27. Did You Like Him?

17K 2.6K 87
                                    

Tetesan air mengguyur kaktus gymnocalycium yang memiliki bunga warna merah. Sejak awal, kaktus yang selalu di letakkan di jendela kaca besar itu sudah menarik perhatian Aluna. Dimata Aluna, kaktus itu sangat familiar. Begitu mirip dengan kaktus yang dia jadikan hadiah ulangtahun untuk Langit. Sekaligus kaktus yang di tolak seperti dirinya.

Aluna menyentuh duri kaktus, lalu tersenyum, "Setidaknya kamu masih punya duri untuk melindungi diri." Gumamnya bermonolog.

"Tidak usah di siram," suara itu langsung mengalihkan perhatian Aluna.

Matahari datang dari belakang dan duduk di kursi kosong samping Aluna.

"Kaktus menyimpan banyak air," sambungnya.

"Walaupun menyimpan banyak air, bukan berarti dia nggak butuh air," sanggah Aluna.

"Kamu tahu filosofi kaktus?"

Matahari menggeleng kuat. Dia tidak tahu dan tidak terlalu ingin tahu.

"Kaktus bisa bertahan hidup meskipun nggak di siram terus-terusan. Makanya dia dijadikan lambang cinta yang kuat. Cinta yang tetap bertahan meskipun tidak memiliki balasan," Aluna mencoba menjelaskan sambil melihat kaktus itu. Ada bintik- bintik air di ujung- ujung durinya berkat Aluna.

"Tahu nggak? Aku juga punya kaktus yang sama dengan ini," Aluna menunjuknya dengan bangga.

"Kaktus yang aku jadikan hadiah, tapi di tolak," Aluna terkekeh pelan, "Bersamaan dengan perasaanku yang di tolak," gumam Aluna menyelipkan curhatannya yang entah menarik empati Matahari atau tidak.

"Apa kau sangat menyukainya?"

"Kaktusnya?"

Matahari menggeleng kuat, lalu menatap mata Aluna, "Laki- laki yang kurang bertanggung jawab itu,"

Aluna tersenyum simpul karena geli dengan julukan yang di berikan untuk Langit.

"Entahlah," jawab Aluna asal, "Aku nggak bisa jawab, lebih baik ganti pertanyaanmu, apa kau pernah menyukainya?"

"Apa kau pernah menyukainya?" sambar Matahari tidak memberi jeda.

Membuat Aluna tertawa kecil, "Kamu ternyata orang yang nggak sabaran," ejek Aluna. Lalu dia mengangguk pelan, "Pernah, aku pernah menyukainya."

"Lalu, bagaimana sekarang, apa kau masih menyukainya?"

Pertanyaan itu malah membuat Aluna melihat Matahari. Mata mereka bertemu. Saling tatap dalam diam. Aluna mencoba mencari tahu jawaban apa yang hatinya katakan. Namun debaran jantungnya membuatnya bingung. Apakah debaran itu karena pertanyaan Matahari, atau justru karena orang yang bertanya?

Aluna langsung mengalihkan pandangannya ke depan sana. Ke arah labirin luas yang di buat dari mawar merah. Selain kaktus, labirin indah itu selalu menarik perhatian Aluna selama tiga hari ini.

"Aku juga nggak tahu mau menjawab apa," kata Aluna.

"Carilah laki- laki yang bisa melindungimu," ujar Matahari.

"Karena perempuan itu kodratnya di lindungi, bukan melindungi,"

Aluna mengerti maksud Matahari. Dia tidak ingin Aluna berlarut- larut dalam cintanya pada Langit.

"Kamu gimana? Apa ada perempuan yang kamu sukai?" tanya Aluna penasaran.

Dan anggukan kecil dari Matahari seperti memberikan rasa perih di dadanya. Rasa perih yang tidak Aluna pahami apa artinya. Wajahnya pun berubah muram. Dan bebaran jantungnya berubah menjadi menyakitkan, tidak menggelitik seperti biasanya. Apa ini efek samping dari obat yang dia minum tadi pagi?

Infinity Eclipse {Sudah Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang