29. Pinky Misery

78 8 2
                                    

"Hello, Poop."

... Apa, apa? ... Ha-ha-ha. Tidak mungkin.

Apa demam mengakibatkan otaknya sedikit korslet? Mungkin maksudnya mau bilang 'Pierce' kali, yah. Cuma tidak sengaja terpeleset karena huruf depannya sama-sama P. Poop, Pierce, Poop, Pierce. ... Ya, sebelas dua belas-lah. Sama-sama satu suku kata. Hiii! Ngeri juga ternyata demam itu kalau terlalu tinggi. Makanya harus banyak minum. Jangan sampai dehidrasi seperti si Bocah.

"Lo ... manggil gue apa ... tadi?" tanyaku sekali lagi dengan terbata-bata, berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku telah salah dengar.

"Poop," ulang si Bocah dengan raut wajah yang terlalu datar, "Flies' Po—"

"Diem! Bukan Mencr—t!" potongku kesal, "Nama gue Bima! Bim—"

... Eh? Oops!

Si Bocah menatap mukaku dengan kedua matanya yang menyipit, menyaksikan dengan mudahnya kedokku terbongkar. Bahkan kebenaran keluar dari mulutku sendiri. Ugh! Bodoh betul aku ini!

"Loh? Tunggu!" Aku meraih lengannya yang kemudian sekali lagi disingkirkannya. "Mau ke mana?!" tanyaku kebingungan kepadanya yang melanjutkan melangkah sambil terus meraba permukaan dinding untuk membantunya yang masih terlalu lemah.

"Rumah," jawabnya singkat tanpa menatapku.

... Sudah? Itu saja? Tidak ada satu pun pertanyaan yang hendak diajukannya padaku? Seperti, kenapa aku melakukan oplas, misalnya. Atau, kenapa aku harus repot-repot mengubah identitas. Atau ... kenapa aku tidak jujur padanya sejak awal.

Bocah! Sebegitu tidak pedulinyakah kamu pada diriku ini? Apakah bagimu aku betul-betul tidak berarti?

"Dokter masih belum bolehin lo pulang!" teriakku, berusaha sekali lagi untuk menahannya pergi.

Ia mengembuskan napas dengan keras dan akhirnya menoleh menghadapku. "Lo ga bisa bahasa Inggris."

Ugh! Kebohonganku dengan mudah diketahuinya. Asli, deh! Semua Darmawangsa punya kemampuan lebih kali, yah? Membaca pikiran? Sixth sense? Siapa sebetulnya mereka? Penyihir? Iblis? Hiii! Vampire! Buktinya muka si Bocah tampak jauh lebih muda daripada umurnya.

"Ah," pekiknya dan tubuhnya hampir saja jatuh. Keringat tampak mengalir di dahinya dan napasnya terengah-engah.

"Ayo, balik lagi tiduran," ajakku supaya kembali.

"GA!"

Baru kali ini si Bocah berteriak keras. Ia menarik tangannya terlalu kencang hingga peganganku lepas, sepenuhnya menolak untuk sekali lagi melangkahkan kaki ke sana.

Kedua netranya tidak mengarah kepadaku. Tatapannya lurus, tertuju pada ruang tempatnya barusan dirawat. Dahinya berkerut dan bola matanya kian lembap. Deretan giginya yang teratur menggigit bibir bawahnya, terlalu keras hingga menghasilkan tekanan yang menjadikannya memutih. Air mata segera saja meluap keluar membanjiri kedua pipinya yang masih terlihat pucat.

Bodohnya aku ini. Tentu saja trauma akan kepergian ayahnya bukan cuma dialami oleh mama Bocah. Kenapa aku bisa lupa? Waktu pertama kali kami bertemu, ketika aku mengungkit ayahnya karena kupikir ia kabur dari rumah, perempuan di hadapanku ini, wanita galak yang biasanya perkasa dan selalu terlihat ceria, saat itu tidak bisa menutupi kesedihannya dan hampir menangis di bawah guyuran hujan.

Sekali lagi rasa bersalah kurasakan. Kalau saja aku tidak melakukan hal bejat itu kepadanya, kalau saja nafsuku sanggup kuredam, kalau saja ia tidak menjadi tutorku, kalau saja ... si Bocah tidak bertemu denganku, ia tidak akan menangis seperti sekarang.

"Ayo."

Kukeluarkan suara untuk menyadarkannya agar mengalihkan pandangannya dari sana, dari arah ruangan itu, dari tempat mengerikan yang telah merenggut orang yang dikasihinya.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang