2. Pinky Choice

234 25 27
                                    

"Iya!"

"Ga!"

"Iya!" paksaku lagi dengan nada yang jauh lebih menekan.

"Ga!" tolaknya lagi seraya mengerahkan tenaganya lebih kuat.

"NOOO!" teriakku dengan sangat keras di saat ia berhasil meraihnya dari genggamanku dan suara robekan yang menyakitkan terdengar oleh indra pendengaranku. Argh!

Memang kekuatan emak-emak tidak mungkin untuk dilawan. Walaupun aku yang anaknya ini memiliki ketinggian tubuh 177 sentimeter, jauh lebih tinggi daripadanya, tapi tetap saja kalah dan tenaga yang dikerahkannya bahkan melebihi kumpulan babon di kebun binatang.

"No more pink!" perintahnya sambil menatapku yang tidak berdaya dan terpuruk di atas lantai.

Kenapa juga dia melarangku untuk mengenakan jas yang mana asli buatan Paris dan berkancing bling-bling? Padahal ini adalah hari yang bersejarah, hari penting yang hanya terjadi sekali dalam hidupku, hari di mana wajahku akhirnya dipastikan bakal muncul di semua media yang ada, mengalahkan sepupuku yang menyebalkan itu karena beberapa bulan belakangan ini mukanya terus menghiasi halaman pertama surat kabar.

Memang kehidupanku bakal hancur nantinya. Tapi kapan lagi aku bisa mendapatkan perhatian semua orang?

Kenapa dia tidak pernah menyukai seleraku? Sejak awal aku melakukan ini semua untuk menarik perhatiannya, mengembalikan sikap keibuannya supaya ditujukan pada diriku seorang, anak satu-satunya yang betul-betul lahir dari rahimnya.

Saat dulu aku kecil dan jaman masih kuno, aku hanya bisa pasrah saja. Tapi sekarang kan sudah berubah. Jaman now, gitu! Kenapa perempuan boleh menyukai biru atau hitam, tapi laki-laki dilarang memakai pink. Why?!

Padahal para staf wanita di kantor semuanya tanpa henti memujaku. Bahkan ada juga setengah lelaki yang berani-beraninya menghampiriku. Jijik! Sonoh! Jangan deket-deket! Masing-masing memuji setiap pakaian yang kukenakan dan menyembahku selalu.

Perempuan itu, contohnya. Siapa namanya? Betty? Belda? Pokoknya dia yang bertubuh bongsor dan selalu saja mengenakan rok ketat sepaha. Bahkan pernah sekali waktu dia tanpa sengaja memperlihatkan celana dalam merah berenda yang tengah dikenakannya. Sayang sekali bukan pink. Hei! Jangan salahkan aku! Sudah tahu roknya pendek, jaga postur duduknya, dong! Atau mungkin memang disengaja. Dasar wanita penggoda, tidak tahu malu. Tentu aku ogah berdekatan dengannya. Mana dia sudah menikah pula. Dan lagi, dia bukan tipeku.

Atau juga, Rena? Reni? Rina? Tidak tahulah siapa. Wanita berparas lumayan dan bertubuh pendek, namun berupaya menjadi lebih tinggi dengan memakai sepatu hak yang ketinggiannya betul-betul mengerikan. Untung saja aku mengurungkan niat untuk menciumnya karena napas hangat yang keluar dari mulutnya yang berbau bleh! Aku pun tidak tahu bebauan apa itu. Campur aduk antara durian, petai, ditambah dengan morning breath. Hoekz! Menjijikkan! Sepertinya dia lupa sikat gigi. Memikirkannya kembali pun aku seperti mau muntah.

Masih banyak lagi yang lain dan tidak mungkin kusebut satu per satu. Tapi intinya, mereka semua tidak mempermasalahkan fashion yang kukenakan.

Tapi apa komentar yang dilontarkan wanita di hadapanku ini?


"Wow, Olivia~. Pintar sekali kamu! Auntie proud of you!"


Atau juga,


"Olivia~. Auntie lebih milih kamu jadi anak, loh!"


Olivia, Olivia, OLIVIA terus! Menyebalkan! Padahal siapa juga dia? Perempuan asing yang tidak memiliki darah yang sama denganku. Wanita kasar yang aslinya merupakan anak dari seorang bodyguard.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang