Chapter|01

7.3K 638 10
                                    

Glen sudah berdiri di gate kedatangan, demi menyambut Arav Pasya dari perjalanan bisnis. Laki-laki itu telah dua pekan berada di US, diperintahkan segera menuju rumah sakit. Perintah langsung tak terbantahkan dari sang otoriter. Arav memejamkan mata sepanjang perjalanan ke rumah sakit, entah apa lagi kiat sang otoriter kali ini untuk mendapatkan keinginannya.

Begitu tiba di kamar inap VVIP rumah sakit itu, ketiga saudaranya Ben, Chad, serta Dan spontan menoleh pada si sulung. Sang otoriter berbaring, masih penuh kekuasaan meskipun sedang sakit. Laki-laki itu menyambut putra sulungnya dengan gertakan.

"Pernikahanmu sudah kuatur, bujangan" ucapnya penuh penekanan.

"Papa" seru Arav frustasi.

"Sampai kapan kamu akan menunggu cinta monyetmu itu, anak badung? Kalau kamu tak punya keberanian merebut perempuan itu, sudahi kegilaanmu itu Arav. Semua adikmu sudah menikah. Apa tak malu kamu sebagai abang?" gertak sang papa lagi.

"Pernikahan itu sakral. Aku hanya akan menikahi perempuan yang kucintai papa" seru Arav tak mau mengalah.

"Kurang ajar" gertak sang otoriter.

Sebuah vas bunga kecil melayang di atas kepala Arav, membentur tembok kamar inap pribadi itu. Arav, sang sulung tak berkutik.

"Kalau kamu begitu memuja cinta, baiklah bujangan. Hiduplah dengan cintamu itu. Keluar dari istana yang dibangun dengan uangku. Sejak saat ini kamu bukan lagi direktur. Bekerjalah dari bawah, lebih rendah dari saudara-saudaramu. Sekarang keluar. Aku tak mau lagi melihat wajahmu itu" gertak sang papa.

Itulah bunyi ultimatum sang otoriter. Arav Pasya keluar, masih berusaha menjaga keyakinan romantis berbau kegilaan. Langkahnya diikuti Ben, Chad, serta Dan yang siap mengincar posisi sang sulung yang baru saja dilelang papa mereka. Ultimatum sang otoriter tak main-main. Gerbang kediaman Arav terkunci rapat, menghalangi si empunya masuk dalam sangkar megah itu. Tak hanya itu, setiap kartu dalam dompetnya tak lagi bisa digesek.

Arav tiba-tiba tak bisa menginjakkan kaki di hotel manapun. Bahkan tidak di hotel bintang satu yang biasanya tak dilirik sulung keluarga Pasya. Dia tak membawa satupun mobil mahal yang terparkir rapi di garasi kediaman laki-laki itu. Arav baru datang dari perjalanan bisnis. Dia dijemput mobil asistennya, Glen pagi tadi. Satu-satunya yang laki-laki itu miliki adalah baju yang melekat dan beberapa lembar dolar yang belum sempat ditukar.

Arav ditampung sementara oleh sahabat dan asistennya, Glen. Laki-laki itu tak mau mengunjungi rumah Ben, Chad, atau Dan, para saudaranya. Mereka hanya akan memperburuk suasana hati Arav.

Dia bertahan selama beberapa hari.

Ultimatum sang otoriter berimbas pada posisi prestige-nya di perusahaan telekomunikasi milik keluarga itu. Dia tidak hanya dilengserkan, tapi dipermalukan oleh sang papa. Ruang direktur itu dirantai dari luar, hanya tersisa satu kursi di samping meja sekretarisnya. Arav Pasya sedang menunggu posisi baru yang akan ditunjuk sang otoriter, posisi rendahan sekelas pemagang bisa jadi. Laki-laki itu mulai goyah menginjak hari keempat perpeloncoan sang papa.

Arav ditempatkan di bagian Keuangan, posisinya tak lebih baik dari pada pegawai kontrak. VP departemen itu sungguh sialnya lagi adalah saudara paling menyebalkan, Chad adik keduanya. Reputasi dan wibawa Arav sebagai putra sulung semakin lama semakin luntur. Tak seorang pun memperlakukan Arav dengan istimewa di sana. Tak ada yang berani kecuali mereka mau dilempar tanpa pesangon oleh sang otoriter atau paling tidak didamprat keras Chad.

Kesabaran Arav mencapai batas kala tak ada kepanjangan tangan dari Glen, asistennya dalam pekerjaan sehari-hari. Mungkin si sulung sudah hilang akal, pemagang macam apa yang memiliki asisten di dunia ini. Tugas mereka paling banter mencopy dokumen dan mengatur ruang rapat. Pekerjaan rendahan, tak butuh apresiasi pula.

House of KamalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang