24. Pinky Fever

80 9 5
                                    

"Next!"

"... Euh ...."

"Next!"

Oh, my God! Asli deh, bahasa Inggrisku ini. Cuma untuk memesan makanan saja susahnya minta ampun. Padahal perut sudah sejak tadi keroncongan dan terus menerus mengeluarkan bunyi terompet yang memalukan. Tapi semua saraf di otak seperti macet dan terbelit satu sama lain. Alhasil, tidak ada satu pun kata yang berhasil keluar dari dalam mulut.

"Next!" teriak pelayan pria berbadan besar itu lagi dengan lebih keras dari balik kaca akrilik yang memisahkannya dari semua pelanggan. Ia tidak terlihat seperti bule pada umumnya karena kulitnya sedikit kecokelatan dan warna rambutnya pun hitam legam, jelas sebangsa dengan staf satpam di kantor Olivia.

Antrian berbaris di belakangku, sangat panjang hingga berbelok-belok berbentuk ular hingga mencapai pintu masuknya. Suara ocehan mereka di belakang makin bertambah keras karena aku tidak juga melangkahkan kedua kakiku maju walaupun di depanku sudah kosong.

"... No English?" tanyanya. "Qué quieres?"

Euh? Bahasa Meksiko, kah? Inggris tidak bisa, malah muncul bahasa alien lain yang jauh lebih mengerikan terdengarnya di lubang telingaku.

"English, euh ... yes, yes," ucapku terbata-bata. Hanya segelintir kata itu yang tiba-tiba saja terpikirkan olehku. Ugh! Benar-benar aku ini. Memalukan sekali.

Si Bocah, sih! Bukannya mengajariku yang penting dan betul-betul terpakai untuk percakapan sehari-hari seperti sekarang ini, malah ngomongin burung dan pisang. Jadi begini kan hasilnya!

Tapi bagaimana juga cara memesannya? Di atas meja antara aku dengannya sudah tampak wadah demi wadah berjejer rapi. Masing-masing di dalamnya berisi berbagai sayuran mentah, jagung, potongan tomat, kacang, aneka macam bumbu kental, keju, dan masih banyak lagi yang lain. Apa juga itu yang warnanya hijau dan teksturnya benyek? Guac-kah?

"Okay. So,"—pelayan tadi menunjuk daftar menu yang tergantung pada dinding di atas kepalanya—"number one, two, three, or four?" tanyanya. Untung saja ternyata ia aslinya cukup ramah.

Satu, burritos. Dua, tacos. Tiga, bowls. Empat, salad. Sepertinya dari pertanyaannya barusan, ia memintaku memilih salah satu dari empat opsi yang tersedia. Tentu saja bye-bye salad. Saat ini aku sedang enggan menikmati rumput hijau seperti seekor kambing di tengah ladang. Jadi skip nomor empat. Euh ... burritos atau tacos, yah? Yang aku paling tidak mengerti nomor tiga, bowls. Apa juga maksudnya mangkuk? Aku ke sini mau makan, bukan membeli mangkuknya!

Kelihatannya pelayan tadi memahami kebingunganku. Siapa juga yang tidak tahu ketika aku tetap berdiri di hadapannya dengan mulut yang sepenuhnya terbuka dan lama sekali ketika melakukan pemesanan.

"Okay," ucapnya akhirnya, "how about this? I'll make you my favorite. Trust me, you're gonna like it. Okay?"

Euh, apa katanya? Bisa tidak tolong bicaranya jangan terlalu cepat begitu. Masih juga aku loading di kalimat pertama, ia sudah nyerocos ke yang berikutnya.

"Okay, okay," ucapku segera sambil mengikuti gestur tangannya yang membentuk huruf O dengan menempelkan ujung jari telunjuk ke jempol dan membiarkan tiga sisanya mencuat ke atas. Lebih baik iya-in saja deh, daripada aku nanti dimaki-maki oleh kumpulan konsumen yang sudah semakin tidak sabar.

Segera saja ia meraih sebuah mangkuk berwarna putih kusam yang terbuat dari ... gabus, mungkin? Atau styrofoam? Euh, entahlah. Pokoknya mangkuk, dan menyendokkan berbagai bahan ke dalamnya hingga membentuk bukit. Nasi yang pertama kali dimasukkannya pun saat ini sudah tidak tampak, sepenuhnya tertutupi oleh gundukan sayuran di atasnya.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang