Sejak tadi sore, Denada seolah tak sudi mengusaikan tangisnya. Sebagai seorang Ibu, Nanda seringkali melakukan begitu banyak upaya agar sang anak menghentikan tangis pijarnya, akan tetapi segalanya nihil. Diana yang mendapat tugas lembur dan Pengasuhnya—Surti— yang pulang kampung karena keberangkatan orangtuanya ke tanah suci, membuat Nanda kewalahan akan tangisan Denada yang tak tau kapan akan mereda.
Hingga menjelang pagi, Denada masih saja mencucurkan air mata di kedua belah pipi. "Kamu kenapa sih?"
"Mama capek! Mama harus belajar hari ini!"
"Kamu kok nyusahin banget sih!"
"Tolong ngertiin Mama dong!"
Alih alih menyudahi tangisannya, Denada malah terus menangis kencang setelah mendengar suara Nanda yang meninggi. Ia begitu pening, terlebih tugas-tugasnya yang harusnya ia kerjakan tadi malam semakin menumpuk, ditambah dengan tiga pekerjaan rumah milik Santi yang belum ia kerjakan. Ia takut jika gadis itu akan kembali merundungnya jika tak menyelesaikan tugasnya.
Nanda kemudian menangis tak kalah kencang dari Denada, ia terduduk menyandar pada dinding, membutuhkan sandaran hangat dari sang ibunda. Ia kembali berceloteh dengan penyesalan akan kehadiran Denada. Namun bukankah bayi di depannya adalah tanggung jawabnya, kejadian di depan matanya ini hanyalah sebagian kecil untuk menebus dosanya.
Dengan isakan yang tertahan Nanda lalu menggendong Denada dengan gendongan tali, lalu berniat membawanya pergi keluar rumah untuk sekedar membawanya berjalan mencari hiburan. Dan benar saja, seketika tangis pecah bayi beranjak dua tahun itu memudar setelah mendapat terpaan angin yang menghembus di wajahnya.
Nanda merasa lapar, dan kemudian ia memasuki toko serba ada di luar kompleknya. Ia memakan nori bersama Denada yang meminum susu botol. Tanpa sadar seseorang telah memotretnya, tangan lentik dan putih itu beberapa kali mengambil gambarnya tanpa izin. Ia tersenyum miring seraya membenarkan kacamata hitam yang terbenak di pangkal hidungnya lalu pergi meninggalkan toko serba ada.
Ponsel Nanda bergetar. Ia lalu membukanya dan mendapati pesan singkat.
Saya Lukman, masih ingat kan? Bisa bertemu saya hari ini di kafe Mentari, nanti saya kirim alamatnya.
"Lukman? Papa Gilang?" monolognya di dalam hati.
Ia tersenyum haru, akankah kekasihnya kembali padanya. Dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada mereka di masa lalu.
•••
Di sinilah Nanda berada, di salah satu kafe ternama di Jakarta. Berhadapan dengan sang calon mertua dan seorang bayi yang dari tadi tak pernah lepas dari gendongannya. Awalnya Nanda ingin menyalimi pria berjenggot itu, akan tetapi ia menolak dan menyuruh Nanda duduk pada kursi di hadapannya.
"Saya tidak ingin basa-basi, sebenarnya saya ke sini karena kerjaan dan tidak punya banyak waktu untuk bertemu dengan kamu."
"Saya hanya ingin bilang sama kamu kalau Gilang sudah memiliki tunangan, dan kalau saya jadi kamu, saya akan tahu diri dan tidak akan mengharapkan Gilang lagi," ucapnya angkuh sembari melipat kedua tangannya ke dada.
Nanda menautkan alis, rasa sesak di dadanya kini menyebar. Bahkan betisnya nampak tak mampu menopang seluruh tubuhnya. "Tapi, Om. Anak ini putri Gilang, cucu Om juga," katanya dengan mata berbinar menunjuk Denada yang mengempeng di dalam gendongan.
Lukman mendecih menatap sosok bayi perempuan itu dan membuang pandangannya, seolah memandang jijik keduanya. "Mau dia anak Gilang sekalipun, saya tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan kamu dan anak itu."
"Gilang juga berpesan dengan saya kalau dia juga sudah tidak ingin bertemu dengan kamu lagi," imbuhnya membual. Nanda menggeleng tak menyangka, ia tahu betul Gilang, laki-laki itu akan menepati semua janji yang keluar dari mulutnya. Karena Nanda tak mengenal Gilang selama dua atau tiga hari tapi tiga tahun.
"Nggak mungkin! Gilang nggak mungkin bilang begitu," balas Nanda.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk berbohong. Semua terserah kamu, mau membuang waktu dan tenaga untuk menunggu seseorang yang sudah pasti tidak mengharapkan kamu lagi, atau menangis seumur hidup meminta Gilang untuk kembali," Lukman berdiri membetulkan jasnya yang berkedut. "Tapi bagaimana pun cara kamu untuk membawa Gilang kembali bersama kamu, akan saya pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi."
Lukman berlalu dengan menenteng tas kerja, meninggalkan Nanda yang mematung dengan cucuran air mata. Ia tak menyangka kebodohan terjadi bertubi-tubi padanya. Bukankah dosa itu diciptakan olehnya dan Gilang, mengapa semua tanggungan hanya berlaku padanya.
Ia lalu menatap Denada yang telah tertidur setelah semalam suntuk menangis. Ia mulai geram dengan bayi itu, tapi di sisi lain hanya putrinya lah yang selama ini mampu membangkitkan semangatnya untuk tetap bertahan di situasi yang tak seharusnya ia hadapi di umurnya yang ingin menginjak delapan belas tahun.
•••
Paginya dering ponsel berbunyi di sudut meja. Lukman kemudian mengalihkan perhatiannya dari laptop ke ponsel. "Akhir-akhir ini Nanda sering bersama seorang laki-laki, Pak. Dan saya lihat mereka terbilang akrab, anak itu seperti suka dengan Nanda," jelas seorang pria mengamati anak laki laki bermotor KLX masuk ke kawasan sekolah. Yang ia ingat laki-laki itu sering kali bersama Nanda sejak gadis itu masih hamil.
Lukman mengusap dagu sembari mendengar telepon. Bertanya-tanya siapa sebenarnya anak laki-laki yang mau mendekati Nanda, bahkan disaat gadis itu tengah menyimpan rahasia besar. "Berarti anak itu dari SMA 3 juga?"
"Benar, Pak," balasnya. "Cari tahu tentang anak itu!" perintah Lukman.
"Baik, Pak."
Pria itu meletakan ponsel ke atas nakas. Ia lalu membuka laci putih di sampingnya, mengeluarkan surat yang ditulis oleh jemari Sinta sebelum wanita itu sepenuhnya pergi dari kehidupan.
Aku tidak bisa terus hidup dengan penyesalan yang menghantui aku, Mas. Setiap malam aku dihantui oleh mimpi yang seolah memperingatkan aku untuk menemui anakku, anak kita. Aku sudah memutuskan untuk menitipkannya kapadamu, aku mohon tebus rasa bersalah kita ini. Aku mohon bawa anak kita kembali kepadamu dan jadikan dia sebagai anakmu juga. Sebagaimana semestinya.
Biarku perkenalkan anakmu yang pernah kau buang sebelumnya, namanya Reynaldi Adithama. Dia ku titipkan ke panti asuhan Pondok Yatim. Tolong jemput dia...
— Sinta Andinata
Lukman mendesah hebat membaca kembali surat yang ia terima belasan tahun lalu. Wanita tuna susila yang pernah menjadi kliennya itu bahkan sudah menitipkan wasiat sebelum kepergiannya, namun Lukman tak sama sekali menepati petuah itu. Ia pikir hal itu teramat berat untuknya, membayangkan bagaimana marahnya Kina saat mengetahui perlakuannya dimasalalu, belum lagi jika ia membawa Aldi kehadapan istri serta anaknya nanti.
Tak lama ponsel pintarnya kembali berdering, saat itu juga ia membeku ssesaat, setelah mendapat sebuah fakta gila dari sang Informan—Danu.
"Orang yang dekat dengan Nanda, dia Reynaldi Adithama. Anak yatim piatu yang diadopsi oleh seorang pengusaha di Jakarta..."
Lukman dengan gemetar langsung menyuruh Danu untuk mengusut DNA antara dirinya dengan Aldi. Setelahnya, pria berjenggot keputihan itu memukul keras meja, pikirannya kembali berkecamuk, takut jika sebuah kebenaran akan membunuhnya hidup-hidup saat itu juga.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...