0.29 Bertemu Lagi

46 11 1
                                    

Nan, besok bisa ketemu nggak di kafe dekat sekolah?

Nanda mengerutkan kening mendapati pesan dari Erick yang mengajaknya bertemu. Padahal, ia bisa kapan saja untuk datang ke rumah jika ada hal yang ingin ia sampaikan. Mau penting ataupun hal yang tidak terlalu penting.

Meski awalnya dibuat bertanya tanya, Nanda akhirnya memutuskan untuk menerima dan bertemu pada pukul tiga sore.

Sementara di rumahnya, Erick terus mengigit bibir seusai mengirimi Nanda pesan. Bukan ia yang sebenarnya ingin bertemu Nanda, melainkan Gilang. Gilang mengabarinya perihal penerbangannya ke Jakarta kemarin, dan Erick tidak ada alasan untuk tidak membantu dan mengizinkannya bertemu Nanda.

•••

Setelah memesan minuman rasa matcha, Nanda terus saja mengutak atik ponselnya. Sebentar sebentar melihat pintu masuk kafe sebentar sebentar lagi menatap ponsel, karena yang ditunggu tak kunjung datang.

Tak sabar lagi menunggu, ia pun berniat ingin menghubungi Erick. Nanda akan memarahi Erick jika saja ia membatalkan pertemuan itu secara sepihak. Akan tetapi, perhatiannya beralih pada seseorang yang baru saja masuk ke dalam kafe.

"Gilang..." ucap Nanda langsung berdiri dari duduknya.

Matanya berkaca-kaca menatap sosok laki-laki yang sempat membuatnya menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

Begitupun Gilang, ia menatap lekat gadisnya dari kejauhan kemudian berlari dan memeluk wanita itu. Tanpa peduli bagaimana para pengunjung kafe menilainya, ia hanya ingin gadis yang selama ini ia rindukan mendekap di tubuhnya.

Tubuh keduanya akhirnya menyatu, sebagaimana orang saling merindu. Namun, hanya Gilang yang memeluk Nanda, melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu tanpa balasan dari Nanda. Hanya saja ia tak sadar, karena yang terpenting baginya adalaha rindunya selama tiga tahun terbalas.

"Aku tau ini sangat terlambat, maaf, Nanda," lirih Gilang menangis tersedu sedan, tak mampu menahan tangis yang telah tertahan sejak tadi.

Sedangkan Nanda terdiam dalam isakan yang tertahan, sungguh, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah ia harus membalas pelukan itu dan mengungkapkan jika dirinya pun merindukan Gilang atau bersikap biasa saja. Ia hanya takut, takut jika harapannya akan kembali dihancurkan. Karena selama ini ia berupaya sebesar mungkin untuk tidak lagi mengharapkan Gilang. Namun, laki-laki itu kini kembali hadir di hadapannya.

"Gilang."

"Nanda, kamu juga kangen aku, kan?"

"Biar gini dulu, aku nggak mau pelukan ini bakal berakhir karena kita kembali berpisah," ucap Gilang terus memeluk Nanda.

Nanda melepaskan tautan keduanya, mata merahnya menatap lekat laki-laki tinggi di depannya itu. "Jadi kedatangan kamu hanya untuk kembali berpamitan?"

Ia terkekeh menyisir kasar rambut panjangnya. "Aku nggak butuh semua ini, Lang!"

"Aku nggak butuh omong kosong kamu lagi, jadi kamu nggak perlu repot-repot untuk pertemuan ini," Nanda mengambil ponsel dan tas selempangnya yang terletak di meja, kemudian beranjak keluar. Meninggalkan Gilang yang jelas saja mengejarnya sampai di depan pintu masuk kafe.

"Nan..."

"Nanda, maksud kamu apa?" tanyanya heran.

"Aku sudah datang kesini, untuk kamu dan untuk anak kita. Aku tau kamu marah karena selama ini aku nggak nepatin janji ku dulu, tapi kamu harus tau gimana perjuangan aku selama ini untuk ngasih kabar sama kamu," jelasnya.

"Perjuangan kamu ngasih kabar?"

"Kabar apa maksud kamu? Kabar kalau kamu sudah punya yang baru?"

Alis Gilang bertaut mendapati ucapan itu. "Nan, maksud kamu apa? Aku nggak pernah lupain kamu apalagi berniat untuk mencari yang lain selain kamu, karena aku tau ada tanggung jawab besar yang harus aku pertanggungjawabkan sama kamu."

Nanda membuang muka, merasa muak dengan penjelasan yang ia yakini hanyalah sebuah alibi. "Mending kita akhiri semua ini."

Gilang lantas terpenjat, ia kemudian menggapai lengan Nanda untuk memastikan jika apa yang gadis itu ucapkan hanyalah gurauan.

"Nan..."

"Ini bukan saatnya bercanda."

"Nggak ada yang bercanda, aku udah nggak ngarepin apapun lagi dari kamu."

"Jadi... Aku mau semua ini berakhir. Mengakhiri hubungan yang seharusnya lebih awal kita akhiri," balas Nanda bergetar.

Gilang menggeleng, ia bahkan menggenggam kedua tangan Nanda. "Aku tau, aku tau kamu kecewa dengan kedatangan aku yang sangat terlambat ini."

"Tapi, Nan... Mengakhiri semuanya bukan jawaban yang tepat. Aku bahkan belum bertanggungjawab untuk anak kita, aku belum liat dia," ujar Gilang suaranya bergetar hebat, kembali menahan tangis.

"Aku udah nggak ngarepin apapun lagi dari kamu, Lang. Apalagi berharap pertanggungjawaban dari kamu, selama ini aku udah terbiasa untuk menjalaninya sendiri!"

"Nan, aku bakal balik, semester ini aku bakal pindah sekolah ke Jakarta. Aku janji!"

Nanda kembali melepas paksa genggaman Gilang yang terpaut di lengannya. "Udah deh Lang, kamu nggak perlu rayu aku lagi. Mending sekarang kamu minta maaf sama tunangan kamu karena masih berusaha ngejar aku."

Nanda kemudian meninggalkan Gilang yang berdiri mematung. Ia memikirkan apa yang Nanda ucapkan barusan. Tunangan? Dengan siapa Gilang bertunangan disaat ia sibuk memikirkan bagaimana cara ia bisa bertemu dengan kekasihnya itu.

Matanya membola sempurna saat wajah Hanni terlintas di kepalanya, untuk kmudian langsung mengejar Nanda yang membuka pintu taksi. Dengan cepat, Gilang menutup kembali pintu mobil putih itu dan memaksa Nanda untuk menghadapnya.

"Nan, denger aku! Aku nggak tungangan sama siapapun, selama ini yang ada di kepala aku itu cuma kamu, kamu doang, Nanda Darleena!"

"Kenapa kamu nggak percaya sih sama aku!" Gilang berujar begitu nyaring hingga Nanda menangkup matanya tak kuasa dengan nada bicara itu.

Sepersekian detik kemudian Gilang akhirnya menyadari bahwa apa yang ia lakukan sudah melewati batas. "So-sorry, Nan. Aku nggak bermaksud," ucapnya sedikit menunduk memastikan bahwa gadisnya itu tidak kenapa napa.

Nanda mengangguk. "Oke," dan kembali membuka pintu taksi kemudian meninggalkan Gilang yang nampak prustasi.

Nanda memandang kota Jakarta yang nampak muram melalui jendela tertutup, sama dengan apa yang kini ia rasakan. Ia kini menangis deras di dalam taksi, mengingat nama Gilang, mengingat wajahnya, baginya sangat menyakitkan.

Ia mungkin selalu mengharapkan kehadiran Gilang. Tapi, itu dulu, sebelum ia mengetahui bahwa laki-laki itu tak berniat menghianatinya, sebelum ia mengetahui bahwa Lukman begitu membencinya dan kehadiran putrinya.


Bersambung...

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang