Pagi hari setelah hari itu, Aldi bangun lebih awal dari biasanya. Mengundang kecurigaan dari kedua orang tua angkatnya dengan tingkah sang anak yang nampak berbeda. "Biasa Bun, masa puber, lagi kasmaran sepertinya," ucap sang Ayah yang anehnya berhasil menebak.
Aldi menutup mulutnya yang berisi segumpal roti, merasa malu. "Yaampun nak, makannya kenapa kaya gitu. Nanti kamu keselek, loh," kali ini sang Bunda yang berbicara.
Setelah menelan habis roti isinya, Aldi langsung menjawab kebenaran-kebenaran yang sebenarnya— " kalaupun aku keselek, kayanya Nanda lagi kangen aku," ucapnya merasa bangga.
"Yah, aku hari ini pakai motor ya?"
Ilham menunjuk anaknya menatap sang istri, sesekali menggoda putranya itu. "Tuh kan bener, Bun. Aldi lagi kasmaran."
Aldi melipat bibir kembali dibuat malu, setelahnya menyalimi Ayah dengan Bunda. "Hati-hati kalau bawa perempuan. Bunda aja hampir mau mati ikut kamu naik motor."
Aldi menaruh cepat tangannya ke pangkal alis, memberi hormat.
•••
Diana memandang tamu berjaket denim dengan heran, ia merasa tak asing. Akan tetapi, ia lupa, dimana ia pernah menamui bocah ini sebelumnya. Aldi lantas menyerahkan tapak tangannya pada Diana.
Tak lama, seorang gadis bersetelan putih abu-abu berambut sepinggang dengan jepitan bunga mawar datang. Sontak membuat mata Aldi berbinar menatap betapa sempurna wanita di depannya. Ya Tuhan! Kalau saja ia boleh menikah detik itu juga, ia akan membawa Nanda ke KUA saat itu.
"Boleh Nanda menikah dengan saya?"
"Maksud kamu?!" Diana menautkan alis.
"Ah nggak, maksud saya, boleh Nanda berangkat sekolah dengan saya?"
•••
Di jalanan padat ibu kota pagi itu, Aldi sama sekali tidak melunturkan senyumnya. Tak jarang ia juga menatap Nanda di jok belakang melalui spion.
"Cantik banget sih hari ini," godanya.
"Hari biasanya aku nggak begitu apa?"
"Bukan gitu, auranya beda aja hari ini."
"Aura berbeda gimana deh?"
"Dari pandanganku beda aja. Atau karena aku yang jemput, makanya kamu dandan gitu?" Aldi kembali menggoda.
Nanda lantas memukul lengan berotot laki-laki itu. Serta bersungut-sungut karena Aldi mengendarai motor dengan kecepatan yang sungguh lebih lamban daripada kura-kura berlari."Berhenti goda aku, cepet jalan! Kamu mau kita terlambat?!"
"Aku bersumpah rela dihukum kalau terlambat, asal sama kamu," balas Aldi mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
"ALDI!"
Setelahnya, Laki-laki itu tak henti-hentinya menggoda Nanda. Sesekali ia memuja-muja calon pacarnya itu. Meski terasa begitu kesal pada Aldi, munafik jika Nanda tidak merasakan bunga-bunga yang bertebaran di dalam perutnya, dan jangan lupakan kupu-kupu yang juga tak mau kalah beterbangan di sana.
"Tuh kan, gara-gara kamu, Pak Jojon udah kunci pagarnya!" sungut Nanda setelah menjumpai gerbang SMA Negeri 3 yang telah digembok sempurna.
"Ko karena aku?" Aldi menunjuk diri sendiri. "Pakai nanya lagi kamu! Gimana dong sekarang?"
Laki-laki itu meletakan telunjuknya di dagu, mulai berpikir. Aldi Kemudian teringat dengan gerbang belakang sekolah yang sering ia panjat saat terlambat. Ia lalu menarik tangan Nanda menuju belakang sekolah.
Nanda menatap gerbang belakang yang mulai usang dan berkarat. Teringat akan kejadian beberapa hari lalu saat ia menolak Aldi di tempat serupa, seketika ia merasa tidak enak. "Kenapa bengong gitu, bukannya tadi heboh banget karena terlambat?"
Nanda lalu terbangun dari pikiran bawah sadarnya. Selanjutnya ia yang kini nampak berpikir keras bagaimana cara menaiki gerbang yang terbilang cukup tinggi itu. "Kamu naik duluan, di punggung ku," suruh Aldi membungkukkan bahunya.
Gadis itu lantas menatapi rok abu-abu selututnya, kemudian menatap Aldi dengan alis bertaut. "Kamu cari kesempatan ya?!" pekiknya. "Astaga mana ada, kamu ko berpikir gitu?" balas Aldi tak terima langsung berdiri tegap. "Yaudah, kalau kamu nggak mau, kita bolos aja!"
"Enak aja, aku bukan orang yang kaya gitu!"
"Makanya, kamu naik punggungku dulu. Gitu doang susah banget."
"Ko jadi marahin aku?"
"Kamu susah dibilangin."
"Aku kan cuma takut kamu melakukan hal bodoh sama aku!" Nanda merengut, melipat tangan di dada.
Aldi mendesah hebat, merasa gemas sesekali kesal. Ia menggapai bahu Nanda, menatapnya lekat. "Aku nggak pernah sedikit pun berpikir untuk melakukan hal aneh sama kamu, Nanda."
"Kamu wanita yang nggak pantes untuk mendapatkan itu, hanya orang berengsek yang melakukan itu kepada wanita sesuci kamu."
Suci? Nanda bahkan jauh dari kata itu. Ia kemudian menunduk menurunkan tangannya yang terlipat, mengindahkan matanya kemana pun yang bukan wajah Aldi. "Gimana, kamu mau kan?" Aldi kembali memastikan. Nanda mengangguk tak yakin.
Keduanya lalu berjalan perlahan di belakang gedung labolatorium sambil menjinjing ransel. Nanda tak hentinya bergerutu di dalam hati, khawatir jika diketahui Guru Killer. Ia bersumpah benci berurusan dengan ruang BK.
"Kalian!"
•••
Disinilah Aldi maupun Nanda sekarang, bertumpu di tengah lapang sekolah, berhadapan dengan tiang bendera, juga matahari bagai menyengat keduanya pada pagi menuju siang hari itu, membuat Aldi berdiri lebih selangkah di depan Nanda. Menutupi gadis di sampingnya agar tidak terpeluh lebih banyak.
"Maaf," ucap Nanda menengadah pada tiang bendera.
Nanda memang bukan seseorang yang ahli membolos, hingga jejak perlahannya kemudian diketahui oleh seseorang. Alhasil, guru IPA dengan tanpa dosa menghukum keduanya di tengah lapang.
Saat di kelas, Tono—kawan satu tim basket Aldi menamuinya. Duduk di hadapan Aldi hingga membuat laki-laki itu memundurkan kursi kayunya, merasa jijik. "Apaan sih lo, naksir sama gue?"
"Gimana Al, lo masih nerima tawaran gue yang kemaren kan?"
"Plis lah Al, tim kita lagi kekurangan satu anggota inti."
Aldi tersenyum miring kemudian lanjut memakan cimol sambil memainkan ponsel, ia memang memantapkan diri keluar dari tim basket sejak ketua tim sialan dan anggota tak tau diri itu menghina Nanda saat kelas sepuluh. "Kan ada Rey sama Justin, napa harus gue?" tanyanya menjilat jempol yang tersisa bumbu.
"Rey masih sih, tapi Justin keluar."
"Kenapa keluar?"
Tono melihat sekeliling, kemudian mendekatkan bibirnya pada daun telinga Aldi. "konsumsi narkoba," ia terpenjat kaget. "Ko bisa?"
"Ya bisa lah, namanya nafsu mah nggak bisa ditahan. Apalagi lo tahu sendiri Justin kalo mau sesuatu gimana, harus dikabulin, kan?" balas Tono menyantap tiga butir cimol pedas terakhir milik Aldi.
"Ya, gabung lagi ya. Kalo kali ini kita menang bakal lanjut tingkat nasional, loh!" pinta Tono, matanya berbinar dengan segumpal makanan berbahan dasar kanji di mulutnya. Aldi berdecak sesekali menautkan alis pada kawannya itu karena menghabisi cimolnya tanpa sisa. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Nanda yang membaca novel. "Suruh Rey minta maaf sama Nanda."
"Nanda siapa?" Aldi kemudian mengangkat dagu, menunjuk Nanda yang duduk di bangku pojok. Sembari memberi tahu Tono bahwa Rey hampir melukai Nanda dengan basket yang dilemparnya kala itu. Mendapati penjelasan dari Aldi, Tono lantas menyeringai, menggoda Aldi dengan mencolek lengan laki-laki itu. "Siapa, pacar ya?"
"Iya, kenapa? Cemburu? Mau pacaran juga sama gue?"
"Boleh, ayo!"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...