0.24 Tamu yang Tak Diundang

34 9 0
                                    

"Kenapa lo yakin kalo Laras dijadiin kaki tangan sama Rey dan Santi?" tanya Aldi.

Laki-laki itu telah diperbolehkan pulang oleh Dokter kemarin. Sehari setelah kejadian perundungan di gedung kosong waktu itu. Kini Aldi dan Tono duduk di balkon kamar Aldi, mengingat-ngingat kejadian dua hari lalu saat pertempuran itu terjadi.

"Gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalau Laras ada di gedung kosong tempat Nanda di sekap kemaren, Al."

"Mungkin sebenarnya Rey sama Santi udah rencanain ini buat ngalihin perhatian kita supaya dia bisa curi hp lo dengan bantuan Laras," imbuhnya menjelaskan sembari mengunyah kue kering yang baru saja di antar oleh Bi Sri.

Tono membuang napas kasar. "Gue nggak nyangka, Laras ternyata gitu anaknya," ia tertunduk lesu.

Aldi menepuk pundak laki-laki itu—"Gue tau lo anaknya cepat akrab, tapi nggak semua orang bisa dipercaya dengan waktu singkat, Ton. Ada yang perlu waktu, contohnya Laras."

"Lo terlalu cepat yakin sama dia, makanya kecewa begini," katanya.

Tono akhirnya menunduk seraya mengangguk setelah mendengar ucapan itu. "Gue pikir Laras cewek yang berbeda, Al. Dia baik, dia ngertiin gue, dia orang yang care sama gue disaat orang tua gue nggak pernah peduli sama gue, ya meskipun itu nggak berjalan lama," ia menghembus napas—"Kenapa setelah merasa nyaman dengan seseorang, gue selalu ditinggalin gini, ya?"

"Itulah hidup, terkadang nggak melulu tentang apa yang kita mau. Tapi setidaknya dengan nggak terkabulnya sesuatu yang lo mau, lo jadi tau mana yang terbaik buat lo," nasihat Aldi.

Tono tersenyum lirih melirik Aldi sekilas, merasa betapa beruntung mendapat kawan layaknya Aldi di hidupnya. "Thanks, Al."

Aldi tersenyum tipis, memperlihatkan memar yang mulai memudar di sudut bibirnya. "Gue kaya gini aja ngerasa tersakiti banget, gimana rasanya jadi lo yang lebih lama cinta sama Nanda tapi selalu ditolak," lirih Tono merasa malu, masalah asmaranya bahkan tidak ada apa-apanya banding Aldi yang menyukai Nanda selama tiga tahun, tapi sama sekali tak terbalas.

"Gue udah biasa, lo berhak sakit hati karena ini, Ton."

"Lo bisa kapan aja cerita sama gue, meskipun gue nggak selalu bisa kasih solusi yang masuk logika sih, tapi ya seenggaknya biar lo ngerasa plong," kata Aldi menggaruk tengkuknya, merasa geli akan ucapannya barusan.

Keduanya lalu tertawa terbahak-bahak, mengingat selama obrolan, mereka tak lain hanya membahas latar belakang percintaan yang absurd itu. Tono akhirnya beranjak dari balkon untuk pulang, ia memang bermalam semalam, kalau malam ini kembali menginap agaknya kurang tau diri.

"Yaelah, kenapa buru-buru amat sih lo?" elak Aldi menolak laki-laki itu untuk pulang.

"Gue kangen Imeng, Al. Dia pasti kangen berat sama babunya ini," balas Tono mengingat kucing betinanya di rumah, sembari memasukkan tiga lembar baju kaus ke ransel.

Aldi mencibir, meski sebenarnya ia tak peduli-peduli amat. Mau Tono pulang atau kembali menginap juga ia tidak masalah akan hal itu.

"Yaudah sana! Nambah anak lagi emang si Imeng?"

Tono terdiam sejenak untuk berpikir. "Belom sih, padahal kemaren kawin sama kucingnya tetangga gue. Kucing Pak Rt," ungkapnya, berbisik di akhir kalimat.

"Dih, sana deh lo pulang. Sekalian, ajarin tuh majikan lo, murah amat," sindir Aldi melempar sus kering kepada Tono. Laki-laki itu hanya mencibir, kemudian beranjak dari kamar Aldi setelah berpapasan dengan kehadiran Ranti dan izin pulang dengannya.

Ranti kemudian duduk di bangku yang semula diduduki Tono. "Gimana kabarnya, Aldi?" tanyanya lembut.

Yang ditanya hanya tersenyum lebar—"Sangat baik, Bun."

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang