6. Ramalan

22.2K 3.1K 35
                                    

Aluna dan Langit tidak tahu kemana pria berjubah merah itu pergi. Dan mengapa dia pergi. Setelah melihat liontin kalung Aluna yang berbentuk matahari dan bulan yang bersatu itu, dia langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Aluna dan Langit juga tidak tahu, apakah sekarang mereka dalam bahaya atau tidak. Seribu tanda tanya menghantui kepala keduanya.

Beberapa menit yang lalu ruangan ini penuh rasa takut dan suara bergetar Aluna. Sekarang tinggal senyap yang mengurung mereka berdua. Seolah- olah tadi bukan adegan berbahaya yang terjadi.

Langit yang Cuma duduk diam di sudut ruangan kini berjalan ke dekat jeruji besi. Dia mengambil segelas susu yang ada di atas nampan, yang tadinya di kirim si jubah abu- abu. Tanpa mengatakan apapun, Langit langsung meneguk susu itu tanpa jeda. Dan ludes dalam hitungan detik.

"Kak, kenapa minum susu itu?" tanya Aluna bingung.

"Aku haus," jawabnya singkat. Drama tadi membuatnya tegang dan luar biasa haus.

Dalam bayangannya, si jubah merah menebas kepala Aluna tepat di depan matanya. Kemudian kepala Aluna menggelinding di lantai dan mendekati kakinya. Langit bahkan membayangkan kepala Aluna dengan matanya yang masih tebuka, seperti menatapnya penuh kebencian. Ah, Langit memang harus mengurangi tontonan thriller.

"Jangan di minum kak, kalau ada racunnya gimana," protes Aluna sambil menjauhkan nampan milik Langit darinya.

"Lebih baik mati karena keracunan daripada mati dengan kepala di tebas," jawab Langit yang membuat Aluna terdiam.

Aluna terkulai lemas lagi, "aku baru aja lolos dari maut," desahnya pelan. Antara bersyukur dan rasa takut bercampur aduk.

"Hari ini mungkin masih lolos, besok- besok kita nggak tahu," sergah Langit.

"Jangan menakutiku kak," protes Aluna dengan wajah memelas. Langit mungkin tidak tahu rasanya pedang menempel di leher. Jadi dia bisa bicara seenaknya.

"Bukan menakuti, itu fakta. Kamu lihat sendiri, kan? Si pria berpedang itu nggak main- main." Balas Langit dengan wajah serius. "Kita harus kabur," sambung Langit. "Sebelum kita mati," tambahnya lagi.

"Gimana caranya?"

"Kalau mereka bisa masuk kesini, berarti kita juga bisa keluar." Jawab Langit sambil melihat ke arah pintu di depan sana.

Sementara Aluna menunduk ke bawah. Melihat liontinnya yang menggantung. Butiran permata yang membentuk bulan dan matahari yang bersatu itu membiaskan cahaya. Sama seperti kilapnya pedang si jubah merah tadi. Aluna masih bertanya- tanya, apa kalung ini yang menyelamatkannya?

🌜🌝🌛

Pria bertubuh tegap sekitar 180 cm itu membuka jubah merahnya. Pakaian serba merah merahnya yang bersembunyi di balik jubah itu terlihat. Topeng emasnya dia letakkan di atas meja rias miliknya. Lalu dia bergegas ke salah satu ruangan yang berada di dalam kamarnya.

Ruangan ini di penuhi puluhan lukisan. Di dinding, di kanvas yang masih di sanggah oleh kayu dan ada beberapa lukisan yang belum rampung. Iya, ini tempat dia biasa menghabiskan waktu luang. Melukis apapun yang dia inginkan.

Malam ini dia tidak ingin melukis, tentu saja. Masih banyak yang harus dia lakukan. Salah satunya menyibak kain merah yang menutup satu lukisan terbesar di ruangan ini. lukisan berukuran 8 x 8 meter itu di gantung di dinding dan selama ini di tutupi kain merah yang bisa di tarik seperti gorden.

Matanya fokus ke arah lukisan, melihat setiap detail gambar yang ada di sana, di bantu dengan lampu yang selalu menerangi lukisan itu. Dia benar- benar memperhatikan setiap segi lukisan itu.

Infinity Eclipse {Sudah Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang