"... Hah? Di kamar lo?" tanyaku tidak percaya.
Dasar bocah tidak berotak! Apa dia tidak sadar siapa aku ini? Apa perlu aku membuka semua baju dulu baru ia sadar akan kehadiran tongkat panjang itu di antara pangkal kedua paha yang tidak dimiliki semua wanita?
Aku ini laki-laki! Dan sekali lagi, bukan gay! Aku pria normal ... euh, mungkin tidak normal karena di dalam otakku terus diputar berulang-ulang adegan panas yang pernah terjadi antara aku dengannya.
Okay, cukup, Bima. Cukup. Pikirkan hal lain yang tidak ada kaitannya dengan kejadian kemarin. Apa mau benda itu sampai bangun dan kembali berdiri tegak di sini? Di rumahnya? Ketika semua anggota keluarganya juga berada di sini? Tidak lucu itu namanya.
Jadi intinya, kenapa aku harus bermalam di kamarnya?!
"Iya. Noh, di lantai. Atau lo mau di seberang? Di kamar Mama?" tawarnya santai.
Heh, Bocah! Sudah gila?! Bukannya memberikan dirimu padaku, tapi ... kamu malah menawarkan mamamu?! Aku memang menyukai wanita, tapi bukan berarti aku mau dengan siapa pun asalkan cewek! Jadi, maaf, mama Bocah. Aku menolakmu.
"Gue ke kamar Antony aja," ucapku dan melangkahkan kaki untuk segera keluar. Bisa gawat kalau berlama-lama berduaan di dalam kamarnya.
"Yakin?" tanyanya segera di saat aku sudah meraih pegangan pintu. "Olivia bisa aja ada di dalem juga."
"Ga mungkin, lah!" bantahku kelewat pede, "Ada mama lo kan di rumah? Mana mungkin dia bawa ceweknya bobo bareng?"
Ya. Tidak mungkin, tidak mungkin. Antony kan kutu buku. ... Tunggu. Lakinya boleh kalem, tapi pasangannya kan tidak! Jangan bilang keperkasaannya menang dan saat ini ia sedang menindih suaminya yang sepenuhnya tidak berdaya di bawah kekangannya. Atau jangan-jangan ... diikat di ranjang? Dicambuk plus ditutup mata? Es batu, jepitan baju, juga ... candle wax?! Mengerikan!
"Terserah. Gue udah kasih lo peringatan, yah," balas si Bocah tidak membantu.
Euh ... masuk kamar Antony terus ada Olivia? Hiii! Entar disangka threesome lagi! Hoekz! Jijik!
Tapi kan tidak bagus juga kalau aku di kamar si Bocah. Berdua bukan berarti lebih mending daripada bertiga. Kalau ketahuan, ujung-ujungnya tetap saja aku yang bakal babak belur dipukuli. Oh, jangan lupakan juga bagaimana rasanya ketika sandal Olivia mendarat di sekujur tubuhku. Sakitnya minta ampun!
"Gue di sofa depan aja kalo gitu."
"Ga!" tolaknya tegas, "Gimana kalo nanti Mama bangun, turun, terus liat ada laki-laki di ruang tengah? Lo liat 'kan, kondisi Mama? Kalo sampe ada apa-apa sama Mama gimana?"
"Memang lo pikir bakal lebih baik kalo mama lo nemu gue di sini? Di dalem kamar lo?!"
Tuh, 'kan?! Si Bocah juga diam dan tidak bisa menjawab. Kalau mama Bocah menemukanku di kamar anak perempuannya, malah arwahnya yang bisa-bisa langsung melayang. ... Bima! Kenapa kamu jadi hobi nyumpahin orang, sih?!
"Euh—"
"Kenapa? Bener 'kan, yang gue bilang barusa—Bocah! Kenapa lo? Gapapa?" Aku segera menuju ke arahnya yang sudah berbaring di atas ranjang.
"... 'Bocah'?" tanyanya dengan dahi berkerut dan kedua mata tertutup. "Kurang ajar. Lo manggil gue dengan sebutan 'Bocah'?"
"Pusing lagi?" Kusingkirkan jemarinya yang meremas kening terlalu keras hingga kulitnya memerah dan kuletakkan telapakku di atasnya. "Demam lo naik lagi jadinya!" bentakku ketika menyadari suhunya kembali memuncak.
"Kecilin suara lo. Lupa? Kamar Mama pas di depan, Poop."
Aku menggeram, sengaja memunculkan suara yang cukup keras supaya terdengar olehnya kalau aku betul-betul tidak suka. "Asli. Kalo lo ga sakit, gue bakal beneran sumpel mulut lo."
"Iya, iya, Poop," ulangnya, sepenuhnya tidak takut dengan gertakan yang kulancarkan.
Kukepalkan tangan dengan erat, bahkan hingga bergetar. "Apa lo harus gue cium lagi supaya berhenti manggil dengan sebutan itu?"
Apa? Mata keranjang? Lelaki nafsuan? Terserahlah. Aku sudah terlanjur kesal dengan panggilan menjijikkan itu yang sekali lagi keluar dari dalam mulutnya.
... Oh, tidak.
"Ini ga bisa. Kita harus balik ke rumah sakit sekarang. Muka lo merah banget!"
Bukan cuma pipinya, daun telinganya pun saat ini seperti kebakaran, betul-betul merah mendidih. Untungnya asap tebal tidak turut keluar mengiringinya.
"... Lo betulan bego yah, ternyata," ejeknya tidak sopan seraya melongo lalu menampar telapakku yang hendak berlabuh di atas dahinya untuk sekali lagi mengecek panas tubuhnya. "Ga mau," jawabnya kemudian membalikkan badannya hingga berbaring menyamping, sepenuhnya menolak untuk menatap wajahku.
Sekali lagi kuembuskan napas dan berjalan mendekati sisi lain ranjang tempatnya berada. "Lo ga mau dipanggil 'Bocah' tapi kelakuan lo mirip sama anak SMA," sindirku seraya membuka selimut yang semula terlipat rapi dan menggerainya hingga menutupi keseluruhan tubuh mungilnya yang menekuk kedinginan.
"Berisik," ucapnya singkat dan galak.
"Minum obat dulu. Mana tadi obatnya? Lo taro di mana?" tanyaku sambil celingukan, menatap ke seluruh penjuru ruangannya yang dipenuhi dengan pink.
Ahhh~. Bagaikan berada di tengah surga. Suasana kamarnya sangat cocok denganku karena bukan hanya dindingnya yang terlapisi wallpaper merah muda, tapi juga furniture dan berbagai pernak-perniknya yang juga bercorak warna kesukaanku. Seketika saja aku merasa kerasan di dalamnya.
"Di sana," jawabnya masih juga dengan kedua mata tertutup dan tidak mengubah posisinya. Si Bocah hanya sedikit mengebelakangkan sebelah lengannya, telunjuknya digerakkan asal ke atas dan ke bawah tanpa arah.
Apa itu artinya aku harus mencari sendiri? ... Oooh~!
Sebuah pajangan berbentuk seekor anak anjing yang berkuping panjang dan memakai dasi pita berwarna pink tertangkap oleh kedua netraku. "Goodbye Puppy"—icon yang sudah mendunia dan begitu terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia, yang mana tidak hanya digemari anak-anak, tapi juga oleh orang dewasa dari berbagai kalangan usia—tampak bertengger di samping lampu pada nakasnya.
Aku juga mengoleksi barang tersebut, dari yang harganya murah, bahkan sampai yang nilainya ratusan juta. Mereka seluruhnya menempati lemari pajangan di kamarku hingga penuh sesak. Ugh! Semoga masih di sana. Aku berharap Mama tidak membuangnya.
... Eh! Jadi lupa! Obat si Bocah!
"Heh, Bocah! Di mana? Ga ketemu—"
Ucapanku terhenti melihatnya yang sudah terkapar. Napasnya keluar teratur dari mulutnya yang sedikit terbuka.
Loh? Malah tidur! Nanti! Minum obat dulu—
Oh, tidak. Ia berkeringat. Handuk, handuk. Di mana aku bisa mendapatkan handuk? Tidak mungkin 'kan, aku menggeledah kamarnya, membuka semua lemari pakaian, dan mengobok-obok isi lacinya? Bakal terlihat seperti apa aku ini? Pencuri pakaian dalam?
Aku berlutut di sampingnya dan mengeluarkan selembar tisu dari dalam kantung celana. Sayang sekali bukan berupa sapu tangan. Perlu diingatkan lagi, sekarang aku melarat. Miskin, tapi pakai sapu tangan. Songong betul.
Kumulai menyeka keringat pada dahinya. Tenang, Bocah. Tisunya bersih, kok. Belum aku pakai untuk membersihkan mulut waktu di restoran Meksiko. ... Eh! Makananku! Bah, tertinggal di taksi.
Aduh! Gawat, gawat. Dasar tisu murahan. Yang awalnya utuh, begitu terkena cairan, dalam hitungan detik langsung saja melebur menjadi pecahan kecil-kecil. Dan sekarang remahannya melekat, memenuhi dahinya. Oops. Maafkan aku, Bocah.
"Euh ...."
Suara erangan si Bocah keluar dan sekali lagi dahinya berkerut. Mungkin ia terganggu oleh aktivitasku yang sibuk membersihkan jidatnya. Kulabuhkan sekali lagi telapakku pada keningnya—tentu setelah permukaannya bersih. Sepertinya keadaannya akan segera membaik karena suhunya sudah kembali normal.
Dan aku pun terus memandang wajahnya yang penuh ketenangan, tengah terlelap pulas diiringi dengan suara dengkuran yang iramanya teratur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Pink
RomanceReading List Dangerous Love - November 2022 @WattpadRomanceID -- [Undies Connoisseur Series] Bima's Concealed Remembrance Ia yang narsis, penuh kepercayaan diri, dan ngaku-ngaku kalau wajahnya memperlihatkan ketampanan di atas batas normal. Pastinya...