Aldi merenung di taman sekolah sembari menatap ponsel berlayar gelapnya. Tak sekali dua kali ia meyakinkan diri untuk membuka benda persegi itu, namun bayangan akan wajah Nanda terus saja berlarian di kepalanya.
Dalam keraguan Aldi memberanikan diri membuka video itu, yang mana sebenarnya ia enggan menyaksikan pergulatan cintanya dengan orang lain. Di detik kelima, atensi awasnya bertemu dengan seorang pemuda yang tak asing, namun wajahnya masih tak terlihat jelas, dan di detik terakhir Aldi pun mengenali dengan benar sosok laki-laki tersebut. Ya, Gilang. Aldi mencekam ponselnya, sorot matanya menajam kemudian merah, ia terkejut bukan main.
Ia mengusap gusar rambutnya. "Lang, kenapa harus lo lagi, Lang!"
Pemuda itu menangis, tertunduk dalam duduknya. Saudaranya, Nandanya, dua orang yang kini telah dipercayanya telah membuat luka yang teramat dalam. Ataukah salahnya yang seolah masuk dalam hubungan mereka?
Ditengah kesedihan itu ponsel di genggamannya berdering. Terlihat nama Tina di sana, Aldi langsung mengangkat. "Halo, ada apa?"
"Aldi kamu bisa ke rumah sakit, Nak? Papa kamu ada di ICU," ujarnya terdengar isakan.
Dengan beribu pertanyaan, Aldi bangkit dari duduknya kemudian mengajukan surat dispensasi pada pengawas. Sampai di lorong rumah sakit, Aldi celingukan mencari keberadaan Tina hingga keduanya berjumpa di depan ruang ICU.
"Aldi." Tina berdiri dari duduknya, sementara Aldi menyalimi lengan wanita itu. "Sebenarnya ada apa sama Papa?"
Tina melirik sekilas ruang ICU. "Papa kamu itu punya penyakit asma, Al. Dan tadi asmanya kambuh saat meeting di kantor, terus client-nya yang nelepon Mama."
Aldi hanya mengangguk, ternyata begitu banyak hal yang sepenuhnya belum ia ketahui dari keluarga barunya itu.
"Mama udah telepon Gilang, katanya dia mau ke sini tapi baru bisa sampai besok lusa karena penerbangannya harus ditransit dulu," kata Tina.
Mendengar nama Gilang membuatnya semakin emosi, Aldi kemudian memutuskan untuk pamit sejenak ke kamar mandi. Melalui lorong lorong, ia tak sengaja bertemu dengan Nanda yang duduk dengan raut cemas. Sebetulnya ia ingin menyapa, seperti menanyakan apa yang membuatnya ada di rumah sakit.
Atensi keduanya bertemu saat Nanda tak sengaja mengetahui bahwa Aldi berada tak jauh di depannya.
•••
Pertemuan tak disengaja itu membuat Aldi dan Nanda berakhir duduk di taman rumah sakit.
"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Aldi terdengar begitu dingin.
"Aku lupa kalau hari ini jadwal cuci darah Nada."
Aldi mengangguk, ia memang sudah mengetahui hal itu sebelumnya. "Dia nggak apa-apa?"
Nanda hanya mengangguk sembari sorot matanya lurus, terlalu malu untuk melihat Aldi. "Kamu sendiri?"
"Pa Lukman, Papa aku, asmanya kambuh dan dilarikan ke ruang ICU."
"Gimana keadaannya sekarang?"
"Udah dipindahin ke ruang rawat inap."
Hening, seperti tak ada lagi hal yang perlu dibicarakan. Padahal jauh dari lubuk terdalam keduanya ingin saling bertegur dan berdialog banyak hal. Keheningan itu sukses membuat Nanda merasa jengah, ia kemudian berpamitan untuk kembali menemui Nada.
"Aku mau ke ruangan Nada dulu," kata Nanda, kemudian beranjak.
"Aku tau, ada banyak hal yang sebenarnya ingin kamu jelasin ke aku," ucap Aldi, tepat saat Nanda baru melangkah menjauh.
"Nggak ada yang perlu aku jelasin, kamu udah tau semuanya, Al," ucap Nanda tak memalingkan tubuhnya.
"Selagi fakta yang beredar nggak dari mulut kamu, aku nggak akan percaya, Nan," balas pemuda itu berdiri dari duduknya. "Nan."
"Aldi, kamu udah tau," balas Nanda, berbalik kemudian.
"Semuanya terlalu nyakitin buat aku jelasin lagi." Nanda kembali melangkah ingin meninggalkan pemuda itu, namun, dengan cepat Aldi menggapai lengan putihnya. "Plis, bilang ke aku kalau semua ini nggak benar."
Nanda menatap tangannya yang digenggam oleh Aldi, ia membuang napas seraya netranya ia kantup beberapa saat. "Itu benar, perempuan yang ada di video itu aku."
Aldi melepas genggamannya, ia merengut lalu menangis sembari menatap gadis di hadapannya. Menangis akan kebodohannya, menangisi cintanya.
"Dan aku harap setelah ini kamu ngerti, alasan kenapa aku selalu nolak kamu."
Pemuda itu kembali menunduk, ia menangis lagi dan lagi. Kamudian, memberanikan diri menatap perempuannya. "Nan, lo itu cinta pertama dan luka pertama buat gue!"
"Nggak ada yang maksa kamu buat jatuh cinta sama aku, Aldi."
"Gue bisa nerima lo kalo lo nggak ngelakuin itu sama Gilang, Nan!"
"Gilang! Saudara gue!"
Kedua netranya terbuka lebar, Nanda tak tahu menahu akan hal itu. Lebih tepatnya ia shock, bagaimana dunia terasa begitu sempit untuk masalah asmaranya. Dengan mata yang terbelalak lebar, gadis itu menunduk. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
"Gue nggak terima Gilang nidurin lo, Nan."
"Meskipun dia saudara gue sendiri, itu nggak adil buat lo!" Sungguh, pemuda itu terus meyakinkan dirinya bahwa Nanda tidak bersalah sedikit pun. Ia kemudian melangkah menuju gadisnya, "Nan, lo dipaksa kan sama Gilang?"
Nanda menatap mata indah itu, mata yang tulus menatapnya, mata yang hanya ingin menatap dirinya saja. Ia kemudian merasa beruntung, Tuhan telah menghadirkan sosok Aldi yang hanya jatuh cinta pada satu wanita saja, yaitu dirinya.
Bagaimana ia bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tak sama sekali pantas untuk sosok sempurna layaknya Aldi. Yang mana seharusnya pemuda itu bisa kapan saja mendapatkan wanita setimpal dengannya, dan itu bukanlah dirinya.
Gadis itu membelai wajah Aldi, setiap pahatan yang terukir di sana sangatlah indah. Aldi yang merasakan belaian itu mengatup matanya yang berair. Sementara Nanda, ia yakin, bahwa tak ada lagi hari esok yang mampu membuatnya menjadi sosok sempurna dan diratukan seperti saat ia bersama Aldi.
"Aldi, Gilang sama aku melakukan itu atas dasar cinta."
"Maaf, tapi ini adalah alasan kenapa aku nggak bisa nerima kamu."
"Jujur, aku selalu ngerasain ketulusan dari kamu. Tapi, percaya sama aku. Kamu dan aku itu nggak bisa bersatu. Denada itu anak aku, dia bukan adik ku, Al. Aku baru berani jujur sekarang karena aku takut...aku takut kamu ninggalin aku, karena selama ini pun aku juga merasakan hal yang sama kaya kamu... aku sayang kamu."
Setelah ucapan itu diutarakan, Nanda memilih untuk menjauh. Setidaknya ia sudah mengungkapkan perasaan cintanya pada Aldi, laki-laki yang sukses membuatnya mengerti makna cinta sebenarnya. Sedangkan Aldi terduduk di rerumputan halus di taman rumah sakit, menangisi epilog yang belum pernah terciptanya prolog antara dirinya dengan Nanda.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...