0.34 Kematian

47 6 2
                                    

"Papa nggak setuju!"

Suara lantang Lukman menggema di ruang keluarga, hanya karena penolakan keras akan Gilang yang meminta izin padanya untuk mendonorkan ginjalnya kepada sang putri.

"Papa nggak akan biarin kamu donorin organ apapun untuk anak itu!"

Lukman berdiri dari duduknya kemudian menuju Gilang yang duduk di sofa seberangnya. "Kamu itu ahli waris perusahaan Papa, Gilang! Kesehatan itu yang paling utama buat kamu!" berangnya.

Meski baru pulang dari rumah sakit petang kemarin, tak ada alasan untuk Lukman tidak memarahi putra sulungnya itu. Sementara Gilang terseyum meremehkan dalam tunduknya, lalu menatap tajam ke arah Lukman.

"Aku laki-laki yang punya jiwa tanggung jawab besar, Pah! Nggak kaya Papa yang mau enaknya aja habis itu menghamburkan uang dan lari dari tanggung jawab." Ia menyindir.

"Lagian tujuan aku ngomong ini sama Papa bukan untuk minta izin kok, ini udah jadi keputusan bulat. Aku mau ngasih tau aja kalo aku...anak Papa ini bukan Gilang yang selalu nunduk dan nurutin apa kata Papa.

"Aku nggak mau jadi Papa dan menyesali semuanya diakhir."

Gilang akhirnya beranjak dari ruangan itu, dan meninggalkan rumah. Tak lama, Tina datang menemui Lukman yang kini mengeraskan rahang, marah besar akan perbuatan Gilang yang menurutnya sudah melewati batas.

"Aku nggak mau Gilang donorin ginjalnya buat anak itu, Tin."

Tina menggelengkan kepala, tak menyangka dengan keegoisan suaminya itu. "Mas, justru pilihan Gilang itu tepat. Dia melakukan itu karena anak itu adalah anaknya!"

"Tapi tetap aja..." dialog tersebut terpotong saat Tina
maju tiga langkah ke arah Lukman "Denger ya, Mas. Aku akan selalu berada di pihak Gilang." Ia pun kemudian keluar.

Sementara Lukman masih berselimut di bawah keegoisannya. Ia tak terima, semua ini salah Nanda — setidaknya itulah yang ia pikirkan— Nanda yang telah membuat keluarganya hancur, Nanda juga yang telah membuat Gilang berubah seribu persen dari sebelum insiden hari itu terjadi.

Tepat saat ingin menelepon seseorang, dadanya terasa nyeri. Pria tua itu berulang kali mengatur deru napasnya seraya meremas dadanya kuat kuat. Tak lagi kuasa menahan keseimbangan, Lukman terduduk pada ubin. Napasnya tak lagi stabil, tangannya yang sedari tadi berada di dada pun kini tergeletak ke lantai. Ia tak lagi memiliki kesadaran, napasnya pun kini berhenti.

•••

Danu menampar pipi Santi begitu keras. Gadis itu memegangi pipi kirinya yang membiru, ia menangis tapi kemudian ia tersenyum. Ia yakin, tamparan kali ini adalah yang terakhir untuknya, karena setelah ini Ibunya tak akan pernah lagi menamparinya seperti dulu, sebab ia telah berhasil menyingkirkan Nanda dan akan menjadi predikat pertama di satu angkatan.

"Anak jalang! Kemana lo bawa map yang gue kasih kemaren, hah?"

"Goblok! Lo tau seberapa berharganya itu buat nyawa gue, bangsat?!"

"A... aku."

"Nggak usah banyak bacot, kembaliin map itu ke gue!" timpal Danu lagi.

"Udah hilang, Pa."

Danu kembali menampar putri satu-satunya itu. Tanpa meninggalkan sepatah kata apapun lagi, pria itu beranjak dan menuju ke suatu tempat.

Yang mana, Danu telah sampai di rumah megah bernuansa putih. Setelah melewati gerbang kokoh itu, Danu berjalan ragu menuju pintu masuk. Ia tau bahwa kehidupannya akan berakhir saat itu juga.

Tak berselang lama, usai berjalan ragu melalui ruang tamu, Danu menjumpai sosok yang terbantai pada ubin mewah.

"PAK LUKMAN!?" teriaknya nyaring. Ia pun menghampiri Lukman dan bergegas membawanya ke unit darurat.

•••

"Gimana keadaan suami saya, Dok?"

"Penyakit jantung suami saya kumat lagi?"" tanya Tina dengan air mata yang berusaha ia kunci keras.

Pria berjas putih itu terdiam sekejap, ia menunduk lesu. Sementara Tina menatapnya penuh tanya, pikirannya pun terbuai.

"Suami saya..."

"Maaf, Bu Tina, saya tidak bisa menyelamatkan nyawa Pak Lukman."

"Saat dibawa kemari, beliau sudah dalam keadaan meninggal."

Tina terduduk lemas dengan mata yang memandang kosong kearah ruang ICU, beberapa sekon kemudian, mata bulat itu berkaca-kaca lalu menangis tersedu-sedan. Tak lama, Gilang dan Aldi bersidahulu datang selepas mendapat kabar dari sang Ibu.

"Mah, Mama kenapa? Papa gimana kondisinya?" tanya Gilang, suaranya mulai bergetar. Perasaannya sudah tak nyaman dari awal. Sementara Aldi, ia memilih untuk langsung masuk ke dalam dan memeluk sang Papa yang telah terbaring dibawah sehelai kain putih.

Ia bahkan tak lama merasakan kasih sayang dari pria itu, dari sosok laki-laki yang berusaha ia beri maaf selama ini. "Pah, ini Aldi, anak Papa. Maafin Aldi karena selama ini Aldi udah benci sama Papa," ucapnya sesenggukan.

•••

Sore itu dipengebumian, air mata terus berguguran dikalangan keluarga Lukman. Pun Tina yang begitu merasa bersalah pada suaminya, karena terakhir kali ia bertemu diperdebatan.

"Pa, maafin Gilang yang selama ini selalu kecewain Papa." Tangis Gilang tak sederas awal.

Aldi menepuk bahu Gilang dua kali, mungkin dengan itu bisa sedikit membuat saudaranya merasa tenang—karena hanya itu yang bisa ia lakukan—

Di malam pertama yang sunyi tanpa eksistensi seorang Lukman yang sering sekali Tina jumpai, meski ia sedikit membenci suaminya itu, ia juga memikirkan bagaimana cara ia melanjutkan hidup tanpa sosok Lukman.

Tina berjalan menuju kamar Gilang, ia sedikit ragu hanya untuk mengetuk pintu kamar anaknya.

Tok tok

hanya dua ketukan, tapi mampu membuat Gilang langsung membuka pintu kamarnya. Mungkin, ia tahu ada sang Mama yang berdiri di ambang pintu.

"Gilang."

"Ma, aku rasa selama ini aku udah keterlaluan sama Papa. Tapi, aku ga bisa ikutin permintaan terakhir papa untuk nggak mendonorkan ginjal aku sama Nada, Ma."

Tina menunduk, sekali lagi ia menangis, namun dengan susah payah ia menahannya. Yaampun! Ia lah yang paling berdosa di sini, ia tidak bisa mendidik Gilang, tidak bisa pula memberkati suaminya.

Lengan berkerutnya menggapai daksa kokoh sang anak. "Mama selalu dukung apa yang kamu putuskan selagi nggak merugikan orang lain, dan yang penting nggak merugikan diri kamu sendiri, Lang."

"Mama nggak mau, kamu tumbuh jadi orang yang nggak punya jiwa tanggung jawab dan lari dari kesalahan. Mama... Mama takut kamu jadi orang tua seperti Mama." Dan kali ini Tina tidak mampu membendung derasnya air mata yang sudah berjatuhan.

Bahu lebar Gilang membawa daksa sang Mama kedalam dekapannya, keduanya kemudian menangis. "Aku janji, kali ini Gilang nggak akan ngecewain Mama lagi, maafin Gilang ya, Ma."

Dibalik dinding, usai menatap keduanya Aldi menutup matanya kemudian tersenyum. Setidaknya, keluarga ini menjadi harmonis, meski tanpa ada Lukman di sisi mereka.

Atensi laki-laki itu kemudian beralih pada selembar kertas. Yang mana, ia akan melanjutkan jenjang pendidikannya ke dunia militer.

*****
Aku ga tau masih ada yang ingat book ini apa nggak😭 aku baru masuk kuliah jadi sibuk banget (sok banget, padahal maba:'))
tapi aku seneng banget bisa menulis lagi walaupun mungkin ga ada yang baca lagi seenggaknya aku ngejar deadline lah ya walau telat berbulan-bulan🤣

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang