"Tapi sakit."
***
Nala memarkir motornya di pelatara rumahnya, disamping mobil mewahnya Papa. Mendesah pelan seraya turun dari motornya dan melepas helm bogonya, pemuda itu menatap sendu pintu rumah yang tertutup, dengan lampu taman yang terlihat redup.
Waktu di jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul sembilan lewat empat puluh menit. Sudah sangat larut untuk ukuran anak seusianya jika dikatakan baru pulang.
Nala berdecih pelan, tersenyum masam meratapi nasibnya sendiri. Harusnya Mama menelepon atau setidaknya mengiriminya pesan, menanyakan keberadaannya dan kenapa belum pulang. Tapi ini?
Lagi-lagi Nala meremat dadanya. Sakit memang, tapi sudah biasa. Pikir pemuda itu.
Kakinya melangkah pelan, masuk lewat pintu belakang sepertinya memang pilihan yang paling tepat. Tidak menimbulkan kegaduhan, atau mungkin menimbulkan luka baru dihatinya dengan menyaksikan pemandangan indah dari keluwrga kecilnya Mama.
Jika saja ia tidak berjanji pada Langit untuk pulang, Nala pasti takkan pernah menginjakan kakinya lagi di rumah Mama.
"Nana?" Suara lembutnya khas, panggilannya juga khas. Hanya orang-orang terdekatnya yang memanggil Nala dengan panggilan manis itu.
Nala menipiskan bibirnya, menyalimi tangan basah wanita paruh baya di depannya dan menatapnya hangat kemudian. "Bibi belum tidur?"
"Kemana aja kamu?" Bukannya menjawab, Bi Asih justru malah mengintrogasinya. Lagi-lagi Nala tersenyum kecil. "Nala ada kok."
"Kamu tidur dimana selama ini?!"
Hati Nala menghangat. Setidaknya, ada satu orang lagi yang peduli padanya. Yang mungkin mengkhawatirkannya dan-
Tapi, harusnya Mama yang menanyainya demikian, bukan justru Bi Asih, asisten rumah tangganya Mama. Nala lagi-lagi membatin.
"Hey!" Bibi menegurnya pelan, membuat anak itu sedikit terperanjat dengan lamunnya yang membuyar.
"Malah ngelamun." Bibi menepuk lengan anak itu pelan. Nala tertawa pelan. "Ya maaf."
"Kamu mandi, bibi siapin air angetnya."
Nala menggeleng. "Gak usah, bi. Mending bibi tidur aja, udah malem."
"Nggak, Bibi mau siapin air angetnya dulu sama sekalian siapin makan kamu. Belum makan pasti."
Nala berdecak. "Nggak, Nala udah makan kok. Nala-"
"Bibi gak bisa kamu bohongin!" Bi Asih memotong cepat. "Mamang cerita ke Bibi." ucapnya kemudian, tubuhnya di giring Bi Asih lebih masuk, mendudukannya dikursi yang ada disana, lantas ia juga ikut duduk di sebelah anak itu. Tatapnya hangat, menyiratkan khawatir yang tulus.
"Nala oke, Nala baik-baik aja." surainya di usap Bi Asih lembut, lantas wanita paruh baya itu mengangguk pelan.
"Tau, bibi tau. Nana-nya bibi kan emang sekuat itu."
Tanpa di perintah, air mata Nala meluncur begitu saja. Rasanya ia tak sanggup lagi membendung luka dalam hatinya. Mendengar Bi Asih berucap seperti itu benar-benar meruntuhkan benteng pertahanannya.
"Tapi sakit." lirihnya, tubuhnya di rengkuh, punggungnya di usap lembut, dan kepalanya di ciumi hangat.
"Badai pasti berlalu. Dan Yumna—"
"Mama gak akan pernah bisa Nala luluhin." potongnya pelan.
***
Nala merebahkan tubuhnya diatas ranjang miliknya, setelah sebelumnya mandi dengan air hangat yang di siapkan Bi Asih lengkap dengan nasi goreng paling enak buatan Bi Asih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]NAYAKA [Jaemin.ver]
Teen FictionHanya sedikit kisah dari bukan si tokoh utama yang mungkin akan berakhir bahagia pada kebanyakan cerita Novel. Ini hanya kisah dari seorang Nayaka Nala Danantya. Si remaja tanggung dengan sejuta harap yang hanya akan mengudara di tiap Sholat malamny...