7

260 10 0
                                    

Perempuan itu sama seperti bunga,
mereka harus di perlakukan dengan lembut, baik dan penuh kasih sayang
Ali bin Abi Thalib

__________________________________________________
Tandai typo

Motor yang di kendarai Adam mulai memasuki kawasan pesantren Al-Karim. Sepanjang jalan Adam mengendarai motornya menuju kediaman Abi Daud ia menyapa beberapa santri yang melintas.

Adam meringis kala mendengar beberapa santri putra mengucapkan Masya Allah yang tertuju pada Adiknya.

"Bang! Bang! Ada kebun jeruk Abi Daud buahnya banyak!" heboh Asa seraya memukul pelan Adam.

"Iya," jawab Adam seadanya lalu memarkirkan motornya di depan ndalem.

"Ibad!" seru Asa seraya menenteng enam bungkus martabak yang ia beli tadi di perjalanan menuju pesantren Al-Karim.

Kemudian ia turun lalu berjalan cepat menghampiri Istri Gus Hanif yang bernama Sifa yang sedang menggendong Ibad yang berumur satu tahun.

Ning Sifa dan balita itu spontan menoleh ke arah Asa. Bahkan para santri Putra dan Santri Putri yang sedang melintas disana pun menatap Asa bingung dan heran.

Adam meringis melihat tingkah Adiknya itu, bahkan helm yang berada di atas kepala gadis itu belum terlepas.

"Assalamualaikum, Ning." salam Adam menghampiri Asa, Sifa dan Ibad.

"Waalaikumsalam warrohmatullah hiwabarokatuh." jawab wanita berkhimar itu yang tak lain adalah Ning Sifa.

Adam melirik Asa yang sedang memainkan tangan mungil Ibad. "Dek? Buka dulu itu helmnya ... " tegur Adam.

Asa membulatkan matanya lebar lantas ia meraba kepalanya yang terbungkus helm. Asa menyengir lebar menatap sang Abang,"Lupa Bang." dengan segera ia melepas helmnya dan menaruhnya di moge Adam.

Sontak hal itu mengundang tawa dari para santri disana yang melihatnya. Sebagain dari mereka yang sudah menjadi abdi ndalam sudah mengenal Asa karena gadis itu sering sekali berkunjung ke ndalem. Hanya selama satu bulan ini saja Asa tidak berkunjung ke pesantren karena banyaknya tugas sekolah.

"Silahkan masuk Adam, Asa." ucap Ning Sifa mempersilakan keduanya masuk.

Sebenarnya kejadian tadi tak luput dari pandangan Gus Alzam yang berdiri tak jauh dari mereka. Gus Alzam tersenyum tipis melihat tingkah Asa yang menggemaskan itu.

"Astaghfirullah ... Saya tidak ingin dosa ini terus berlanjut." gunam Gus Alzam meraup wajahnya gusar kala sadar memandang Asa yang sudah jelas bukan mahromnya dengan tatapan memuja.

Di sisi lain tempat Asa berada.

"Assalamualaikum warrohmatullah hiwabarokatuh." salam Asa dan Adam memasuki kamar Umi Sanum.

"Waalaikumsalam warrohmatullah hiwabarokatuh!" jawab Umi Sanum, Abi Daud, Gus Hanif dan tiga santri Putri yang berada disana. Asa tersenyum semringah ke arah Umi Sanum yang tersenyum lembut kearahnya.

Asa berjalan kearah Abi Daud dan Gus Hanif, "Abi gimana kabarnya?" tanya Asa.

"Alhamdulillah, Abi sehat, Nduk. Kalo kamu sendiri sehat kan?" tanya Abi Daud.

"Alhamdulillah sehat, Bi. Cuma Kantongnya aja yang kurang sehat hehehe!" canda Asa mengundang gelak tawa mereka yang berada di di kamar itu.

"Adek kamu, Dam. Hobinya ngelawak terus." kekeh Gus Hanif.

Adam hanya tersenyum sebagai jawaban. Asa menyengir lebar mendengar penuturan Gus Hanif, kemudian ia berjalan menghampiri Umi Sanum.

Asa menaikkan dua kantung plastik besar ke arah Umi Sanum. "Umi? Asa bawakin martabak kelor spesial. Untuk orang ndalem," seraya mengedipkan sebelah matanya.

Lagi-lagi mereka yang berada disana terkekeh. Asa melirik Mbak-Mbak Santri yang berada di sebelahnya. Asa menyodorkan sekantung plastik yang berisi tiga kotak martabak, "Ini untuk Mbak Santri. Ntar bagi-bagi ya Mbak, sama Mbak santri yang lain. Kalo nggak cukup, ntar minta aja ke Bang Adam aja."

Spontan Adam membulatkan mata terkejut kala mendengar penuturan sang Adik tersayangnya itu.

Salah satu Santri Putri memasuki kamar Umi Sanum seraya membawa minuman untuk Adam dan Asa. Kemudian Santri putri itu pamit undur diri untuk melanjutkan kegiatannya.

Ketiga Santri Putri itu tersenyum kaku. Salah satu dari mereka lalu menerima kantung plastik berisi martabak itu, "Shukran lakum, Ukhty." ucap Mbak Santri itu bernama Pipit.

"Masama!" jawab Asa lalu menaruh kantung plastik satunya di atas nakas samping kasur Umi Sanum.

Asa duduk di karpet samping Kasur, "Apakah Umi merasa ada yang sakit?" tanya Asa menatap serius wajah Umi Sanum.

Umi Sanum tersenyum lembut, "Alhamdulillah, Umi tidak merasakan sakit."

"Syukurlah ... " gumam Asa. Kemudian mereka semua berbincang sedangkan tiga Mbak santri tadi sudah kembali ke asrama.

Sesekali perbincangan mereka terselip canda dan tawa. Hingga ucapan salam mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu, yang ternyata adalah Gus Alzam dengan Ibad berada di gendongannya.

"Waalaikumsalam warrohmatuklah hiwabarokatuh!" jawab mereka semua.

"Sudah lama, Dam?" tanya Gus Alzam menghampiri Adam.

"Hem ... lumayan lah." jawab Adam.

Gus Alzam tersenyum, "Maap, tadi ana ada urusan jadi tidak bisa menemuimu langsung." ucap Gus Alzam merasa tak enak.

Adam menepuk bahu Gus Alzam, "Sans, Bro! Kaya sama siapa aja." kekeh Adam merangkul sahabatnya itu.

Gus Alzam terkekeh lalu mengangguk, ia melirik Asa yang sedang asik berbincang dengan Uminya. Tanpa sadar, ia tersenyum tipis melihat itu.

Adam tersenyum misterius kala melihat Gus Alzam yang tersenyum tipis melirik Adiknya.

~••~

ASA (Lengkap/TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang