0.03 Perpisahan

118 24 2
                                    

Jakarta, 2011

Nyatanya hanya Nanda yang menepati janji itu. Setelah perdebatan hebat antara Ibu, Mama, Gilang dan Nanda. Gilang dan sang Mama tidak mengurungkan niat untuk beranjak ke Swiss.

"Jika itu mau kamu, saya dan Gilang lepas tangan."

"Saya harap kamu bisa mengurus bayi itu dan tidak pernah mengganggu Gilang."

"Tina!"

"Kalian juga harus bertanggung jawab, hal ini tidak akan terjadi jika Gilang tidak lebih dulu mengajak Nanda," Diana terus tidak terima akan respon Tina yang beranggapan seolah anaknya lah yang memulai semua ini.

"Diana, saya sudah menyarankan pada Nanda untuk menggugurkan kandungannya itu. Tapi, anakmu sendiri yang nggak mau, kan?"

"Tetap aja, ini kesalahan mereka berdua. Jadi bukan hanya Nanda yang bertanggung jawab."

Tina nampak menghela napas panjang. "Baik, kalau begitu setiap bulan saya akan transfer uang untuk kebutuhan Nanda dan janinnya. Saya harap, dengan ini masalah kita sedikit berkurang."

"Kau pikir dengan uang bisa menyelesaikan semuanya?"

"Nanda akan menanggung beban yang tidak seharusnya dia tanggung di umurnya yang sekarang, Tina!"

"Lalu kamu mau apa? Menikahkan mereka berdua?"

"Menikahkan bocah 16 tahun? Begitu?"

"Setidaknya Gilang bertanggung jawab untuk menemani Nanda selama mengandung anaknya."

"Enggak, Gilang harus pergi ke Swiss!"

•••

Gilang memeluk Nanda erat, keberangkatannya akan dimulai sepuluh menit lagi. "Aku pasti akan selalu menghubungi kamu," lirih Gilang mengusap pelan perut rata Nanda.

Dengan air mata yang berambai di kedua pipinya, Nanda mengangguk. Ia yakin, Gilang tidak akan pernah melupakan janji apapun pada Nanda.

"Maafin aku Nanda, aku harus ninggalin kamu di masa sulit ini, maaf karena aku sudah membuat kamu jadi seperti sekarang. Aku benar benar menyesal," tangis sang laki-laki tak kalah hebat dari Nanda yang sudah mereda.

Gadis itu menggeleng laju, bagaimanapun yang salah adalah keduanya. Bukan hanya Gilang atau hanya Nanda, karena buah hati itu tak mungkin hidup jika tanpa kesalahan mereka berdua.

Tina mendatangi Gilang dan Nanda. Ia memeluk Nanda layaknya anak kandung. "Maaf Nanda, maaf..."

"Enggak Tante, justru Nanda yang harus minta maaf. Nanda dan Gilang sudah mengecewakan Tante," ia kembali terisak dalam pelukan.

Lima menit telah berlalu Gilang melambaikan tangan saat berjalan menjauh dari gadisnya. Perpisahan... yang seharusnya tak terjadi antara Nanda dan Gilang, kini telah sampai.

•••

Jakarta, 2012

Santi memberikan sepuluh lembar kertas folio kehadapan Nanda. Sang penerima menyatukan alis, merasa bingung akan perlakuan gadis tinggi berambut pirang.

"Kenapa, Santi?" ucapnya pelan.

"Ah Nanda... Masa harus gue jelasin dulu sih?"

Santi lalu terduduk di kursi samping Nanda dan meminta kawannya itu untuk membantunya menyelesaikan tugas sejarah, ralat, meminta Nanda untuk mengerjakan semuanya.

Mata sayu itu sedikit terbuka, bagaimana tidak. Nanda hampir tidak tidur hanya mengerjakan tugas itu tadi malam, belum lagi saat Denada menangis. Ia ingat betul saat mengerjakan tugasnya sambil memberikan asi pada Denada. Pekerjaan yang cukup melelahkan untuknya.

"Maaf Santi tap-"

"Lo nolak ya?"

"Ko gitu sih? Gue pikir lo itu temen gue?"

Teman? Santi tidak pernah sekalipun berbicara atau bahkan sekedar menyapa Nanda saat di luar kelas, gadis itu hanya memanfaatkan kecerdasan Nanda untuk mengerjakan semua PRnya. Namun gilanya, Nanda tak pernah sekalipun menolak permintaan itu. Untuk kali ini ia benar-benar kelelahan. Lalu, apa salahnya dia menolak.

Nanda menghela napas, lagi-lagi dia harus terjebak dalam situasi seperti ini. Ia lalu menerima sepuluh lembar kertas double folio itu dan mengambil pulpen untuk mulai menulis, Santi hanya tersenyum dan mengusap pucuk kepala Nanda tanpa berterimakasih.

Sebuah lengan kekar mengambil paksa kertas bergaris itu dari hadapan Nanda, ia tau Aldi pasti akan datang menolongnya.

"Aldi? Lo lagi lo lagi!"

"Kenapa sih?"

"Tugas sejarah ini udah di kasih satu minggu yang lalu, dan lo masih belum ngerjain?"

Santi melipat kedua tangannya ke dada dengan wajah yang merengut, kemudian bersikeras mengambil kembali kertas yang berada di genggaman Aldi. "Kerjakan sendiri, Nanda bukan mesin untuk mengerjakan semua pr lo!" ia lalu melempar semua kertas itu kehadapan Santi dan membawa Nanda keluar dari kelas.

•••

"Lo nggak apa-apa kan?"

Nanda mengangguk dalam tunduk, ia ingin berterimakasih pada anak laki-laki itu, namun niatnya ia urungkan saat Aldi mulai mendekat ke arahnya. Ia takut, anak laki-laki berbadan besar itu mendekatinya lebih jauh. Ia takut, hal yang terjadi padanya tahun lalu akan terjadi lagi detik ini juga.

Ia melangkah mundur berusaha menjauh dari Aldi yang terus maju mendekat ke arahnya. Aldi lalu menunduk dan terkejut akan tangisan mendadak dari gadis itu.

"Lo kenapa Nanda? Ada yang sakit? Santi nyakitin lo? Dia ngebuli lo lagi?" tanyanya bertubi tubi tanpa respon dari Nanda. Gadis itu hanya menunduk tidak menghiraukan semua pertanyaan Aldi dengan tangan yang meutupi dada.

Merasa terlalu dekat, Aldi melangkah mundur peka terhadap situasi mereka. "S-sorry, gue bikin lo nggak nyaman ya?"

Nanda ingin beranjak dari lorong sepi di ujung koridor itu, namun Aldi lagi-lagi menahan tangannya. "Maaf Nan, baju lo di belakang basah. Ini pakai jaket gue, takut dilihat orang-orang."

Nanda berusaha melihat baju bagian belakangnya. Ia kemudian tersadar, saat di halte bus sebuah motor gede menabrak benturan berair yang membuat Nanda tersiram. Sungguh kesialan di pagi hari.

"Makasih."

Setelah menerima, Nanda beranjak meninggalkan Aldi di lorong tanpa menatapnya. Aldi tersenyum menatap punggung Nanda yang mulai menjauh dari pandangannya, sekarang ia sadar mengapa ia sejatuh cinta itu pada Nanda. Gadis lugu yang pendiam.







Bersambung...

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang