39. Pinky Diagnosis

78 9 5
                                    

"Euh ...."

Aku mengerang panjang, meregangkan kedua tangan jauh ke atas, seketika bangun dan ... hm? Tidak sakit sama sekali! Wow! Secepat itu langsung sembuh? Bisa, yah?

Kucoba sekuat tenaga untuk bangkit, menggunakan kedua siku lengan sebagai tahanan untuk mengubah posisi yang semula terbaring telentang menjadi duduk di atas ranjang yang terlampau keras dan tidak mengenakkan.

Hiii!

Kengerian keluar begitu saja ketika netraku tepat menatap ke arahnya di bawah sana.

Kaki kananku menekuk sembilan puluh derajat, betisnya bertumpu pada sebuah kotak ... kayu, mungkin? Dan yang paling menyeramkan, balutan perban yang awalnya kupakaikan asal padanya saat ini sudah lenyap, memperlihatkan pergelangan kakiku yang warnanya biru keunguan dan bengkak raksasa. Juga hadirnya selang panjang yang menusuk masuk, mengalirkan darah kehitaman keluar darinya menuju sebuah labu di atas lantai yang sudah tertampung mencapai setengah isinya.

Oh, tidak. Separah itu? Terus ... AH! Bagaimana hasilnya tadi? Jangan bilang aku ambruk, terjungkal memalukan di depan si Kakek Mesum!

"Udah bangun?"

"Kenapa gue di sini?!" Pertanyaanku yang diiringi kepanikan serentak keluar di hadapan Antony. "Di mana si Kacamata? John? ... Marci Nielk?"

Aku masih menjadi modelnya, 'kan? Mereka tidak memecatku, bukan? Tidak, tidak, tidak! Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan itu sekarang!

"Dasar bego! Masih bisa lo mikirin itu sekarang?! Liat kaki lo!" bentak Antony memarahiku.

Hahhh ... untuk apa juga mengkhawatirkan kondisi kakiku. Harapanku lenyap, mimpiku sirna, masa depanku bye-bye.

"Kenapa lo di sini?" ucapku asal dan kembali berbaring serta menutup kedua mata, pasrah akan keseharianku kelak yang alamat suram dan menyedihkan.

"Lo gila, Bim! Bengkak gitu, malah dibuntel perban?! Kenceng banget lagi! Ampir aja kaki lo harus diamputasi!"

Amputasi? Terserahlah. Terpilih jadi model Marci Nielk pun si Bocah tidak mau denganku, apalagi sekarang? Ketika aku pincang begini dan tidak memiliki pekerjaan. Jangan harap, Bima.

Ya, mimpiku ketinggian. 'Masa depan dengannya'? Ngelantur apa juga aku ini. Betul-betul tidak tahu malu.

"Bim! Kaki lo harus secepetnya dioperasi!"

"Ha-ha-ha." Tawaku keluar sinis menanggapi kalimatnya. "Operasi? Duit dari mana?"

Beberapa detik Antony terdiam sebelum akhirnya mengembuskan napas. "Dad's here."

" 'Dad'? ... Papa?!" pekikku dan kembali mengayunkan setengah bagian tubuhku bangkit, menatapnya dengan kedua mata terbelalak.

Tidak cukup satu, Papa bahkan mengakui Antony juga? Apa aku memang berkekurangan sekali, sampai-sampai setelah aku dibuang, Papa langsung mengambil dua anak baru?

"Kenapa Papa bisa di sini?!"

"Gue yang kasih tau," ucap Antony tanpa merasa bersalah. Ia bahkan melipat kedua tangannya di dada dengan rautnya yang datar.

"Lo—"

"Untung Benjie denger bunyi ringtone dari kamar lo! Dia bahkan sampe harus nyodok-nyodok bawah kasur lo buat nemuin— ... okay, I don't know what's happening between you and Agnes but, kenapa HP dia bisa ada di kamar lo?!"

"D—"

"John bilang lo di rumah sakit," potongnya segera di saat aku baru mengucapkan huruf pertamanya saja, "plus kaki lo ada kemungkinan harus diamputasi. Jadi, I had to tell Dad right away."

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang