Chapter|40

5K 561 2
                                    

Arav berdiri di depan pintu kamar hotel, kukuh tak bergerak dan masih tak rela diusir pergi oleh istrinya. Dia menarik tangan sang istri, mendaratkan kecupan bertubi-tubi tak terhitung untuk yang keberapa kali sejak memutuskan untuk menurut dan pulang.

"Jadi kapan sebenarnya kau akan pulang, Arav?" sang istri mulai kesal.

Pertanyaan yang sudah dilontarkan ke empat kalinya pagi itu tak dibalas dengan jawaban tapi kecupan lain. Kali ini laki-laki itu bahkan menarik tubuh sang istri hingga menimpa jatuh pada dirinya yang bersandar di pintu. Tangan kokoh itu meremas pinggang. Bibirnya melumat habis bibir perempuan itu sebelum suara protes sempat keluar. Pasangan itu kembali dibuai ciuman panjang nan intim, dan tangan yang tak tahan untuk saling membelai mesra.

"Arav, Rahel susah tidur kalau tak bersamaku."

Riya menyuara dengan sisa nafas tak beraturan, sedetik setelah pagutan bibir sang suami terlepas. Arav mengerang pelan, meredam gairah yang baru saja naik. Laki-laki itu mengeratkan pelukan, tak rela melepaskan tapi terpaksa saat kelibat wajah Rahel melintas di pikiran. Kecupan panjang di kening istrinya mengakhiri cumbuan mereka.

Laki-laki itu keluar lebih dulu dari kamar hotel, langsung menuju kantor.

Sepanjang perjalanan, sulung keluarga Pasya memikirkan cerita singkat istrinya. Agar tak dekat dengan calon kuat menteri pertahanan yang baru. Agar tak bercerita pada siapapun mengenai keberadaan istri dan Rahel, putra mereka.

Mereka mencapai kesepakatan hari itu.

Sang istri berjanji mengirimkan Rahel sesekali untuk makan malam, dengan Mahiya Shadiq dan Emran Malik. Namun mereka tak bisa terlalu sering bertemu sebelum keselamatan setiap orang terjamin. Artinya tidak sebelum musuh keluarga mereka terkurung dalam jeruji penjara.

Arav Pasya disambut sang otoriter, papanya setiba di kantor.

"Arav, bagaimana pesta kemarin?" tanya sang papa begitu putra sulungnya membuka pintu ruangan.

"Lebih baik kita tak pernah datang ke acara pesta serupa, papa. Semalam terjadi keributan" balas sang sulung.

Saif Pasya tak menjawab. Dia hanya mengetuk cangkir kopi yang dipegangnya. Laki-laki itu menghela nafas panjang.

"Lalu bagaimana dengan pesta pertunanganmu, Arav? Kapan baiknya digelar?" tanya Saif lagi.

Kali ini sang sulung yang menghela nafas panjang. Dia bangkit dari kursi, berdiri, dan menopang tubuh dengan dua tangan di meja.
"Aku tak akan pernah menikah dengan perempuan lain. Aku tidak bisa melupakan istriku, papa" timpal sang sulung.

"Arav, pertunanganmu dan Keysha telah lama dibicarakan. Keluarganya tak akan menerima begitu saja pembatalan pertunangan kalian" balas Saif cepat.

"Maafkan aku, papa" Arav tak kalah cepat.
"Aku akan meminta maaf pada Keysha dan keluarganya sendiri, setiap orang tua tak akan rela anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang tidak pernah bisa menerimanya" lanjutnya.

Pada saat seperti ini, seharusnya sudah terlontar deretan kata perintah, paksaan, perdebatan, dan berakhir pada ancaman khas sang otoriter. Namun, Saif Pasya tak lagi memperpanjang dan mempermasalahkan keputusan sang putra sulung kali ini.

Laki-laki itu keluar dari ruangan direktur itu setelah kata-kata terakhir sang putra sulung hanya dibalas diam. Arav sempat bingung dengan sikap papanya, tetapi diam-diam mensyukuri dalam hati.

Selama ini Arav Pasya menerima rencana pertunangan dengan Keysha Mahardika karena lelah dengan bujukan. Dia pun sudah lama menunda-nunda pesta pertunangan mereka karena berapa kali pun bertemu dengan perempuan itu, tak sedikitpun hatinya terketuk. Hati sulung keluarga Pasya telah dimiliki sepenuhnya oleh perempuan bermata kelinci. Tak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosok istri tercintanya itu bagi Arav. Tidak Keysha atau perempuan mana pun. Berkali-kali pula selama ini Arav mencoba bicara baik-baik dengan Keysha untuk membatalkan rencana pertunangan mereka, tetapi perempuan itu bersikukuh akan menikahinya.

House of KamalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang