14. Pinky Futility

99 11 13
                                    

Tet!

"...."

Tet! Tet!

"...."

Tet! Tet! Tet!

"Ihhh!!!"

Kenapa sih, seharian ini kerjaanku selalu menekan tombol. Bikin bete saja! Ke mana lagi dia? Lama sekali! Padahal masih sore, belum pukul sebelas. Tidak mungkin kalau dia sudah tidur ketika matahari belum sepenuhnya terbenam.

Tet! Tet! Tet! Tet! Tettt!!!

"Berisik!"

Bentakan Benjamin terdengar segera setelah daun pintu terbuka. Mukanya ... entahlah. Ia terlihat kusut dan kedua matanya berkaca-kaca. Kenapa juga dia? Aneh sekali.

"Akhirnya!" Aku bernapas lega seraya melempar jas yang kupinjam darinya tepat ke dadanya. Tubuhnya kudorong mundur dan aku melangkah masuk tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

"Woi! Siapa yang tadi pagi bilang mau pindah, ga bakal ke sini lagi?!" sindirnya menyebalkan, mengikuti langkah kakiku selesai menutup kembali pintu.

Iya, iya! Kalimat itu memang keluar dari mulutku! Habis awalnya kupikir mencari uang itu gampang. Hanya cukup berpura-pura bersikap professional, maka semuanya akan berjalan sesuai harapan. Aku bakal bergelimang harta, pindah rumah, dan jadi kaya raya. Ugh! Dasar aku ini naif, amatir, dan tolol.

"Ngapain lo di sini?!" ucapku dengan kedua mata terbelalak, tidak suka kalau area sofa yang biasanya kutempati malah diambil alih olehnya yang baru pertama kali kulihat bisa nyasar di sini. "Heh? Lo abis nangis?" tanyaku jijik ketika menyadari bulu matanya masih sedikit basah.

"Hei, Bim," sapa kekasih Olivia yang terdengar tidak tulus dan segera tatapannya kembali tertuju pada layar televisi. "Baru pulang ngantor?" tanyanya dan memasukkan segenggam popcorn ke dalam mulut.

"Dia dipecat, bukan pulang ngantor, Ton," potong Benjamin menyindir.

'Ton'? ... Ah, iya. Kalau tidak salah nama lelaki murahan ini Antony. Nama yang terlalu indah baginya yang bagaikan lintah karena terus menempel di kulit Olivia, rajin menyesap darahnya yang mana tidak akan pernah habis hingga tujuh turunan.

"Selamat, Pierce. Lo baru aja mecahin rekor. Belum kerja sehari udah dipecat. Good job," lanjut Benjamin.

"Berisik! Geser!" perintahku, mendorong Antony kasar dan duduk di sebelahnya. Segera kurebut bantal pink kesayanganku yang barusan tersiksa dengan ditindih oleh pantatnya hingga menjadi gepeng. Jijik!

Hm? Apa ini? ... What the hell?! Kenapa bisa ada benda mengerikan ini di sini? ... Heh? Rasa spicy? Oh, my God!

"Rumah gue bukan tempat penampungan para pengungsi!" teriak Benjamin kesal, segera menghempaskan jauh-jauh dus keramat yang kulempar dan tidak sengaja mendarat ke atas tangannya. Ia pun beranjak menuju dispenser dan mengisi gelas bening yang dipegangnya—seperti biasa, terisi daun teh layu yang rasanya pasti sudah hambar—dengan air panas.

"Diem, Benjie!" bentakku kasar di saat kepalaku berdenyut perih dan sedikit berdenging. Sudah cukup ocehan galak Emma terngiang di benakku. Please, jangan ditambahkan lagi.

Air di dalam mulut Benjamin terdengar menyembur keluar, tidak jadi mengalir masuk ke dalam tenggorokannya. "Lo tau dari man—"

" 'Benjie'?" tanya Antony dan mulutnya seketika berhenti mengunyah.

"Asli, jijik banget. 'Benjie' itu panggilan sayang buat dia," jawabku seraya menunjuk Benjamin yang saat ini mukanya memerah bagaikan tomat yang direbus terlalu lama.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang