Aldi keluar dari mobil, menatap rumah yang tak kalah mewahnya dari rumah yang ia tinggali. Ia mengikuti langkah Tina yang mendahuluinya, sebenarnya ia benar-benar enggan untuk sedikit pun menginjakkan kaki di rumah itu—rumah Lukman. Kalau saja bukan karena bujukan dari Nanda tempo hari.
"Nggak ada salahnya untuk kalian ketemu, walaupun itu berat dan butuh waktu untuk kamu."
"Kalau Papa kamu sendiri yang menginginkan pertemuan ini. Dia pasti akan menyesali semuanya," ucap Nanda menggenggam erat jemari Aldi untuk meyakinkannya.
Ia disambut ramah oleh beberapa pelayan, rautnya yang merengut tak pernah pudar meski disambut ramah oleh para wanita berseragam hitam putih itu. Hingga kini ia bertemu dengan sang peran utama—Lukman— yang telah sampai dari Swiss ke Jakarta pukul 7 pagi hari itu.
Mata Aldi terus bertemu dengan foto keluarga yang terpajang rapi di setiap dinding. Ia berdecih sekilas di dalam hati menatap 3 orang di dalam foto tersebut.
Setelah bertemu untuk pertama kalinya dengan Lukman yang duduk di sofa, Aldi hanya berdiri, enggan duduk apalagi harus berhadapan dengan pria itu. Merasa mengerti dengan perasaan sang anak, Lukman lantas melangkah menuju Aldi, berniat untuk memeluknya. Aldi lantas melangkah mundur, menggeleng untuk menghindar dari pria itu.
"Aldi... Ini Papa kandung kamu, Nak," ucapnya sedikit parau.
Aldi tertawa nyaring, matanya memerah. Entah karena marah atau menahan tangis, sulit untuk Aldi sendiri memahami hal tersebut. Ia hanya merasa asing akan pengakuan itu dari seseorang untuknya.
"Papa?" ulangnya.
"Anda bilang apa, Papa?" ia memegang daun telinganya, seolah ingin mendengar kembali apa yang ia dengar.
"Dengar ya, Pak. Saya mungkin bisa bertindak seolah tidak terjadi apapun antara saya dengan anda. Tapi jangan pernah berpikir untuk bisa membawa kehidupan tenang saya ke dunia gelap anda!" setelah mengucapkan kalimat itu, Aldi pergi. Mengabaikan panggilan Tina dan Lukman yang terus meneriaki namanya.
Lukman mengepal tangannya dan menangkupnya ke mulut—"Kamu lihat sendiri kan, Tin? Anak itu nggak bakal bisa terima aku!" ujarnya, sebelumnya mereka terus bercekcok untuk pertemuan ini. Dan Lukman sudah menduga, tak segampang itu untuk Aldi menerima maafnya.
"Jangan heran kalau dia nggak bisa nerima maaf dari kamu, Mas. Seharusnya kamu sadar, apa yang telah kamu lakukan itu yang harusnya kamu pertanggungjawabkan," balas Tina beranjak dari hadapan sang suami.
•••
Aldi merenung di atas bebatuan tepi sungai, berdiam selama setengah jam dengan pikiran yang berantakan. Meski ia bukan tipe orang yang gampang mengatur emosi, namun tidak memaafkan orang bukanlah jati dirinya. Sejak kecil ia selalu diajarkan oleh Bu Ita tentang bagaimana cara untuk memaafkan.
Mengingat masa kecilnya bersama Bu Ita, Aldi kemudian berpikir untuk berkunjung ke panti. Sesekali menjenguk keadaan pengasuhnya dulu. Untuk kemudian tanpa berpikir panjang ia langsung menaiki motor dan melaju ke kediaman Bu Ita.
Dengan buah tangan yang bertenteng di kedua tangannya, Aldi mengetuk pintu kayu rumah wanita itu yang juga berada di kawasan panti.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab seorang perempuan di dalam sana.
Setelah membuka pintu, perempuan itu nampak terkejut dengan kehadiran Aldi di hadapannya. Aldi tersenyum tipis mendapati Winda, yang ia ingat sejak SD dulu, Winda salalu ingin menjadi pacarnya. Tapi, tidak tau untuk sekarang.
Lama Winda menatap Aldi yang berdiri diambang pintu bersama dua buah paper bag.
"Siapa, Nduk?" tanya Bu Ita berjalan ke arah ruang tamu.
"Aldi?" Bu Ita antusias langsung menghampiri salah satu anaknya itu.
Ia memeluk Aldi sebentar kemudian membumbuinya dengan beberapa pertanyaan setelah keduanya duduk di kursi ruang tamu.
"Bu Ita... Maaf, lama nggak jenguk," Aldi mencium pungung tangan Bu Ita yang mulai berkedut.
"Yaampun, nggak apa-apa. Bu Ita malah senang sekali kamu berkunjung lagi."
"Terakhir kapan? Tahun lalu kan?"
Aldi mengangguk—"Iya, Bu. Maaf karena udah lama."
Wanita berjilbab itu menggeleng. "Nggak apa-apa, sing penting kamu sehat terus," balasnya mengusap punggung tangan Aldi.
"Nduk, Winda. Teh nya udah dibuat?" teriak wanita itu.
"Iya, Bu," balas Winda dari dapur.
Aldi berdehem sejenak sebelum memulai cerita utama. "Bu Ita sama Winda gimana, sehat kan?"
"Ibu alhamdulillah sehat, Winda juga sehat," balas Bu Ita sesekali melirik Winda yang baru saja sampai membawa nampan berisi dua gelas teh. Gadis itu tersenyum sekilas menatap keduanya.
"Syukur deh. Ini... Aldi bawa sedikit bingkisan. Mohon diterima ya, Bu," ucap Aldi memberikan papper bag itu kepada Bu Ita dan Winda.
"Yaampun, Nak Aldi. Kamu nggak perlu repot-repot padahal, bawa bingkisan segala. Nak Aldi sempetin mampir ke rumah Ibu aja, Ibu senang sekali."
Aldi menggaruk tengkuknya—"Bukan apa-apa kok, Bu. Aldi kesini sekalian mau cerita juga."
Setelah meminum secangkir teh panas yang baru saja diantar Winda, Aldi menjelaskan pada Bu Ita bagaimana ia bisa bertemu dengan keluarga kandungnya. Bertanya apa yang perlu ia lakukan dan apa yang tidak perlu ia lakukan, jujur Aldi bingung dengan dirinya sendiri yang begitu sulit berdamai dengan Lukman.
Belum lagi saat di perjalanan menuju rumah Bu Ita ia mendapat pesan dari Tina perihal permintamaafan yang terus menerus diulang. Aldi tidak enak, mengingat bahwa Tina juga korban perselingkuhan dari Lukman, tapi wanita itu malah ikut meminta maaf kepadanya—yang notabene tidak bersalah sama sekali.
Bu Ita mengusap punggung lebar Aldi, seolah merasakan kepahitan itu. "Nak Aldi, saling memaafkan itu tugas kita sebagai manusia. Urusan dosa itu biar Gusti Allah yang ngatur, kamu nggak boleh berbuat seperti itu sama Papa mu."
Bu Ita membuang napas sebelum melanjutkan ucapannya—"Dan lagi, Papamu sudah pasti luluh hatinya ketika bertemu dengan kamu, apalagi yang ngajak kamu bertemu duluan dia kan?"
Aldi mengangguk dalam tunduk, apa yang dikatakan Nanda kembali ia dengar di mulut orang yang berbeda. Ia masih belum yakin bahwa Lukman benar-benar tulus dengan pertemuan mereka yang katanya ingin menyesali perbuatannya. Aldi terus berpikir kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari belasan tahun lalu.
"Tapi, Bu. Kenapa Pak Lukman itu baru menyesalinya sekarang?"
"Apa Pak Luk-"
"Bukan Pak Lukman, tapi Papa..." potong Bu Ita.
Aldi menghembus pelan napasnya. "Kenapa dia baru mau nemuin Aldi sekarang, Bu?"
"Kamu aja butuh waktu untuk berdamai dengan masalalu, dia mungkin juga butuh waktu untuk bisa berdamai dengan masalalunya. Mungkin aja dia selama ini berusaha mencari kamu, tapi baru bertemunya sekarang setelah kamu dewasa."
Bu Ita kembali mengusap punggung luas anak laki-laki itu, menyalurkan kasih sayang untuk Aldi yang selama ini tak pernah hilang untuknya. "Nak Aldi, coba terima maaf Papamu ya, nak. Kamu memang belum bisa menerima kehadiran Pak Lukman, tapi bukan berarti kamu boleh terus bermusuhan dengan orang tua kamu sendiri," nasihat Bu Ita.
Aldi lantas mengusap air mata yang entah sejak kapan terpancar. Selain karena kebimbangannya dengan sang Papa, ia juga begitu merindukan sosok hangat Bu Ita yang dulu selalu berada di sisinya.
Ia kemudian menatap wanita itu—"Bu, makasih banyak. Aldi janji akan menerima Pa Lukman meskipun Aldi belum seutuhnya bisa memaafkan."
"Kasih Aldi waktu ya, Bu," lirihnya dengan pandangan lesu. Bu Ita lantas mengangguk seraya tersenyum dengan mata tertutup. "Segala sesuatu itu butuh waktu, asalkan kamu bisa menerima semua ini dengan ikhlas nantinya."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANDA - Park Jeongwoo
Teen FictionBerkisah tentang Nanda, seorang gadis SMP kelas tiga yang sudah lulus beberapa hari lalu. Ia harus berjuang dalam hubungan jarak jauh dengan sang pacar yang melanjutkan studi ke Swiss dalam tiga tahun. Akan tetapi, keduanya malah membuat kesalahan f...