"Kamu kenapa nggak pernah telepon aku?"
"Aku ini pacar kamu, Lang. Kamu kenapa nggak pernah ngerti perasaan aku, sih?" ucap Hanni memberang.
Gilang hanya duduk di kursi kafe, memilih untuk memainkan ponselnya ketimbang meladeni gadis di hadapannya itu. Tentu saja hal itu sukses membuat Hanni semakin kesal.
"Gilang! Kamu kenapa sih cuek begini?"
"Jangan-jangan kamu ketemu mantan kamu ya pas ke Jakarta? Iya?" tebaknya.
"Kalo iya kenapa dan kalo enggak kenapa?"
Hanni semakin dibuat dongkol, ia menghentakan kedua kakinya dan menyilangkan tangan ke dada. Gilang memandang gadis itu jengkel, tak menyangka bahwa sifatnya jauh terbalik dari sebelum mengenalnya sejauh ini, apalagi dengan status mereka sekarang.
"Aku nggak suka kalo kamu ketemu dia, aku kan pacar kamu, ya wajar dong kalo aku cemburu."
"Aku nggak bisa lagi, Han," kata Gilang santai, namun sukses membuat Hanni menyatukan kening. "Nggak bisa apa maksud kamu?" Pemuda itu membuang napas, ia kemudian menepikan ponselnya dan menatap intens perempuan di hadapannya. "Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan kita lagi, aku mau kita sampai sini aja," jelasnya tanpa ragu.
Ulasan tersebut membuat Hanni bersitegang, bagaimana Gilang bisa memutuskannya disaat pemuda itu mengetahui titik kelemahannya sendiri. Gilang akhirnya berdicih, kemudian menyesap jus jeruknya. Dan menyodorkan sebuah rekaman di ponselnya kepada perempuan itu.
"Kenapa? Kamu heran kenapa aku mutusin kamu disaat kamu menderita limfoma stadium empat akut?" Ia menyindir.
Hanni memutar bola matanya, menatap kemanapun yang bukan wajah Gilang setelah mendengar rekaman dialog antara dirinya dengan sang Mama di ponsel pemuda itu.
Gilang kembali mengambil ponselnya, dan menekan tombol kembali. "Hanni, aku berterimakasih, seenggaknya kamu adalah seseorang yang nganggap aku sebagai manusia, bukan sampah. Tapi yang aku minta, jangan jadikan kematian sebagai candaan. Barang kali Tuhan mengaminkan, kamu bisa apa?"
"Mending sekarang kita udahan aja deh, Han. Aku nggak mau bikin kamu kecewa karena kamu nggak kenal aku sepenuhnya."
"Aku bukan orang baik." Gilang kemudian beranjak.
Sementara Hanni berdiri dari duduknya, bibirnya menurun. Tangisan kini mengalir di wajahnya. "Lang, selama ini kamu ngeliat aku sebagai mantan kamu itu kan?" telaknya. "Aku diam karena aku pikir kamu pelan-pelan bisa ngelupain dia, dan mencintai aku sebagai Hanni, bukan sebagai mantan kamu."
Gilang menghentikan langkahnya, ia kembali menghadap perempuan itu. "Ini bukan masalah aku liat kamu sebagai siapa, tapi tentang kebohongan kamu dengan Mama kamu, Han."
"Kamu rela mengaku penyakitan supaya bisa menjalin hubungan dengan aku, apa nggak gila?!"
"Karena cuma itu yang bisa aku lakuin buat dapetin kamu!" teriak Hanni. "Nggak harus aku!" balas Gilang cepat.
"Dunia ini bukan hanya tentang apa yang kamu mau." Merasa sudah muak, Gilang betul-betul beranjak dari kafe dan tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan perempuan itu.
Di tengah perjalanan, Gilang mendapat telepon dari Tina akan kabar buruk sang Papa, ia langsung memesan tiket keberangkatannya untuk kembali ke Jakarta.
Lusanya, Gilang telah sampai di Ibu Kota tanah air pada pukul tiga sore. Dengan langkah laju, ia langsung mendatangi Lukman yang telah sadar sejak kemarin.
"Papa, nggak apa-apa?"
"Loh Gilang?"
"Papa nggak apa-apa, ko kamu bisa ke sini lagi?!Seharusnya kamu nggak perlu ke sini jauh-jauh."
Tak lama, seorang perawat datang. Gilang pun keluar dari interior tersebut agar tak mengganggu interaksi dan berniat untuk ke kamar kecil. Malangnya, baru saja memasuki area kamar mandi, Gilang mendapat pukulan keras dari seseorang secara tiba-tiba.
Ia terhuyung lemah dan terduduk bersandar pada dinding, namun ia masih memiliki kesadaran dan mengetahui siapa yang memukulnya.
"Al..."
"Nanda hamil anak lo dan ngebesarin anak lo sendirian, tapi lo... lo malah pacaran sama Hanni, otak lo dimana, bangsat!"
"Lo pernah mikir gimana perasaan Nanda ditinggal gitu aja sama lo, gak?!" Aldi kembali memukul wajah pemuda itu hingga kesadarannya menipis.
Dengan mata yang tertutup serta darah yang bercucuran di sudut bibir, Gilang sedikit terkekeh kecut dengan ucapan saudaranya barusan. "Ternyata lo udah baca surat dari gue."
"Asal lo tau, seumur hidup gue nggak pernah merasa tenang, Al. Gue selama ini hidup dengan dosa," lirihnya dengan suara parau, kini ia menangis kencang.
"Persetan lah lo mau hidup dengan dosa! Lo mana tau, selama ini Nada menderita gagal ginjal!" telak Aldi nyaring, membuat Gilang kembali bangkit dan berdiri sempoyongan menghadapnya. "Ma... maksud lo?"
"Maksud lo anak gue, Al?"
Aldi membuang napas kasar lalu menangkup kedua atensinya. Ia kemudian berjalan mendahului Gilang, memimpinnya untuk melaju ke kamar Denada. Yang mana setelah keduanya sampai di ruang itu sudah ada Nanda dan Diana yang terpaut raut cemas.
"Nak Aldi," kata Diana. Atensi wanita itu kemudian beralih pada daksa seorang pemuda tak asing di samping Aldi, ia sedikit terpenjat, kemudian Gilang menyalimi tangan wanita itu.
"Tante," sapanya bergetar.
Gilang lalu menatap Nanda yang mengalihkan perhatian darinya, kemudian beralih pada Diana yang seakan bertanya-tanya akan kehadirannya. "Maaf Tante, Gilang terlambat," lirihnya.
Diana hanya membuang napas, kemudian tersenyum tipis. Ia kemudian membawa Gilang dan Aldi untuk duduk di sofa pada interior tersebut. Hanya saja, perhatian Gilang terlanjur dicuri oleh seorang gadis kecil yang terbaring tanpa kesadaran di atas ranjang.
Ia langsung melangkah menuju Nada. Mengusap pucuk kepala bocah itu, memandang wajah putri kecil yang begitu mirip dengannya. Ia lalu terisak, di hadapannya sudah tertera makhluk suci yang terlahir atas dosanya. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri saat mendapati malaikat kecilnya terbaring lemah dengan selang oksigen yang terpaut di hidungnya?
"Tekanan darah Nada sejak kemarin meninggi, dan sampai sekarang belum balik jadi normal. Karena itu bisa berdampak buruk untuk Nada, jadi dokter menyarankan untuk mencari pendonor Ginjal," terang Diana.
Gilang menyapu air matanya, ia kemudian bertanya, "Sudah ada?"
Diana menggeleng sebagai jawaban. "Belum ada pendonor yang pas."
Meski rasa kesalnya sangat besar pada pemuda itu, ia berusaha memahami situasinya. Gilang benar-benar merindukan putrinya, dan setidaknya Gilang telah berada pada disforia yang membuatnya mengundang akan penyesalan.
Aldi yang merasa dialog mereka terlalu serius akhirnya pamit sekejap dan berlalu meninggalkan ruangan. Nanda menyaksikannya, ia memandang sayu laki-laki itu. Ia yakin, Aldi merasakan hal yang tak kalah sakit dari dirinya. Dikecewakan oleh dua orang sekaligus.
"Kalau gitu biar Gilang aja, Tante." Tawaran tersebut sukses membuat Nanda terpenjat. "Maksud kamu?"
Gilang mendatangi Nanda dan Diana yang duduk di sofa. "Tante, Nanda, izinin aku buat donorin ginjal aku buat anak aku."
"Karena cuma ini yang bisa aku lakuin untuk Nada, walaupun nggak sepenuhnya bisa menebus kesalahan ku selama ini."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...