0.31 Di Balik Selimut yang Terungkap

49 11 0
                                    

Di rumah, Nanda menopang dagu menatap nasi pecel yang dibawakan Aldi. Sejujurnya, ia bingung, akhir-akhir ini ia sering merasa kacau karena pertemuannya dengan Gilang. Tapi justru ia malah menjadi lebih dekat dengan Aldi, meski tidak ada status yang jelas, ia pikir kedekatannya hanya sebatas pelarian, ataukah dirinya telah jatuh cinta seutuhnya pada laki-laki itu? Ia mendeteksi kemungkinan sebesar 75%.

Nanda membuang napas kasar, meyakinkan dalam diri untuk tidak berkalbu. Karena, bahagianya kini tak lagi mampu melukis kirana yang menetap, sebab relasi di masa lalu terus membuatnya terbuai akan keyakinannya saat ini.

Mengingat besok sudah mulai semester terakhirnya bersekolah, malam harinya Nanda menyiapkan segala perkakas. Mulai dari seragam putih abu-abu sampai benda kerdil layaknya penghapus.

Seperti yang dikatakan Aldi petang kemarin, paginya Nanda duduk di teras menunggu pemuda itu menjemputnya. Tak lama, suara motor menggaung menuju halaman luas. Gadis itu menoleh pada sosok laki-laki yang kini membuat hari-harinya menjadi apas, sampai sampai bumantara pun tak mampu menembusnya.

Ia tersenyum mendapati Aldi yang kini berada di hadapannya, namun, senyuman itu kian luntur saat atensinya bertemu pada lebam keunguan di wajah pemuda itu.

"Aldi... Kamu?" Nanda berusaha menggapai kelukur itu. Akan tetapi, Aldi dengan halus menepisnya. Ia tersenyum meski tak dapat diarktikan oleh Nanda.

Diperjalanan ibu kota yang sedikit macet, tak ada sapaan atau candaan tak penting dari Aldi. Pun jika terkadang Nanda merasa jengkel, pemuda itu akan tetap terus menggodanya.

Sampai di pekarangan sekolah, Aldi masih saja enggan bertegur sapa dengan Nanda. Ia berusaha mengulur waktu untuk tidak berjalan menuju koridor bersama.

"Makasih, Al. Aku duluan ke kelas, ya?" Paham dengan tingkah Aldi yang seperti mengulur waktu, ia pun beranjak dari parkiran dan menuju lorong sekolah seorang diri.

Tilikan dari penghuni sekolah membuat Nanda bingung, padahal di hari hari biasa kehadirannya di sekolah tak pernah dipedulikan. Ia tak mampu mengestimasi puluhan pasang mata yang kini menatapnya bermacam-macam. Menatapnya tajam, jijik, dan berbisik satu sama lain.

"Widih, Nanda, boleh kali malam ini. Bookingannya semalam berapa sih?"

"Heh bitch, ko lo bisa sih masih sekolah dengan tampang sok polos lo itu?"

"Duh salah banget kemaren gue nggak percaya yang dikasih tau Santi, ternyata bener toh!"

Langkah Nanda terjeda, atensinya kini menatap semua orang yang ia yakini berbicara kepadanya. Kepalanya tersa pusing, detak jantungnya berdebar kencang, apa setelah ini kehidupannya akan berakhir?

Sampai di kelas, tatapan tajam itu masih saja menghampirinya. Hingga Erick mendatangi kelasnya dan menghampiri. "Nan, ayo ikut gue!" Erick berupaya membawa Nanda menjauh dari hinaan yang terus saja berkeliaran dari mulut ke mulut.

Nanda yang ditarik Erick menuju atap sekolah hanya mengikuti langkahnya dari belakang saat lengannya ditarik oleh pemuda itu.

"Nan, kenapa bisa kebongkar?" tanya Erick, gelagatnya begitu cemas.

"Aku nggak tau, Rick. Aku nggak tau kenapa semua orang di sekolah bisa tau," balas Nanda tak kalah buncahnya.

Erick merogoh ponselnya, layar ponsel itu kini ia perlihatkan pada Nanda. Gadis itu sontak kaget bukan main, ia kenal betul bentuk wajahnya dan yang pasti ia mengenali betul tempat dimana video itu di ambil.

Tiga tahun lalu, saat Nanda dan Gilang melakukan hubungan yang tak seharusnya, pemuda itu malah mengambil video mereka tanpa sepengetahuan Nanda. Nanda membungkam, tenaganya seolah terperas hanya dengan menonton video berdurasi 10 detik itu.

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang