintaimu, sungguh! Berkatmu, aku tidak akan menjadi buronan lagi akibat gagal membayar taksi! Thank you, Tante! Thank you!

Kuikuti langkahnya turun dari sisi pintu mobil yang berlawanan. "Biar sama saya aja, Tante," ucapku segera ketika melihatnya hendak membawa keluar anaknya.

Untung saja otot-otot di sekujur tubuhku tidak semuanya melempem karena demam yang juga kemarin kualami. Buktinya mereka semua masih dapat berfungsi dengan baik di saat kuangkat tubuh si Bocah. Euh ... koreksi. Hanya di kisaran tujuh puluh persennya yang masih bisa bekerja karena rencanaku semula untuk membawanya ala bridal style gagal seketika. Tadinya ingin terlihat keren, tapi tidak jadi. Dengan terpaksa kuputuskan untuk lebih baik menggendongnya saja.

"Terima kasih, terima kasih," ucapnya lagi.

Sebelum kecanggungan kembali menyerang melihatnya yang begitu ringkih, kurus, tua, dan berkeriput tengah mengkhawatirkan kondisi anaknya, namun tanpa henti terus menundukkan kepalanya berkali-kali kepadaku, aku memilih untuk berlari duluan masuk ke dalam area rumah sakit dengan beban tubuh si Bocah di punggungku.

Klik!

Bunyi itu lagi. Suara itu kembali timbul diiringi dengan rasa nyut-nyutan di pergelangan kaki kananku. Namun selain bunyinya yang lebih keras daripada biasanya, juga aw! Kenapa sekarang perih sekali?! Padahal biasanya tidak pernah sesakit ini.

"Help, help," pinta ibunya dengan suara yang berubah serak diiringi isakan.

Tidak, Bima. Kuatkan dirimu. Tahan, tahan. Jangan sampai jatuh. Tidak lucu kalau kondisi si Bocah menjadi bertambah parah akibat dirinya tidak sengaja kulempar.

Beberapa dokter dan perawat berlarian ke arahku dengan cepat. Mereka meraih tubuh si Bocah, membaringkannya di atas ranjang yang entah sejak kapan sudah tersedia, dan langsung mendorongnya pergi. Aku dan ibunya bergegas, turut mengikuti mereka semua di belakang.

"Tante? Tante gapapa?" tanyaku seraya membantunya berdiri yang tiba-tiba jatuh tersandung.

"Terima kasih, yah. Terima kasih," ucapnya lagi. Getaran hebat masih tampak pada kedua tangannya yang dilabuhkannya pada lenganku untuk dijadikannya tahanan guna mengangkat tubuhnya bangkit.

Kami berdua berdiri di depan pintu yang bertuliskan "EMERGENCY" di atasnya. Si Bocah tampak dari balik salah satu tirai di sudut, jarum infus sudah dipasangkan memasuki pembuluhnya. Sedangkan seorang perawat masih tetap berdiri di sampingnya, tengah melakukan pengecekan tekanan darah padanya.

"Sofia!"

Suara itu. Suara bernada bas yang jelas kukenal dan tidak akan mungkin bisa kulupakan. Aku berbalik dan menatapnya dari kejauhan tengah berlari kian mendekat.

"I just read your text."

Ia yang asing bagiku, tapi darahnya yang sama juga ikut mengalir di dalam tubuhku. Aku yang terlahir darinya, namun ia lebih memilih pekerjaannya daripada berada di sisiku.

"How's Agnes?"

Papa muncul di hadapanku dan sekali lagi, bukan namaku yang keluar dari mulutnya, tapi orang lain yang justru dikhawatirkannya.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang