40. Pinky Truth

112 9 6
                                    

Kemarin-kemarin waktu kakiku tidak bermasalah pun aku ogah membuka kedokku padanya karena aku serba tidak berkecukupan dan terlalu melarat. Kenapa harus sekarang? Kenapa Papa harus berada di sini, menyaksikan diriku yang menyedihkan dan sungguh memalukan begini?

"Halo, Bima."

Bahkan Papa memanggil nama asliku, bukan Pierce. Mau mengulang kabur pun mustahil dengan kondisiku yang seperti ini. Aku sudah tidak bisa menyangkal lagi.

"We'll give you two some space," ucap Antony memecah keheningan dan kecanggungan.

Hah? Tidak! Jangan tinggalkan aku berdua saja dengan Papa! Please! ... Eh? 'We'?

"Wait!" Satu lagi suara muncul.

Kukira hanya kami bertiga di sini, ternyata dia juga hadir. Yang mana, pastinya! Ada Antony, jelas ada dia. Lebih nempel daripada prangko, bahkan mereka berdua sudah seperti diborgol satu sama lain, tidak bisa lepas dan terpisah.

"Aw, Liv!" pekikku keras, kenapa lagi kalau bukan karena sandalnya kembali mendarat di kepalaku tanpa permisi. "Sakit! Gue pasien—aw! Di sini—aw! Inget?!"

"Oh, shut up with that stupid patient thing! Yang sakit kan kaki lo, bukan kepala lo! So I can do whatever I want with your f—ckin' head!" balas Olivia galak.

Kali ini aku sungguh membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan wanita perkasa ini supaya berhenti menyiksaku, tapi kenapa Papa cuma berdiri diam saja di sana?! Pa! Tolong aku!

"It's because of you, you stupid moron! Gara-gara lo, jadi gue juga kena marah Uncle! Kenapa lo dateng ke gue buat minta tolong oplas, sih?!" Walaupun sandalnya sudah pindah kembali ke tempat yang seharusnya, namun kali ini cekikannya yang malah mendarat di leherku dengan kuat.

"C'mon, Liv," ajak Antony dan segera menarik lengannya.

Huff! Akhirnya aku bisa kembali bernapas. Antony! I love you! Bawa pergi istrimu, cepat!

"You can make him suffer later," tambahnya.

... Hah? Jangan! Dasar suami-istri. Baru juga married, tapi virus kekejaman Olivia seakan langsung menular padanya. Mengerikan!

"By the way," ucap Antony sebelum melangkah keluar ruangan, "betul meningkat pesat, ternyata."

"Seriously? You're not joking?" tanya Olivia tidak percaya. "So we can't talk badly about him like this anymore?"

"Heh? ... Kalian berdua ngomongin yang jelek-jelek tentang gue?" tanyaku memastikan. Bahkan kalau bisa aku ingin tahu ejekan macam apa yang sudah berani-beraninya mereka keluarkan mengenai diriku yang sempurna ini. Sialan!

"D—mn! ... Well, I guess I have to admit, Anna's such a great tutor," tambah Olivia yang diiringi anggukan kepala Antony di sebelahnya, sepenuhnya mengiakan pernyataan istrinya.

"... Apa? Kalian tau dari mana soal An—"

Bukan Olivia namanya kalau tidak menjeblak pintu di saat kalimatku belum selesai kuucapkan. Kurang ajar! Aku ini lebih tua setahun darinya! Tapi aneh juga. Kok bisa tahu kalau aku ada tutor baru? ... Euh, sudahlah. Sekarang ada yang jauh lebih penting daripada itu!

Papa berjalan kian mendekat, menarik salah satu kursi hingga tepat berada di samping ranjang, dan segera duduk di atasnya. Euh, tolong jauh-jauh, Pa. Ugh! Apa yang mau dibicarakannya kali ini?

"So," mulainya disertai tatapannya yang tidak beralih dariku, "you change your whole face."

Aku memilih untuk tetap diam dan tidak berkata. Apa juga yang perlu kuucapkan ketika ia mengamati wajahku dengan penuh seksama, dan jelas-jelas kedua matanya bisa melihat kalau rupaku telah berubah drastis menjadi sosok yang baru, sosok yang jauh berbeda dari Bima Hartanto. Yang sama cuma kehadiran tahi lalat itu yang mampu tumbuh kembali di sisi mulut walaupun sebelumnya sudah pernah dicabut pinset oleh Professor Lawh sehingga ukurannya tidak sebesar dulu lagi.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang