dua puluh lima

3.3K 257 0
                                    

Megan menghampiri Shella yang kini sedang terduduk di depan bangku perpustakaan yang terlihat sangat sepi. Bahkan dia tidak melihat orang lain selain Shella.

"Shel," Megan menyentuh pundaknya. Dia lalu duduk di sebelah sahabatnya yang sedang terdiam seraya sedikit menekan perutnya.

"Ya Tuhan, muka lo pucet banget?! Kenapa?! Perut lo masih sakit?" Megan panik, dia dengan cepat mengambil ponselnya dan hendak menelepon seseorang.

Dengan lemas Shella menahan tangan Megan, dia menggeleng pelan. Dengan suaranya yang serak juga lemah dia menjawab, "gue gak apa-apa,"

"Gak apa-apa gimana?! Itu muka lo pucet begitu. Terus keliatan nahan sakit,"

Shella menghela napasnya. "Mual banget, gue udah empat kali muntah dari pagi,"

Megan semakin panik, apalagi melihat Shella yang kini terisak pilu di harapannya. Dia semakin tidak tega.

"Pak Steffan tau? Lo udah ke dokter?"

"Pak Steffan marah. Gue—" Shella tercekat, tenggorokannya terasa kelu untuk menjawab. Akhirnya dia mengatur napasya terlebih dahulu.

"Iya, marah kenapa?"

"G-gue hamil,"

"Hah?" Megan menutup membekap mulutnya sendiri karena terkejut. Dia dengan cepat mengalihkan atensinya kembali pada sahabatnya.

"Serius?"

Shella mengangguk. "Pak Steffan sampe sekarang gak mau ngomong sama gue. Gue harus gimana?"

Megan membawa Shella ke pelukannya, dia mengusap punggung Shella untuk menenangkannya.

"Pak Steffan gak marah sama lo, Shel. Mungkin Kaget atau saking senengnya dia sampe gak bisa ngomong apa-apa," hibur Megan.

Shella menggeleng. "Enggak, dia sama sekali gak keliatan bahagia. Dia bahkan gak mau liat gue. Nanti gue sama si bayi ini gimana?"

...

Shella kini berada di dalam kamarnya. Dua sudah selesai makan malam. Malam ini dia tidak memasak karena Steffan terlebih dahulu sudah membeli makanan dari luar.

Dua bersandar di ranjang seraya mengusap perutnya pelan-pelan. Hari ini dia merasa lebih lelah dari biasanya. Ditambah lagi setiap makanan yang dia makan, pasti akan dimuntahkan kembali. Untungnya malam ini dia memakan mangga sedikit untuk mengurangi rasa mualnya.

Perut bawahnya juga terasa cukup sakit dan keram. Jadi dua memutuskan untuk tetap duduk di kasurnya. 

Shella teringat bagaimana perilaku Steffan belakangan ini yang membuatnya sedih. Lagi-lagi dia menangis tergugu mengingat itu.

"Kamu yakin milih aku jadi Ibu kamu? Kalo aku bukan Ibu yang baik gimana? Kalo aku gak bisa jaga kamu gimana?" lirih Shella.

Dia merasakan tempat di sebelahnya bergerak, tangisannya semakin kencang ketika melihat Steffan disana.

"Kenapa nangis?"

"Bapak udah gak perduli sama saya, udah gak sayang sama saya, Bapak marah," isak Shella.

"Saya gak marah sama kamu,"

"Bohong! Buktinya gak mau ngajak saya ngomong, gak mau liat saya. Gak mau saya masakin,"

Steffan menggeleng, dia menyeka air mata sang istri dengan lembut. Tangannya mengusap pipi Shella yang basah dengan air mata.

"Stop dulu nangisnya, nanti kamu pusing,"

Shella berusaha menghentikan isakannya, namun masih terdengar isakan kecil dari mulutnya.

"Saya gak marah sama kamu, saya masih tetap dan akan selalu perduli sama kamu, Shel. Saya cuma merasa bersalah sama kamu, karena kamu lagi sibuk kuliah gini kamu hamil, saya takut kamu stress, kecapean juga. Saya minta maaf, ya. Harusnya saya gak egois, harusnya saya mikirin perasaan kamu juga. Dan tentunya pendidikan kamu kedepannya gimana," jelas Steffan.

Life With My Lecturer [republished ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang