0.14 Dibalik Rundungan

73 19 3
                                    

Santi memberikan antiseptik pada luka di sudut bibir Erick yang mulai membiru di ruang kesehatan sekolah, usai berdebat hebat dengan Aldi. "Lebai banget si tu orang, ga mikir apa! Udah buta sama cinta kali ya?!" oceh Santi yang dari tadi belum juga berakhir.

Berbeda dengan Erick, laki-laki itu kian terdiam sejak tadi. Ia juga enggan menatap kekasihnya itu. Santi yang mulai menyadari perubahan pacarnya lalu menatap Erick yang terlihat tak berminat membuka mulut, meski ia telah menyelesaikan pengobatan pacarnya. "Sakit banget ya?" tanyanya, ingin menyentuh kembali sudut bibir itu.

Akan tetapi Erick dengan cepat menepis tangan gadis itu dan wajahnya kian berpaling. "Kamu kenapa?" Santi kembali bertanya dengan tautan di keningnya, merasa heran dengan kekasihnya itu.

"Kamu bisa ngga sih berhenti ganggu Nanda dan berdamai sama dia?" Erick mulai menatap gadisnya. Namun, Santi yang kini mengadahkan sorot matanya kemanapun selain kepada mata pacarnya itu. Ia terlihat menyibukan diri dengan memasukan perkakas ke dalam kotak P3K.

Laki-laki berotot itu lalu menggenggam lengan pucat kekasihnya—"Kamu dengerin aku nggak?" tanyanya, bernada sedikit tinggi.

Santi membuang napas berat seraya menyisir rambut pirangnya dengan jemari lentiknya kebelakang. Ia menatap lekat pacarnya, berharap laki-laki itu ada dipihaknya. "Nanda itu pencuri!"

"Dari awal dia selalu curi tempat aku untuk mendapat pringkat satu dari satu angkatan, yang mana aku selalu mendapatkan itu bahkan dari aku SD!"

"Tapi setelah ada Nanda, aku malah menduduki posisi di bawah dia! Aku nggak terima, Rik!" katanya tertahan karena emosi yang menggebu. Erick menggeleng seraya menyipitkan matanya, tak menyangka dengan alasan yang sungguh tak logis itu. "Terus dengan alasan itu kamu berhak buli Nanda, iya?"

"Kalo emang kamu mau bersaing sama dia, seharusnya dengan secara sehat, ada banyak cara ko. Bukan dengan membuli dia dan memaksa dia buat ngerjain semua PR kamu!" ulas Erick, ia lalu berdiri dari ranjang yang mereka duduki.

"Aku ngelakuin itu supaya Nanda nggak ada waktu buat belajar materi selanjutnya!" balas Santi ikut berdiri. "Semua alasan yang keluar dari mulut kamu tu nggak ada yang logis, tau nggak!"

"Kamu kenapa sih, Rik? Selama ini kamu fine fine aja ko dengan perlakuan aku ke Nanda."

"Karena kamu udah keterlaluan! Kamu nyekap dia di kamar mandi dan guyur dia pakai air, kamu pikir aku nggak tau?!"

"Kenapa kamu harus khawatir? Oh... Kamu suka sama Nanda?"

"Nggak usah ngaco!" tegas Erick.

"Jujur sama aku, Rik?!" Santi maju empat langkah menuju Erick.

"Cukup, ya! Aku cuma mau kamu bisa berdamai dengan Nanda, apa susahnya sih?!"

•••

Sementara Aldi, setelah pulang sekolah pukul dua siang hari itu ia bergegas menuju kediaman Nanda. Pikirannya tak pernah lepas dari gadis itu. Bagaimana kabarnya, apakah ada yang sakit, bagaimana dia bisa terjebak di dalam kamar mandi karena Santi. Ia ingin menanyakan semua itu pada Nanda.

Setelah menempuh jarak yang terbilang lumayan jauh, Aldi sampai di rumah minimalis dengan kebun bunga yang lebat di halamannya. Akan tetapi, rumah itu nampak sunyi dari luar. Dari mobil yang tidak terparkir di bagasi, juga dengan jendela kayu yang biasa terbuka kini tertutup rapat.

Aldi lalu menuruni motor dan melepas hlem cakil, ia mengetuk pintu itu. Sekali, tak mendapat respon, dua kali juga tidak, bahkan sampai lima kali juga tidak mendapat respon.

Suara mesin mobil yang jauh mulai mendekat, Aldi kemudian memalingkan wajahnya mengikuti sumber suara. Ia mengulas senyum saat mobil Nanda sampai di hadapannya.

"Eh, Aldi," sapa Diana dengan ukiran senyum setelah keluar dan menutup pintu mobil. Aldi membalas senyum hangat itu dan menyalimi punggung tangan Diana. "Siang, Tante."

Nanda menyusul kemudian setelah pengasuh Denada keluar dari mobil. Diana serta pengasuh kemudian masuk ke dalam rumah, menyisakan Aldi dengan Nanda berdua di halaman rumah yang luas dan hijau itu.

"Ada apa?" tanya Nanda setelah keduanya duduk di bangku potongan batang pohon. Aldi memautkan kedua tangannya pada bahu Nanda, ia celingukan menatap seluruh tubuh gadis yang tertutup dengan pakaian terlampau besar itu dengan khawatir.

"Kamu diapain sama Santi di kamar mandi?"

"Kenapa kamu nggak panggil aku buat ngantar kamu pulang?"

"Kenapa kamu malah pulang sama Erick? Kamu mau dapat masalah baru lagi sama Santi karena pulang sama cowonya?" tanya Aldi bertubi tubi. Nanda lantas melepaskan tangan Aldi yang terpaut di bahunya.

"Semua yang terjadi sama aku nggak ada urusannya sama sekali dengan kamu," telaknya. Gadis itu kemudian berdiri—"Kamu nggak bosen apa kaya gini terus?"

"Aku udah terlalu sering bilang sama kamu kalo aku nggak bisa terima kamu," Nanda kemudian berpaling meninggalkan Aldi dan menapak langkahnya menuju rumah. Namun, dengan cepat laki-laki itu menarik tangan Nanda. "Sedikit pun lo nggak ada rasa suka sama gue?" tanya Aldi.

Nanda menepis jemari kekar yang menggenggam lengannya itu. "Tolong berhenti kejar aku, aku nggak sebaik yang kamu pikir, kamu bukan cowok yang selama ini aku cari, dan aku terganggu dangan tingkah kamu yang selalu buat aku nggak nyaman. Jadi, mending sekarang kamu pulang," ucapnya, kemudian berjalan sedikit laju melalui rerumputan halus di halaman luas, sesekali menyeka air mata yang merambat di kedua belah pipi.

Aldi terdiam kaku dengan pengakuan yang terlalu menyakitkan untuk didengar. Ia lalu menatap Nanda yang kini telah jauh berlari darinya, sebesar itu cintanya pada Nanda namun tak sedikit pun Nanda membalas ketulusannya.

•••

Nanda terdiam dengan sepucuk kertas yang ia keluarkan dari amplop cokelat di genggamannya. Ia kemudian menatap Denada yang duduk bermain dengan boneka di sudut kamar, bocah itu kemudian mendatanginya dengan langkah kaku. "Halo sayang," sapa Nanda setelah menyapu air mata.

"Mama."

Nanda terpaku, membulatkan kedua pupil matanya dengan panggilan yang terlalu asing untuknya. "Coba panggil mama lagi, sayang," pintanya penuh gairah.

"Mama."

Nanda lalu mendekap tubuh gadis mungil itu, membawanya dalam kehangatan. Berharap tak seorang pun yang mampu memisahkan keduanya. Masalah yang berbondong-bondong berdatangan cukup membuat emosinya naik turun, dari Lukman yang membawa sebuah fakta mengejutkan dan pernyataan Dokter yang membawanya kembali pada kesedihan.

Gadis berponi rata itu terus menangis sembari menautkan tubuh mereka, Denada lalu melepas persatuan keduanya dan mengecup pipi Nanda. Gadis kecil itu menggeleng, sementara jari-jari moleknya mengusap air mata yang berambai di wajah sang bunda. Seolah mengatakan; jangan menangis.

Mengingat wejangan beberapa jam lalu yang ia dengar dari wanita berjas putih, ingin rasanya Nanda meluapkan amarah dengan umpatan serta tamparan pada wanita itu, namun apa daya. Nanda hanya mampu berserah diri pada sang maha kuasa.

Nanda bersumpah rela mati untuk kebahagiaan dan kehidupan Denada di dunia. Gadis kecil itu lebih berhak hidup dengan kedamaian ketimbang dirinya yang penuh dosa.

"Denada diagnosis terkena gagal ginjal."


Bersambung ...

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang