0.17 Nanda dan Denada sesungguhnya

63 15 0
                                    

Sedi banget ga bisa dateng konser anak-anak kemaren😔

BTW selamat menunaikan ibadah puasa semuanya untuk yang menjalankan, mohon maaf lahir batin kalo ada tulisan aku yang menyinggung🙏🏻

•••

"Udah punya tujuan hidup lo?" tanya Rey yang lebih terdengar seperti hinaan kepada Aldi setelah tujuh anggota lainnya keluar dari ruang ganti.

Sedangkan Aldi yang baru saja membuka baju, hanya menghiraukan pertanyaan itu dan lanjut memakai jersey merah yang dulu sempat ia buang. Ia dapat menebak dengan mudah, kemana ucapan Rey itu menuju. Nanda.

"Harusnya lo berterimakasih, karena gue masih ada rasa iba liat tim lo yang nggak ada apa-apanya tanpa gue," balas Aldi telak setelah memakai bandana hitam di kepala. Untuk kemudian ia beranjak dari ruang ganti menuju lapangan.

Rey mengeraskan rahang mendapati ucapan itu, ia lalu merogoh ponsel di saku celananya yang belum berganti. Kemudian mengirim sebuah pesan untuk seseorang.

Gue terima tawaran lo kemaren

•••

Sorak sorai dari para pengunjung siang itu ramai dengan tabuhan drum, juga dengan teriakan para siswa siswi SMA 78 Jakarta yang menggelegar. Ada yang hanya mencari perhatian, namun ada juga yang benar-benar menyaksikan.

Jump shoot pertama Aldi membuat kericuhan dari beberapa penonton perempuan yang menyaksikannya. Akan tetapi nampaknya tim lawan lebih andal dalam bermain. Setelah laki-laki berjersey kuning mengambil alih bola dari Aldi, Rey malah menyenggolnya karena merasa tak becus.

Namun, Aldi hanya diam, dan lanjut bermain sampai babak akhir. Yang untungnya mereka mendapat lebih 5 poin dari SMA 78.

"Alhamdulillah, selamat ya untuk kalian. Aldi, kamu memang memberi pengaruh untuk pertandingan kali ini," ucap pria bersetelan jersey dan celana bahan hitam serta topi di kepalanya. Ia menepuk pundak Aldi beberapa kali, merasa bangga akan pencapaian sang anak didik.

Tono ikut menepuk pundak konconya, namun lebih pedas. "Tuh kan apa gue bilang! Makanya lo kudu banget gabung lagi!" katanya.

Aldi hanya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Merasa malu pada Pelatih dan memberi tatapan tajam pada Tono karena memberi sengatan pedas di bagian bahu.

Keduanya kemudian berniat melaju pada belerong yang terbilang sangat asing, mereka hampir tak tau arah sampai pada akhirnya ada yang menawarkan diri untuk membawa ke kantin.

"Ke kantin bareng?"

Sorot mata laki-laki berambut keriwil itu terbuka lebar saat menatap seorang gadis dengan seragam yang berbeda dari sekolahnya. "Duluan aja kita..." balas Aldi terpotong.

"Iya boleh, soalnya kita nggak tau dimana arah kantin," imbuh Tono. Caper.

Aldi memicingkan mata pada sang kawan, namun Tono sama sekali tak peduli akan tatapan itu dan langsung menuju kantin bersama Laras— siswi SMA 78.

Begitu banyak topik yang Tono dan Laras obrolkan. Dari sejak kapan ia berkawan dengan Aldi sampai dipertanyaan sejak kapan suka bermain basket hingga bisa bersaing dengan sekolahnya.

"Gue suka basket dari kelas enam SD sih, kalo Aldi nggak tau, mungkin dari lahir," kelakar Tono yang sama sekali tidak lucu di mata laras.

Aldi yang menjadi nyamuk sedari tadi hanya membuang napas pasrah setelah meneguk kola dingin. Dan berniat beranjak dari kantin.

"Mau kemana Aldi?" tanya Laras.

"Mau pulang."

"Gue pesenin lo batagor, dua porsi buat kalian berdua," kata Laras, berharap Aldi tak berniat meninggalkan kantin yang mulai sunyi itu.

"Lo aja yang makan, sama Tono tuh. Atau nggak suruh aja dia habisin keduanya," balasnya tertawa renyah dan kemudian meninggalkan Laras serta Tono.

•••

Suatu hari Nanda membawa Denada ke rumah sakit untuk yang pertama kalinya cuci darah. Ia gugup setengah mati, takut jika putrinya akan merasakan sakit yang luar biasa, pikirannya terus berputar akan hal itu. Namun yang paling menangis hari itu adalah—dirinya sendiri.

Setelah tertidur dengan selang yang beralir darah, Denada menutup mata dengan tenang meski awalnya menangis. Nanda tak berhenti menatap sang buah hati yang terbaring lemah di depan mata, yang mana sebelumnya ia selalu tersenyum bahkan disaat tidur.

Ia takut, jika suatu waktu akan gagal menjaga Denada, membuatnya kehilangan dunia dan mimpinya. Cukup ia yang kehilangan mimpi dan mati rasa akan kebahagiaan dunia, Denada hendanknya tidak perlu.

"Maafin Mama sayang, Mama gagal jadi Ibu yang baik buat kamu. Sudah cukup kamu merasa terbebani dengan kehidupan yang keras ini, tapi Mama malah bikin kamu jadi seperti sekarang," ucapnya tersedu-sedan.

Di tempat yang bersamaan, Aldi menemani Ibunya menebus obat sakit kepala di rumah sakit setelah konsul dengan Dokter.

"Bun, Aldi izin ke kamar mandi ya, kebelet," pintanya pada wanita yang memiliki kerut di bagian matanya. "Yaudah sana, kebiasaan kamu."

Setelah keluar dari WC, Aldi tak sengaja melewati kamar berpintu setengah kaca. Membuat penglihatannya langsung beralih pada sesosok perempuan yang sangat ia kenali, ia yakin betul itu adalah Nanda.

Jemarinya kemudian hendak membuka pintu kamar, namun kemudian tertahan setelah mendengar ucapan Nanda yang tak begitu jelas mengalir di telinganya.

"Mama janji bakal selalu di sisi kamu apapun yang terjadi."

•••

Pikiran Aldi kacau bukan main, ia selalu memaksa dirinya untuk tidak perlu memikirkan ucapan Nanda yang tak begitu jelas ia dengar. Harusnya ia tak berpikir sejauh itu sekarang, Denada adalah anak Nanda? Itu adalah pemikiran nircita yang teramat tidak masuk ke dalam akal manusia normal.

Kecuali Aldi tidak normal sekarang.

"Aldi."

"Aldi."

"Aldi, kamu dengar Bunda?"

Yang dipanggil lantas menghentikan aksi gigit kukunya, lalu beralih pada sang Ibu dengan gelagat kekhawatiran. "Kenapa, Bun? Bunda sakit lagi kepalanya?"

Ranti menggeleng dengan senyumannya—"Lagian kamu ngelamun aja dari sebelum naik taksi, sampai udah mau nyampe rumah. Mikirin apa sih? Mikirin pacar kamu yang kamu ajak naik motor kemaren itu ya?" godanya, instingnya sebagai seorang Ibu begitu kuat, bagaimana ia bisa menebak pikiran Aldi kalau bukan karena sangat mengenal putranya itu.

Aldi mengelus tengkuknya, ia sedikit malu karena tebakan Ibunya itu benar. Ia terkekeh malu—"Bunda, tau aja."

"Kenapa?" tanya Ranti mengelus lengan Aldi lembut. Aldi membuang napas pelan, ia bingung mulai dari mana ia bertanya. "Bunda sama Ayah dulu ketemunya gimana?"

Ranti menyipitkan matanya—"Ko nanya ke sana?"

"Ya mau tau aja sih, kali aja aku bisa belajar dari Ayah yang deketin Bunda pas pacaran dulu," ia tertawa tipis.

Wanita bersurai kehitaman itu membawa Aldi bersandar di bahunya, ia masih menganggap Aldi adalah anak kecil bahkan disaat laki-laki itu sudah dewasa.

"Ayah itu laki-laki yang paling Bunda percaya setelah Kakek kamu."

"Oh ya?"

Ranti mengangguk, kemudian—"Ayah mau nerima Bunda yang sangat berkekurangan ini, kamu tau sendiri kan, Bunda nggak bisa kasih keturunan buat Ayah. Padahal harusnya Ayah bisa aja cari perempuan lain yang bisa kasih keturunan, selain Bunda. Tapi, dia malah memilih Bunda untuk jadi pendampingnya seumur hidup," jelas Ranti penuh haru, dapat dilihat dari matanya yang penuh binar.

Maka dari itu, jangan heran jika Aldi memiliki upaya yang begitu besar untuk mendapatkan hati Nanda.


Bersambung...

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang