0.10 Kencan dalam Kenangan

79 18 8
                                    

Bern, 2020

Di lapangan sekolah, Gilang menatap lesu ponsel keluaran terbaru yang berada di genggaman jemari panjangnya. Sudah seminggu ini Gilang bersikeras mengingat nomor ponsel Nanda, namun sialnya ia tak mengingat rentetan angka itu barang empat digit pertama. Terlebih, gadis itu sama sekali tidak memiliki sosial media yang aktif saat itu.

Ia kemudian mendesah pasrah. Tak lama seorang gadis berwajah pucat dengan rambut sepinggang berponi rata serta syal merah yang terlilit menutupi penuh lehernya menghampiri Gilang, membawa segelas amerikano kepadanya. "Aku perhatikan kamu hobi banget ngelamun ya?"

Gilang lantas terkejut. Wajah bule yang berbicara dengan dialek tak terlalu jelas itu lanjut tersenyum tipis seolah mengerti dengan raut wajah yang terpasang di wajah laki-laki itu. "Aku bisa sedikit, cause my mom from Indonesia."

Gilang kemudian mengangguk sembari menyeruput kopi hitam itu tanpa mengalihkan pandangannya. Melihat gadis itu membuatnya seketika dejavu akan kekasihnya yang memiliki tampilan tak jauh beda dari kawan seangkatannya itu.

"Halo?" ia melambaikan tangannya pada Gilang yang menatapnya kosong.

"Ah- sorry, thaks for coffe."

Gadis itu lanjut mengangkat tangannya, membawa Gilang bersalaman—"Aku Hanni, kelas kita bersebelahan. Jika kamu butuh teman cerita, just call me," ia kemudian meninggalkan Gilang dengan secangkir kopi panas.

"Hanni."

Merasa kembali dipanggil, sang pemilik nama lalu menghadap Gilang dan kembali duduk di sampingnya. "What's wrong?"

"Mau datang ke pameran seni bareng? Aku ada dua tiket masuk."

Gadis itu mengangguk cepat dengan lekuk senyum di bibirnya, jemarinya kemudian menunjuk ponsel Gilang yang nampak tak dipakai oleh sang pemilik. "Kamu bisa hubungi aku dengan itu. Biar aku kasih nomor ku."

•••

Gilang menatap lekat seorang gadis dengan setelan overal jeans beserta sweter merah muda dan topi baret yang terpasang pada rambut lurus kecokelatannya. Seketika rasa kerinduannya kepada Nanda terbalaskan, ia lalu menapak lebar langkahnya kemudian memeluk erat gadisnya.

Air matanya terpancar bebas sembari mengungkap secuap penyesalan dalam isakan. Dapat ia tangkap dari indra penciumannya wangi yang tak begitu khas dari sang kekasih, meski sudah lama tak bertemu, ia ingat betul bagaimana pesona aroma tubuh Nanda. Serta merta tangisannya berakhir, kemudian melepas tautannya dan ia tak lagi mendapati sosok Nanda yang barusan berada dalam pelukan.

"Gilang, are you okay?"

Gadis itu kemudian tersenyum, mengusap lembut rahang tegas Gilang. "Don't worry, aku nggak keberatan dengan keterlambatan kamu."

"Kita nggak terlalu terlambat untuk jalan-jalan malam ini," imbuhnya malu, mengaitkan anak rambut ke daun telinganya.

"Ah- Aku pikir, aku terlambat cukup lama," Gilang berusaha mengalihkan pandangan.

•••

"Gilang, kamu ingat nggak lukisan yang di paling depan tadi punya siapa?" ucap Hanni setelah mengunyah habis pizanya.

Gilang menggeleng. "Emang punya siapa?"

"It's my Mom's painting!"

"Aku merasa terhormat menjadi seorang putri seniman seperti Mamaku. Lukisan itu yang membuat Papa menikah dengan Mama."

Hanni lalu menyeruput minuman soda sebelum kembali melanjutkan rundingannya—"Hmm... Setelah aku tau lebih jauh tentang dunia seni melalui Mama, aku jadi memiliki mimpi. Meski bukan sebagai pelukis sepertinya sih, tapi aku suka membuat desain grafis dengan fashion ku sendiri. Kalau kamu, mimpimu apa?"

Sepanjang kecerocosan Hanni, Gilang sama sekali tidak mengindahkan perhatiannya pada gadis yang mulai lancar berbahasa Indonesia itu. Gilang tidak bersungguh-sungguh mendengarkan apa yang ia ceritakan, ia begitu terbuai dengan pesona Hanni yang benar-benar seperti pacarnya, Nanda.

Hanni menyadari mata Gilang yang menatapnya tanpa kedip, lalu melambaikan tangan. "Dengar nggak?"

"Ap- apa? Dengar apa?" Gilang dengan gugup menyeruput amerikanonya.

Hanni tersenyum manis dengan lesung di kedua belah pipi. Saat menyaksikan hal tersebut, Gilang lantas tersedak, ia benar-benar dibuat gila oleh Hanni malam itu, mengapa mereka berdua terlihat seperti pinang dibelah dua. Mulai dari cara bicara, cara berpakaian, bahkan lekuk senyum mereka terlihat sama, menampakkan lesung pipi.

"Tuh kan kamu jadi batuk, makanya jangan sering ngelamun. Kata Mama nggak baik," ia memberikan tisu sesekali menyeka sisa kopi pada sudut bibir Gilang. "Sorry, aku akhir-akhir ini lagi banyak pikiran."

"Bukannya aku sudah bilang, kalau kamu ada masalah aku bisa jadi teman cerita buat kamu, loh."

Gilang tersenyum sangat singkat, lantas mengambil alih tisu dari lengan Hanni yang menyapu di tepi bibirnya. "Iya, makasih. Nanti aku bakal cerita."

Beberapa detik setelah itu— "Oh ya, ngomong-ngomong, kamu dari SMP mana?" tanya Gilang menghapus ketegangan yang ada. "SMP 17 Bali," balas Hanni.

"Bali? Kamu dari bali?" Gilang mengulang ucapan Hanni sesekali memastikan jawaban gadis itu. "Iya Gilang, aku kan udah bilang sama kamu kalau Mamaku orang Indonesia, tulen," balasnya digiring kelakaran yang sama sekali tak membuat Gilang tertawa, ia hanya mengangguk dengan kekehan paksa.

Mendengar kata Bali, ia hampir mengingat segala hal yang pernah ia lakukan bersama Nanda di apartment tepi pantai petang hari itu. Bagaimana ia memandangi Nanda yang tanpa busana tampil di hadapannya yang juga berbentuk serupa, menyambut malam dengan kenikmatan yang tiada tara. Menyisakan kenangan indah untuk mereka berdua, tanpa restu alam semesta.

Setelah makan di restoran piza, keduanya kembali berjalan mengelilingi mall tanpa tujuan. Hanni menunduk, menatap bagaimana lengkah mereka berjalan beriringan tanpa tautan apapun. Gadis itu lalu mendekatkan kelingkingnya pada jemari kelingking Gilang hingga keduanya sempat bersentuhan. Akan tetapi, lelaki itu dengan cepat menjauhkan tangannya dengan alasan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak merasa gatal. Ia hanya merasa tak nyaman dengan sentuhan itu.

•••

Hanni menatap Gilang setelah memasuki taksi, tatapannya sendu. Ia yakin bahwa sebenarnya Gilang tidak bersunggung-sungguh mengajaknya berjalan malam itu. Atau entah hanya Hanni yang mengharapkan Gilang akan merasa senang saat bersamanya. Yang pasti, ia merasa enggan berpisah dengan Gilang dipertemuan pertama yang berakhir tak bahagia.

Laki-laki itu melambai ke arah taksi putih yang mulai melaju menjauh darinya. Serta-merta ia menunduk, menyeka air matanya yang lepas landas tanpa batas. Entah sebab apa kesedihan itu tiba, ia bagaikan mengalir ke pembuluh darah.

Menyebut nama Tuhan sesekali, merasa senang karena dipertemukan dengan seorang gadis yang membuat kerinduannya sedikit berkurang kepada sang kekasih, dan meminta ampun karena menyembuhkan kerinduan dengan cara menyakiti orang lain.





Bersambung...

•••

Gimana penggalan cerita hari ini?

Menurut kalian ada nggak sih cowok modelan Gilang di dunia nyata? Atau jangan-jangan mantan kalian? hehe

Makasih sudah membaca ALDINANDA😻😻

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang