Sepasang sepatu sneakers melangkah pelan di bibir koridor. Gadis itu memegang tasnya erat-erat sembari menunduk menatap bagaimana sepatu putihnya itu melangkah beriringan. Tak jarang ia juga menaikan kacamatanya yang menurun akibat terlalu sering membungkuk.
Sebuah bahu menabraknya keras. Terlihat, segerombol anak hits yang mengabaikan keberadaannya, alih-alih meminta maaf. Nanda mengelus pelan lengannya yang terasa nyeri. Ah- jika ia merasa sedih ia mungkin pengecut. Sudah lama sejak tahun pertama di SMA nya ia menjadi yang terasing.
Nanda duduk di bangku kayu pojok kanan, ia tersenyum singkat saat pekerjaan rumahnya sudah selesai. Akan tetapi, sebuah tangan terulur ke arah Nanda. Ia menatap lengan putih itu kemudian beralih kepada sang pemilik yang tak lain adalah orang yang menabrak bahunya saat di koridor.
Tak butuh waktu lama, Nanda memberikan sebuah buku catatannya dengan raut datar.
"Ouuh... Lo emang yang terbaik, Nanda,"
Belum sempat menerima, Aldi- lebih dulu mengambil alih buku catatan bersampul biru itu dengan cepat. Gadis bersurai pirang itu lantas terkejut bukan main akan kehadiran anak laki-laki yang tak tau diri.
"Aldi?!"
"Gue lebih dulu minjam sama Nanda!"
Aldi menatap tajam Santi kemudian beralih pada sang pemilik buku. "Nanda lebih dulu berjanji sama gue mau ngasih buku ini."
Santi mnghentakan kedua kakinya merasa kesal akan sikap dingin Aldi yang seolah mengambil haknya.
•••
Tangan Aldi terulur memberikan buku bersampul biru pada Nanda. Sepasang mata coklat itu menerimanya lalu kembali dengan buku sejarah.
"Gue pikir berterimakasih itu-"
"Makasih," ucap Nanda tanpa mengalihkan manik matanya kepada lawan bicara.
Balasan singkat yang membuat Aldi menghela napas. Tak jarang ia mendapat respon sinoptik itu dari Nanda.
"Nan?"
"Bukannya gue sering bilang kalau gue bisa nerima lo, apapun itu."
"Gue gak peduli apapun tentang pendapat orang lain, gue cinta-"
Nanda menutup buku tebal itu, menatap Aldi sendu, tidak, ia menatap benci pada laki-laki itu.
"Aku gak ada waktu untuk jatuh cinta pada siapapun, termasuk kamu, Aldi!"
Gadis dengan surai terikat dan kaca mata bulat yang terpaut di hidungnya itu beranjak. Digiring dengan raut kesal dan mata yang berair. Ia meraih kaca matanya dan menghapus air matanya yang mulai berambai-ambai.
Aldi tertunduk serta merta menatap gadisnya menjauh dari pandangan. Ia bersumpah demi alam semesta bahwa Nanda adalah manusia yang akan ia cintai hingga ujung waktu bahkan setelah ia terbaring di bawah tumpukan melati.
•••
Nanda membuka tiga kancing seragamnya, menumpahkan asi pada bayi yang ia pangku. Senyum lebar dari bibirnya hanya untuk Denada, bayi perempuannya. Karena dunia begitu kejam untuk diberikan senyuman, kecuali untuk Denada, hanya untuknya.
Tok tok tok
Nanda lalu mengalihkan pupil matanya pada pintu kayu dan meletakan Denada di atas ranjang. Tak lupa menutup kancing seragam pramukanya.
Ia membuka pintu, pandangannya bertemu dengan sebuah kresek hitam besar berisi pampers dan susu kotak di genggaman seorang wanita paruh baya.
"Pampers Denada mau habis kan?"
"Ibu sudah belikan," ujar wanita itu tersenyum dengan kerut di bawah matanya.
Selain kepada Denada, Nanda hanya ingin tersenyum dengan Ibunya. Serta-merta ia peluk wanita itu erat-erat seolah tak ingin lepas. Begitu banyaknya dosanya pada wanita itu, begitu banyak pula jasa wanita itu padanya. Apa ini balasan akan jasa itu?
"Bagaimana cara aku berterimakasih pada Ibu akan semua ini?"
"Ibu, kenapa Ibu gak pernah benci aku?"
"Kenapa Ibu masih mau menganggap aku anak Ibu?" Nanda bertanya sesekali menahan tangisnya, takut jika anaknya terbangun.
Diana mengelus lembut pucuk kepala anaknya tulus. Bagaimana ia mampu membenci buah hati kecilnya itu. Baginya anak adalah titipan dari Tuhan yang tidak berdosa, begitupun dengan kehadiran Denada di hidup Nanda.
"Ibu gak akan pernah bahkan berniat untuk membenci kamu, Nak."
"Ibu sayang sama kamu dan juga Denada, anakmu," Diana melepas tautan mereka dan mengecup kening anak perempuannya.
"Terimakasih atas segalanya, Bu."
"Aku gak tau apa yang terjadi di hidupku sampai saat ini jika gak ada Ibu di samping aku," Nanda kembali tersenyum lirih menatap Ibunya.
•••
Jam menunjukan pukul 23:32 WIB Nanda baru saja ingin mengerjakan tugas sejarahnya. Sejak jam depalan malam Denada terus saja menangis, namun Nanda tidak meminta bantuan pada Ibunya takut jika merepotkan.
Butuh banyak waktu untuknya mengerjakan sepuluh soal esay. Bagaimanapun pelajaran sejarah adalah yang paling menyebalkan, menulis sebanyak dua puluh lembar full kertas doble folio.
Rasa kantuk kini mengundang Nanda untuk berbaring di kasur bersama Denada yang sudah larut di alam bawah sadar. Setelah dua jam setengah ia telah menyelesaikan tugasnya dan mendatangi bayinya, mencium pipi gembul itu lama.
"Mamah sayang Denada," ia tersenyum.
"Selamat tidur anak Mamah."
Lima menit setelah itu Nanda menyusul sang putri ke alam mimpi. Mimpinya yang dulu selalu menjadi impian banyak orang. Dr. Nanda gelar yang ia impikan sejak kelas 2 SD telah berakhir sejak pertengahan tahun di kelas sepuluh.
Bahkan jika ia berteriak menyesal, mungkin mulutnya sudah berbusa untuk menyebutkan kata tersebut. Karena nasi telah menjadi bubur, dan Nanda tidak pantas menyalahkan takdir meski ia menangis puluhan tahun meminta agar bisa mengubah takdir.
Bukannya Tuhan tak adil padanya, tapi dia lah yang tidak adil pada dirinya sendiri. Ia pernah mencoba untuk menghancurkan Denada dalam janinnya. Ia begitu membenci Denada yang hadir di tengah-tengah masa remajanya yang menyenangkan.
Akan tetapi, Nanda beruntung memiliki Ibu layaknya Diana yang selalu mendukung akan kehadiran Denada di hidup putrinya. Meski tak seharusnya begitu. Ia hanya takut jika putrinya akan stress dan berujung hal buruk akan terjadi pada Nanda. Lihat, betapa ia menyayangi putrinya itu. Kasih sayang seorang Ibu pada anaknya tidak dapat dibayar dengan apapun. Ingat apapun itu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...