0.07 Mawar yang Layu

116 27 7
                                    

Di dalam kantor, Lukman menatap kosong ibu kota yang dihujani salju. Ingatannya kemudian berputar akan masa kelam yang menimpanya enam belas tahun lalu.

"Gimana ini, Mas? Kamu harus tanggung jawab!" tangis pecah seorang gadis berumur 20 tahun setelah memberikan sebuah gambar hasil USG.

"Saya sudah kasih kamu uang dengan jumlah yang tidak sedikit hanya untuk partner sex. Bukan bertanggung jawab atas anak itu!"

"Tapi, Mas, bagaimana mungkin aku bisa merawat anak ini? Aku hidup untuk diriku sendiri aja susah, gimana aku bertanggung jawab atas kehidupan anak ini tanpa kamu?"

"Nggak bisa Sinta! Istri saya juga sedang hamil. Saya nggak bisa menikahi kamu gitu aja, apalagi dengan alasan sudah menghamili kamu."

Mendengar isakan yang cukup kencang dari wanita pemuas hawa napsunya itu, Lukman mengusap kasar wajahnya bagai tsunami di depan mata, kemudian beranjak dari kursi kerja dan berjalan ke arah laci, ia kemudian memberikan sebuah amplop cokelat setebal tiga jari kepada Sinta. "Ini, untuk keperluan kamu selama hamil."

"Setelah lahir, bawa bayi itu jauh-jauh dari hidupku."

Lamunan Lukman berakhir setelah ponselnya berdering. Ia lalu mengangkat panggilan itu dan— "Saya sudah mengirim semua foto dan informasi tentang pacar Gilang, Pak. Namanya Nanda, dia pacaran dengan Gilang sejak SMP dan mereka berdua pernah menginap di apartement Bapak saat mereka pergi ke Bali."

"Dan—"

"Cukup, pekerjaan kamu sudah selesai. Uang sudah saya transfer."

•••

Nanda mengembalikan setangkai bunga mawar merah kepada Aldi di belakang gedung sekolah yang mulai berkarat. "Jangan sia-siain waktu kamu untuk jatuh cinta sama aku. Karena itu hanya membuang waktu kamu dan akan nyakitin diri kamu sendiri."

Aldi mengerutkan kening, merasa heran. Padahal, baru saja ia ingin membawa Nanda mengelilingi kota Jakarta sebagai peresmian status karena telah menjadi pacarnya sejak setengah jam yang lalu. "Kenapa, Nan?"

"Apa alasan lo yang selalu nolak gue?"

"Karena ini tentang masalalu aku, dan masa depan kamu akan hancur jika kamu jatuh cinta sama aku, Aldi!"

Ia lalu menggeleng cepat sembari meraih kedua tangan Nanda dan menggenggam erat tangan putih nan dingin itu. "Gue nggak peduli sedikitpun tentang masa lalu lo, Nanda. Apapun itu baik buruknya lo, gue akan terima!" Nanda melepas kasar tangan kecokelatan itu, "Cukup Aldi! Aku nggak akan pernah bisa terima cinta kamu!" balasnya nyaring. Tapak tangan Aldi beralih memegang erat kedua pundak Nanda, menatap manik mata berair itu lekat. Ia turut menggeleng—" Semua orang punya masalalu, gue, dan lo semua punya cerita di masa lalu."

"Nanda, i love you so much, more than anything. Gue nggak pernah merasakan hal ini sebelumnya, lo... Lo orang pertama yang membuat gue gemetar, yang buat gue merasa ingin terus melindungi dan merasa bertanggung jawab atas apapun yang terjadi sama lo. Itu... Itu alasan gue jatuh cinta sama lo, Nanda," anak laki-laki itu kemudian membawa Nanda dalam dekapannya, membawanya berlindung di dada bidang seluas samudra. Meski ia tak sama sekali merasakan tangan gadis itu melekung ke bahu lebarnya.

"Izinkan gue jadi seseorang yang bisa lindungin lo, gue janji akan nerima apapun yang terjadi di masa lalu lo, Nanda," ia terisak masih dengan posisi awal.

Gadis berponi rata itu lalu berteriak keras di dalam hati, ia bersumpah perasaannya kian hari kian mendalam pada lelaki itu. Namun, ia merasa tak mampu untuk kembali jatuh cinta karena merasa tak pantas untuknya. Aldi adalah laki-laki manis, baik, dan sempurna, sedangkan Nanda bukanlah gadis seperti itu bahkan jauh dari kata sempurna.

•••

Setelah penolakan pada hari itu, Nanda selalu mengalihkan pandangannya dari Aldi. Meski laki-laki itu sering kali mencari perhatian kepada Nanda. Seperti sekarang, Aldi bermain gagah memasukan bola oren ke dalam lingkarang berjaring. Akan tetapi, Nanda tak sama sekali menggiring bola matanya menuju laki-laki itu.

Hingga sebuah bola basket lain terlempar mengenai sudut kepalanya. Santi dengan sengaja melempar—"Ups! Kena ya? Sorry, gue kira lo ring basket."

Nanda tau itu adalah sebuah kesengajaaan, karena ia menolak untuk membantu mengerjakan tugas Fisika milik Santi, hingga membuatnya dihukum hormat di lapangan selama satu jam pelajaran. Nanda yakin betul, lemparan bola itu adalah bentuk balas dendam Santi padanya.

Nanda lalu melepas kacamatanya, gagang kanannya patah. Ia mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha menormalkan pandangannya yang mulai kabur tanpa benda itu. Di sisi lain, Santi kembali menggiring bola ke arah kawannya. Meski nyatanya gadis itu memang menujukannya pada Nanda.

Cairan berwarna merah lalu merambas bebas dari hidung Nanda. Pukulan keras kedua kali sukses membuatnya kepuyengan, kemudian mimisan. Aldi yang baru saja menyaksikan hal tersebut lalu membelakangi Santi dengan punggung lebarnya yang hendak melempar bola ke arah Nanda lagi.

Benar saja, bola itu terlempar keras di bahu lebar Aldi yang terlapis kaus olahraga biru. Santi membulatkan matanya saat bolanya tak sampai pada target. Serta merta laki-laki itu menapak lebar langkahnya menghadap gadis itu. "Lo selalu aja cari masalah sama Nanda!"

"Lo tuh emang nggak tau cara terimakasih ya? Atau nggak pernah diajarin?!" ia mengepal erat tangannya, menahan seluruh amarahnya agar cepat padam, alih-alih mendaratkan tonjokan pada gadis gila yang kini tampak kekesalan di wajahnya.

Aldi lanjut beralih pada Nanda, namun demikian, gadis mimisan itu tak nampak lagi di sudut lapangan. Matanya lalu beralih pada seluruh aspek manusia di lapangan yang kini tengah memandangnya tanpa mengetahui maknanya. Sesosok gadis berambut panjang kecokelatan lalu muncul dalam pandangan. Nanda berjalan linglung di koridor sambil menenteng kacamata patah ke arah loker.

Tak hanya mendiamkan diri, Aldi lantas berlari ke arah Nanda dan membimbingnya agar berjalan dengan benar. "Nggak usah, aku bisa sendiri," tolak Nanda, memutar bahunya demi melepas tapak tangan Aldi yang berada di sana.

Aldi mendesah, kemudian melepas tangannya pada bahu gadis itu. Meski ia terus menggiring Nanda dari belakang, takut jika gadis itu kembali berjalan oleng dengan pandangan yang buram.

Keberuntungan menghampiri Nanda saat kacamatanya yang lain berada di dalam loker. Ketika berbalik, Nanda dikejutkan oleh kehadiran Aldi yang kini tak berjarak di hadapannya. Dengan sebuah papan alas kayu yang sudah menjadi payungan di atas ubun-ubunnya, lagi-lagi Santi dan kawan-kawan ingin menyiram Nanda dengan seember air penuh dari lantai dua.

Gadis itu kemudian memberanikan diri menatap Aldi  yang sudah berambut lepek dengan baju olahraga yang basah kuyup. Aldi mengusap wajahnya yang terguyur air demi menatap Nanda. "Lo nggak kebasahan kan?"

Gadis itu lalu menangkup kedua pipi Aldi sembari merengek. "Kenapa kamu selalu lindungi aku?"

"Kamu nggak harus ngelakuin ini, Aldi. Aku nggak mau bikin diri aku sendiri berharap dengan hal yang nggak seharusnya aku miliki," ucapnya dengan air mata yang mulai berambai-ambai dikedua belah pipi.











Bersambung....


Aku minta vote kalian ya xixi kalo dapet vote dari kalian tuh bakal semangat lagi nulisnya. Karena akhir-akhir ini aku dilanda malas menulis. Doain biar semangat terus🙌🏼🙌🏼

Terimakasih sudah membaca🙌🏼🙌🏼

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang