Jakarta, 1995
Wanita berumur 21 tahun tersedu-sedan menghadap anaknya yang baru memasuki usia 4 minggu. Ia kemudian mengecup lama kening mungil itu dan berlalu meninggalkannya dengan sebuah kertas bertuliskan nama.
Reynaldi Adithama, lalu ditemukan oleh seorang pengasuh panti asuhan Pondok Yatim dikala bayi itu menangis nyaring di depan gerbang.
Wanita yang merupakan Ibu kandung dari bayi tersebut menyaksikan anaknya yang dipungut lembut oleh Bu Ita, ia kembali menangis dengan cucuran air mata yang tak lagi terbendung. Betapa ia keji meninggalkan darah dagingnya bersama orang yang bahkan tidak ia kenali. Ia sadar akan setinggi apa kecacatan hidupnya.
•••
Aldi menenteng sebungkus bingkisan dan nasi kotak, kemudian mengukir senyum ke arah Nanda. "Makasih ya, nggak nyangka lo ternyata pandai berbagi," ia terkekeh geli.
"Emang wajah ku terlihat kaya orang pelit?" cibir Nanda.
Aldi mengusaikan kekehannya—"Bukan gitu, gue cuma bercanda."
Anak laki-laki itu beralih menatap bayi bersama empeng biru dalam dekapan gadis di hadapannya dengan senyum. "Oh iya, ngomong-ngomong bayi kecil ini adik lo ya?"
"Em- iya, kenapa?"
Ia tertawa manis seraya menggapai pucuk kepala Denada yang tersenyum menatapnya. "Pantes cantik, Adik Nanda sih."
Aldi lalu melipat lututnya mensejajarkan tingginya dengan Denada yang dipangku oleh Nanda. "Selamat ulang tahun, semoga kamu selalu bahagia dan bertemu dengan orang baik yang bisa membuat kamu bahagia," ia kemudian mengecup lembut pipi gembul itu.
Nanda tersenyum manis, tidak, ia tersenyum pahit. Betapa ia merasa rindu sesekali kecewa dengan Gilangnya. Gilanglah yang seharusnya mengecup Denada, ia yang seharusnya membuat Denada tersenyum. Bukan Aldi.
"Kamu tinggal di sini ya?"
Aldi lantas menyeringai menatap Nanda. "Cie, udah kepo sama kehidupan gue ya?"
"Enggak! Aku cuman basa basi doang. Kalo nggak mau kasih tau juga nggak apa-apa ko!" kelik gadis itu ingin menjauh dari Aldi.
"Eits, gue cuman bercanda, Nan," ia terkekeh dan kembali membawa Nanda duduk di bangku taman yang ramai.
Aldi lalu mendengus menatap kawan-kawan lamanya yang berhamburan di taman. "Sebenarnya gue dari lahir sudah tinggal di sini. Tapi, saat umur gue beranjak sepuluh tahun ada sepasang suami istri yang datang kemari untuk mengangkat gue sebagai anak mereka," ia kembali mendesah. "Gue nggak tau siapa orang tua kandung gue dan dimana asal gue."
"Salah gue apa sih sampai di buang kemari?" Aldi menunduk sembari tersenyum pahit. Sial, pengecut sekali menampilkan wajah buruk di hadapan Nanda. "Gue...gue benci sama mereka. Gue benci mereka yang sudah menciptakan dosa kaya gitu! Gue benci, Nan."
"Suatu saat mungkin mereka bakal jemput kamu."
Aldi terkekeh miris kemudian menatapi Nanda dengan mata sayu. "Nggak ada harapan buat gue ketemu sama mereka. Gue ditakdirkan terlahir jadi anak yatim piatu. Untuk apa mereka menjemput aib."
Nanda menggeleng ribut menggapai punggung tangan Aldi. "Nggak, mereka nggak mungkin anggap kamu aib. Kalo pun kaya gitu, kamu pasti sudah digugurkan sejak dalam kandungan."
Aldi menepis pelan tangan putih Nanda dari punggung tangan kecoklatannya. "Maaf Nan, kali ini gue nggak bisa sependapat sama lo."
Anak laki-laki itu kembali bersandar pada bangku panjang—"Mereka terlalu malu untuk nemuin gue."
Nanda kemudian menyatukan alis. "Kenapa?"
"Karena gue anak ampang."
"Mereka malu punya gue, Nan. Gue anak yang nggak diharapkan dalam keluarga. Karena itu gue benci sama orang tua kandung gue, gue benci sama mereka yang melakukan dosa itu."
Bagai disengat tegangan listrik yang menyentrumnya, sebagian tubuh Nanda kaku mendengar ungkapan itu. Ucapan Aldi seperti menuju padanya. Gadis itu lalu terdiam dalam hitungan detik, ia yakin Aldi akan membencinya suatu saat nanti. Aldi akan merasa kecewa dengan wanita yang dicintainya selama ini.
•••
Kalah, kuakui aku kalah
Cinta ini pahit dan tak harus memilikiJika aku bisa, ku akan kembali
Ku akan merubah takdir cinta yang kupilih
Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau
Membawa kamu lewat mesin waktu"Nanda, aku suka sama kamu sejak kelas tujuh di semester kedua. Karena sekarang kita sudah kelas delapan. Aku nggak mau kalau ada yang rebut posisi aku di samping kamu, so let's date!"
Nanda menggigit bibir bawahnya, seorang most wonted SMP Negeri 4 berdiri di hadapannya, menyatakan pernyataan yang sungguh membuatnya bergetar hingga kaki.
Kaki kanannya bertekuk, sebisa mungkin gadis berponi rata itu menahannya dengan menormalisasikan keadaan. "Kamu serius?"
Gilang mengangguk, meyakinkan. Lantas, Nanda pun mengangguk lambat menerimanya seraya mengulum senyum.
Lamunan Nanda lanjut berakhir ketika Bu Ita bersuara di sampingnya —"Itu namanya Aldi, dia suka sekali bernyanyi dari kecil, suaranya sangat merdu kan?" ucap wanita itu bangga seraya menunjuk Aldi yang berdiri di atas panggung.
Nanda mengangguk— "Benar, pantas aja Aldi jadi idola di sekolah."
•••
Sorak sorai penghuni SMA Negeri 3 membeludak kala Aldi mempertontonkan suara merdunya di acara classmeeting kamis itu. Lagu Iklan di Tv dari ST12 kelewat mengenakan untuk di dengarkan apalagi jika Aldi yang membawakan dengan petikan gitar di depan tembolok.
Pandangan Aldi terus berjalan mendapati ratusan siswa siswi yang ramai. Untuk kemudian, manik matanya seolah tertahan beberapa detik setelah menjumpai gadis lugu di penghujung keramaian. Nanda menyungging senyum setelah mata mereka bertemu.
Lagu kian berakhir. Aldi kemudian beranjak dari atas panggung dan turun ke arah penonton. Ia lalu berjalan melewati pembatas melalui segerombol manusia yang menghalangi pandangannya pada seorag gadis berponi rata yang membutnya terpana sejak tadi. Setangkai mawar merah lalu terpampang jelas di hadapan Nanda, raut kaget kemudian menyerbunya, begitupun dengan penonton. Banyak yang bersiul menggoda, banyak pula yang merasa jijik?
"Nanda, plis untuk kali ini aja. Terima gue ya? Gue sayang sama lo, gue janji bakal jaga lo disituasi apapun yang nimpa lo."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...