3. Pinky Slump

178 19 18
                                    

"Lepas!"

Aku berteriak keras dan mencoba mendorong tubuh besarnya yang tiba-tiba menindihku tanpa permisi. Tiada kalimat sapaan sebelumnya, sosok asing ini muncul begitu saja di sel tahananku yang seharusnya terkunci rapat.

Padahal aku—Papa sebetulnya, via si Badut. Aku mana punya uang!—menempati sel pribadi ini yang harganya ratusan juta, atau mungkin lebih. Tadi aku katakan 'pribadi,' yang artinya seharusnya cuma aku sendiri yang berada di dalam sini. Tapi apa ini? Seseorang yang berat malah menunggangi tubuhku seenaknya. Benar-benar tidak tahu aturan!

Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ruanganku sepenuhnya gelap gulita dan tanpa pencahayaan sedikit pun. Aku terbiasa tidur dalam keadaan mati lampu, tidak terkecuali saat ini, ketika aku sangat perlu sedikit beristirahat di balik jeruji tahanan setelah beberapa hari tidak bisa terlelap.

Sret!

Hah? Tunggu ... dia ngapain?

Tentu aku mengenali suara ritsleting itu ditambah dengan punggung tangannya yang tidak sengaja menggesekku, kurasakan bergerak turun dengan cepat ke bawah. Keparat! Monster gila di atasku tengah menurunkan celananya.

"Lepas!" bentakku sekali lagi seraya mendengkul pusaka di antara kedua pahanya menggunakan tempurung lutut kiriku yang keras.

Pria itu mengerang dan tubuhnya jatuh berdebam dari ranjang hingga menimbulkan suara benturan yang kencang. Rintihan yang barusan keluar dari dalam mulutnya mirip dengan suaranya yang pernah kudengar sebelumnya. Segera aku bangkit melangkah turun, namun sempat terjatuh dahulu sebelumnya karena kekuatan di kaki kananku yang hilang. Kutekan saklar di samping pintu masuk, secepatnya menghidupkan penerangan untuk memastikan kalau sosok bajingan itu adalah betul ia yang kukenal.

"Halo, Bim," sapanya kesakitan, masih juga meremas gagang panjang yang merupakan benda paling berharga dari setiap pria. Aku yang juga memiliki barang yang sama, entah bagaimana ikut merasakan penderitaannya, perih dan ngilu membayangkan milikku miring menyerupai Menara Pisa seperti kepunyaannya yang barusan kuserang. Aku sendiri pernah tidak sengaja membenturkan ituku ke sudut yang lancip. Dan rasanya, jangan ditanya. Seperti dihukum mati di tempat dan kepalaku dipenggal sampai lepas. Betul-betul menderita.

"Bara," panggilku dengan amarah yang memuncak. Dasar biseksual tidak tahu malu, berani-beraninya malah mengincar diriku yang lurus ini.

Sial! Hampir saja keperawananku direnggutnya. Tidak lucu sekali kalau aku harus merasakannya bersama dengan si pemilik Ba Kingdom yang menjijikkan, di dalam penjara pula. Hoekz! Apalagi biasanya pengalaman pertama itu paling berkesan, bukan? Yang terus dikenang dan tidak akan terlupakan untuk selamanya.

Ya, aku belum pernah menghabiskan malam dengan wanita mana pun. Semua berita itu hanya akal-akalanku saja supaya namaku terdengar dan tidak tenggelam ketika lawanku adalah Olivia Hartanto, cucu kebanggaan yang ahli dan pintar dalam meneruskan usaha keluarga.

Pernah sekali aku hampir kebablasan. Saking emosinya ketika fotonya tercetak besar di bawah judulnya yang betul-betul berukuran raksasa—"OLIVIA HARTANTO, PEWARIS TUNGGAL KEKAYAAN HARTANTO, DIKABARKAN TELAH TINGGAL SATU ATAP DENGAN CALON SUAMINYA."

Kenapa juga ketika ia berbuat cabul, beritanya super heboh dan dibesar-besarkan? Sedangkan aku, ketika dengan sengaja aku keluar dari hotel dengan cewek itu—yang bahkan namanya pun aku sudah lupa karena aku mampir ke sana kurang dari lima menit lamanya cuma untuk memberikannya uang—artikelnya hanya tertulis, "SALAH SATU CUCU KONGLOMERAT HARTANTO SEKALI LAGI DITEMUKAN MENGHABISKAN MALAM DI KAMAR HOTEL BERSAMA KARYAWANNYA." Bukan hanya mereka tidak mencantumkan namaku, tapi isi berita tersebut juga terdiri dari satu paragraf saja. Sial!

Karena terlalu marah, aku menarik tangan salah satu dari perempuan hobi gosip itu yang kebetulan berada di depan ruangan kerjanya, tengah sibuk menguping pembicaraan di dalamnya. Kubawanya ke salah satu penginapan terdekat dan otakku bahkan sudah kepikiran untuk menelanjanginya. Untung saja ketika tanganku telah siap untuk membuka kancingnya, baru kusadari kalau pakaiannya berwarna hitam dari atas sampai ke bawah. Hoekz! Warna kesukaan Olivia! Seketika aku kembali sadar dan tidak jadi khilaf. Phew!

"Ga usah jual mahal, Bim," tantang Bara, akhirnya mulai bangkit berdiri walaupun bola matanya kuperhatikan basah karena rasa sakitnya pasti masih terasa. "Gue juga tau lo ga akan tahan di sini tanpa aktivitas panas, 'kan?"

Hah? Ngomong apa tadi? Seenaknya menyamakan diriku dengannya yang sudah diselimuti nafsu. Bahkan tadi bau napasnya tercium oleh lubang hidungku dan aromanya tidak perlu ditanya. Menjijikkan.

"Keluar, sebelum lo gue habisin," ancamku tajam padanya yang masih juga mengamatiku dengan tatapan nakal. Betul-betul mau muntah. Untung tadi dia tidak berhasil menciumku.

Bara tertawa kencang dan akhirnya sanggup untuk berdiri tegak. "Bima Hartanto, cucu konglomerat ternama yang bodoh dan tidak becus," mulainya seraya mengacak-acak rambutnya. "Berbeda dari sepupunya, Olivia Hartanto, Bima adalah benalu dalam keluarga, tidak berguna dan tidak diharapkan."

Bara mengulas setiap artikel yang muncul di media massa. Tentu aku tahu betul karena setiap harinya sejak aku mulai mendekam di sini, waktuku kuhabiskan untuk membaca semua berita mengenai diriku dari ponsel yang berhasil kuselundupkan. Mau tahu apa yang membuatku sakit hati? Tidak ada satu pun yang mengulas caraku berbusana! Gah! Bagaimana, sih?! Para designer di luar sana, kumpulan model dan influencer sejagat raya, mata kalian buta?!

"Gue tau, lo juga mau sama gue. Betul bukan, Bim?" godanya seraya berjalan kian mendekat. Bahkan pakaiannya saat ini sudah lepas seluruhnya, memperlihatkan dadanya yang berbulu lebat dan berkeringat. "Lo gay, 'kan?"

Aku terdiam dan menundukkan kepala. Tuduhan itu lagi. Ketika membacanya dari layar telepon genggam pun rasanya seperti tersambar petir. Bahkan aku sampai menatapnya beberapa menit, berulang-ulang menelitinya karena tidak percaya dan kukira indraku yang bermasalah.

Kurasakan tangannya mendarat di atas pundak dan ia menyalurkan sebuah remasan pelan. Aku bahkan tidak ingat lagi siapa diriku saat ini. Secara refleks, kujatuhkan tubuhnya dengan sebuah sapuan yang kuarahkan langsung ke lututnya. Ia terpelanting ke bawah, tidak sempat melawan teknik judo yang kulayangkan padanya.

Memangnya supaya lelaki ditakuti dan disegani harus selalu memiliki goresan tato atau bekas luka di tubuhnya? Memang ada yang aneh dengan pria yang tubuhnya mulus dan halus sepertiku? Kenapa memangnya dengan laki yang menyukai warna merah muda?

Aku meninju mukanya. Lagi dan lagi. Aku tidak berhenti walaupun Bara telah terkapar telentang di atas lantai dan dari mulutnya terus keluar darah segar. Bahkan beberapa giginya pun sepertinya copot.

Walaupun buku tanganku perih dan sakit, seranganku bertambah kuat dan kasar. Seperti kesurupan setan, pukulan demi pukulan terus keluar bertubi-tubi. Kuluapkan segala kekesalan yang selama ini terpendam kepadanya.

Hadiah terakhir kuberikan padanya sebelum aku ditarik ke belakang oleh dua orang penjaga tahanan. Kengerian akhirnya terhenti dan aku kembali sadar serta mengingat kembali semuanya.

Berbahagialah kalian muda mudi, lelaki dan perempuan, di balik jeruji maupun di luar sana. Berkatku, berkurang satu jumlah bajingan keparat seperti dirinya yang hobi berbuat cabul. Mulai detik ini, berbekal tangan kananku yang nantinya mungkin akan panuan dan kudisan karena terpapar oleh kumannya, aku telah mengubah monster di hadapanku menjadi jinak. Ya, batangnya bengkok 90 derajat dan Bara kupastikan selamanya menjadi impoten.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang