34. SAMPUL SAHABAT KECIL

2.9K 252 9
                                    

SELAMAT MEMBACA!

******

Ditegaskan lagi. Diam hanyalah sebuah sampul!

-LEO DIRGAN FALANIO

***

Perempuan itu masih saja setia mengusap rambut hitam milik anak laki-lakinya dengan pelan. Sesekali mengecup pipi sang putra yang masih tercetak jelas dengan bekas luka yang membiru dengan lembut. "Sayang, ayo bangun..."

Tidak henti-hentinya Genisa merapalkan doa agar anaknya diberikan kesadaran. Dirinya begitu tersiksa melihat Arka yang semakin hari jantungnya semakin lemah berdetak. Kondisinya semakin menurun layaknya ingin menyerah.

"Kamu bilang, kamu nggak mau lihat mama nangis? Kalo gitu bangun sekarang, mama kangen sama kamu, Ka!" Genisa mengusap air matanya pelan dengan tersenyum tipis. "Hapus air mata mama sayang, kamu nggak kasihan sama mama?"

Dari pintu masuk, Yasta menatap mamanya dengan sorot mata terluka. Hari ini Yasta memutuskan tidak berangkat sekolah untuk menemani mamanya dan juga adiknya. "Bangun Ka, kasih kesempatan buat gue minta maaf. Lo yakin nggak kasihan sama mama yang setiap hari nangis? Bangun, lo nggak lemah!" ucapnya teramat pelan.

"Kenapa nggak masuk?" Tanya Bara yang baru saja datang dari kantor. Yasta yang merasa pundaknya ditepuk pun menoleh ke arah papanya. Kemudian, Bara merangkul bahu Yasta untuk mendekat ke sisi tempat tidur Arka. Mengajak putra pertamanya untuk sama-sama kuat seperti putra keduanya.

Bara beralih mengusap rambut istrinya yang masih terisak pelan. "Gimana keadaan Arka, Ma?"

Genisa menghela napas berat. "Jantung Arka makin hari semakin lemah, Pa. Mama nggak tahu harus gimana lagi."

Tidak semua orang kuat, tidak semua orang juga kuat untuk bertahan. Semua perjuangan memilki proses dan waktu istirahatnya masing-masing. Saat ini, yang diharapkan dari keluarga itu, dari perkumpulan besar itu, dan dari persahabatan itu, hanya sebuah keajaiban untuk kembalinya sosok yang ditunggu-tunggu.

Jemari Arka yang ada digenggaman Genisa sempat bergerak, membuat atensi mereka semua baralih pada Arka yang masih terpejam. Seolah memberi tahu bahwa masih ada yang dapat diharapkan dari kesadarannya.

"Buka mata kamu, Ka. Papa mohon," ucap Bara begitu berharap.

Selang beberapa detik, jemari itu berhenti. Membuat ketiganya menghela napas berat. Ternyata berharap untuk kesadaran Arka begitu sangat sulit. "Kamu belum kuat? Gapapa, mama tunggu sampai kamu bisa meluk mama lagi. Ya?"

"Bodoh! Gue emang manusia paling bodoh! Seharusnya gue nggak ngomong semuanya ke lo! Sekarang bangun, Ka! Gue tarik kata-kata gue yang nggak mau meluk lo di kondisi kayak gini!" Batin Yasta yang penuh dengan penyesalan yang bersarang di dalam pikirannya.

"Bangun! Gue mau peluk lo dalam keadaan sehat! Gue mau minta maaf dan berlutut di hadapan lo sekarang juga!"

*****

Lima hari telah berlalu. Itu tandanya, Ujian sekolah telah usai. Saatnya melepas penat dari deretan huruf yang membuat kepala berpikir keras hingga terasa pusing.

ALGARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang