"Gak kerasa ya, kita udah mau SMA aja."
"Artinya kita sudah tumbuh jadi remaja yang dewasa," Gilang mengusap rambut kecoklatan Nanda yang tergerai.
Senja sore dengan teriakan ombak ikut serta menyambut malam bersama sepasang kekasih. Seolah tak peduli dengan keadaan massa mengelilingi mereka yang duduk di bibir pantai petang itu. "Sepertinya aku akan benar-benar kesepian saat SMA nanti."
Gilang menatap gadisnya sendu sembari tersenyum tulus pada gadis itu. "Aku sudah janji sama kamu Nanda, aku akan kembali setelah menyelesaikan SMA ku di Swiss."
Dapat Nanda tangkap senyuman dan sorot mata kekasihnya. Betapa ia bersedih saat ia dengan Gilang akan berpisah disaat keduanya ingin saling bersama.
Hujan membasahi lamunan keduanya. Gilang membawa Nanda berteduh dengan jaketnya. Tidak, bukan berdua, hanya Nanda yang ia lindungi seolah tak peduli dengan kaus putihnya yang sudah transparan. Nanda yang terpenting, manusia yang ia cintai.
Gilang dan Nanda sampai di lobi apartment— Milik Ayah Gilang. "Kita di sini dulu sampai hujannya reda, ya?"
"Kamu yakin? hari sudah mulai gelap, hujannya juga deras banget."
Gilang terdiam melihat derasnya air hujan tanpa tahu kapan akan selesai. "Bagaimana kalau kita masuk ke dalam? Lagipula aku khawatir kamu kedinginan," Gilang menunjuk celana jeans Nanda yang telah basah kuyup.
Melihat kondisinya yang berantakan, tanpa banyak berpikir gadis itu mengiyakan tawaran kekasihnya.
Gilang membawa Nanda masuk ke unit 1653. Keduanya masuk dan masing-masing membersihkan diri, setelahnya Gilang maupun Nanda duduk di sofa sambil memakan cemilan seadanya.
"Gilang, kalau di Swiss pasti akan dingin begini terus kan? Suasana di sana kan sejuk," ucap Nanda.
Gilang mengangguk setelah menelan kentang gorengnya, lalu— "Sepertinya aku akan lebih sering membutuhkan pelukan dari kamu dibanding sekarang," Gilang mengerucutkan bibirnya.
Nanda lalu membentangkan kedua tangannya, membawa laki-lakinya menyatu dalam pelukan. "Meski terhalang jarak, aku akan selalu peluk kamu dari jauh, Gilang."
Bagai dihasut oleh Iblis yang menelisik masuk dalam tubuh Nanda dan Gilang, mereka berdua pun kini larut dalam penyatuan narasi. Dua anak manusia yang seolah tak peduli dengan apa yang akan mereka hadapi di kemudian hari, yang jelas teriakan ombak dan hujan di malam itu menjadi saksi bagaimana penyesalan itu dimulai.
•••
"Halo Nanda, kamu jadi kan ikut mengantar aku dan Mamah ke bandara besok lusa?"
"Tentu! Aku nggak mungkin lupa soal janjiku yang itu."
"Oke sayangku, nanti Pak Tuta yang jemput ya, aku mau mandi sekalian mau siapin barang-barang."
Sambungan keduanya terputus, sebenarnya Nanda ingin menolak dan membuang janjinya untuk mengantar Gilang dan Mamanya ke bandara. Mengingat akan dirinya yang lemah, sering muntah, dan sering sakit kepala beberapa hari belakangan. Seperti sekarang, lagi-lagi Nanda berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan cairan yang tak berupa.
Tak sesekali Ibunya memberikan obat, mengetahui anaknya pengindap penyakit magh. Kemudian, ingatan Nanda berputar akan sesuatu yang ia lakukan tiga minggu lalu bersama Gilang di apartment. Nanda lantas menggapai perut ratanya dan melaju pada kalender yang terpasang di dinding pinknya.
Akankah sebuah takdir buruk akan hadir di hidupnya? Atau hanya pikirannya saja yang begitu buruk? Ia lalu beranjak dari ranjang menuju apotek, berniat ingin membeli beberapa testpack. Tidak lupa dengan dandanan yang ia buat sedewasa mungkin untuk menutupi identitas aslinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...