Chapter|15

4.3K 552 2
                                    

Arav Pasya mau tak mau menyetujui saja undangan makan malam dari istrinya untuk Yarif Ahsan dan Farrah Bachtiar. Sulung keluarga Pasya tak rela jika istrinya dicap sebagai tukang ingkar janji, terlebih karena mereka sekarang bertetangga. Sang gadis mata kelinci tengah sibuk memilih baju untuknya. Entah sudah berapa baju yang dipilih dan dilempar begitu saja oleh sang istri dari walk in closet di kamar mereka.

Waktu makan malam sudah hampir tiba, tapi Arav masih setia memakai handuk kimononya karena sang istri belum memutuskan. Arav sudah mulai didera kekesalan karena gadis mata kelinci itu tak pernah bersikap demikian selama ini.

"Aku bisa pakai apa saja, Humeera" keluhnya karena kesabarannya hampir habis.

Sang gadis melempar baju pilihan terakhirnya, berjinjit dan mencubit kedua pipi suaminya.

"Masalahnya kau mempesona memakai apapun, suamiku. Makanya tak satupun bajumu menonjol" keluh sang gadis balik.

Arav menganga sejenak, entah dia harus senang atau tidak dengan pujian istrinya itu.

"Ck, aku rasa aku memang berlebihan. Kau jelas-jelas tampak lebih baik dari pada Yarif Ahsan dilihat dari manapun" ujar sang gadis menyerah.

Dia memilih baju pertama yang sudah berada paling jauh dari mereka. Baju pertama juga yang dilemparkan sang gadis tadi.

"Ini saja, Arav" ucapnya memutuskan.

Arav Pasya menghela nafas panjang. Entah dia harus senang karena akhirnya acara memilih baju sudah selesai ataukah kesal karena setelah berjam-jam, mereka akhirnya memilih baju pertama itu. Seolah semua usaha tadi sia-sia.

Sang gadis mulai bersiap-siap dengan dirinya sendiri saat ini. Dia keluar dengan slip dress satin berwarna salem dengan renda hitam pada bagian hem-nya. Rambut istrinya tertutup pashmina sederhana saja.

Arav tengah duduk di sofa, menatap lekat pada sang gadis yang sedang mengoles bedak dan lipstik berwarna jingga pucat di bibirnya. Gadis itu tak pernah memakai make up berlebihan.

Bulu mata kecoklatannya lentik dan alisnya melengkung sempurna tanpa memakai apapun. Bibir terbelah indah itu cukup dioles lipstik tipis, yang walau terhapus sekalipun tak jadi masalah.

Sang gadis tak butuh menghias pipi dengan blush on. Saat udara terasa dingin, semburat merah tercipta sendiri di kulit putihnya yang bercahaya.

Arav biasa disuguhi pemandangan indah itu setiap pagi dan malam.

Arav menghela nafas panjang, malam ini dia harus mendengar lagi pujian-pujian memuakkan dari mulut musuh bebuyutan mengenai keindahan sang gadis. Tak berlebihan kalau Arav ingin membungkus perempuan itu dengan cloak yang biasanya dipakai saat sarapan setiap pagi. Dengan begitu, Yarif Ahsan tak akan melihat wajah indah istrinya itu.

"Tak perlu terlalu cantik, makan malam di rumah juga" keluh Arav tak sadar.

Sang gadis menoleh.

"Impossible, kalau kau menyuruhku tak cantik sama saja menyuruh matahari tak terbit besok pagi" sanggahnya cepat.

Arav bersungut kesal. Lebih kesal lagi karena perkataan perempuan itu tak salah sedikitpun. Arav yang paling bisa membuktikan ucapan sang gadis. Dia bahkan menawan saat bangun tidur, saat sakit dan wajahnya memucat sekalipun.

Sang gadis sudah berdiri di samping suaminya saat Arav masih bergerilya dengan pikiran sendiri.

"Berdiri, Arav" perintah sang gadis.

Arav mendongak kaget, dia tak tahu kapan istrinya mendekat. Laki-laki itu terpaksa menurut karena sang gadis menarik lengan, memaksa suaminya berdiri. Dia menyusuri wajah dan tubuh suaminya dari kepala hingga kaki, selayaknya desainer pada model sebelum acara peragaan busana.

House of KamalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang