1

780 25 2
                                    

Tandai typo:)


Terlihat seorang gadis duduk termenung di bangku balkon kamarnya, seraya memandang bingkai poto di tangannya.

Gadis itu tersenyum miris kala sekelebat kenangannya dengan seseorang di dalam poto itu terlintas di ingatannya.

Gadis lemah lembut itu bernama Asa Shakella Albiru, yang biasa di panggil Asa. Gadis berumur 18 tahun itu sedang menempuh pendidikannya di suatu SMK Negeri dengan jurusan Akuntansi, dan beberapa bulan lagi ia akan lulus.

Asa adalah anak bungsu dari pasang suami istri bernama Galang Albiru dan Litania. asa memiliki Kakak laki-laki yang bernama Adam Shakala Albiru, akrab di sapa Adam.

Adam berumur 23 tahun dan baru saja lulus S1-nya di salah satu universitas Mesir. Mungkin minggu depan ia sudah berada di Indonesia.

Galang adalah seorang CEO terkenal di sebuah perusahaan besar di negeri ini. Namanya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Sedangkan Lita, Mama Asa? Seorang desainer terkenal, tidak hanya di dalam negeri, namun karyanya juga sudah sangat terkenal di luar negeri.

Namun ... Sebuah insiden empat tahun lalu membuat Lita mengalami koma akibat kecelakaan.

Asa memandang poto itu, "Aku udah pergi loh ... Awas aja kalo kamu enggak bahagia? Tapi, persaan ku mulau memudar mungkin tak lama lagi perasaan ini akan hilang sepenuhnya. Aku tidak menyalahkan mu atas perpisahan kta. Justru aku bersyukur atas kepergianmu. Kepergianmu membuatku menjadi pribadi yang seeprti sekarang ini. Mungkin aku akan menghapus semua jejakmu di ingatan ku, tapi nanti. Sekarang aku belum sempet hehehe." ucapnya menatap figura itu.

Poto tersebut adalah potonya bersama sang mantan kekasih, yang bernama Kafiandrea Biantara Gema, sosok lelaki tampan, baik, dingin dan yang pasti begitu sempurna di mata Asa.

Bagaimana Asa bisa dengan mudahnya melupakan lelaki yang biasa di panggil Kafi itu? Sedangkan mereka, menempuh pendidikan di tempat yang sama, walau berbeda jurusan. Asa yang jurusan Akuntansi, sedangkan Kafi Tekhnik Komputer Jaringan, tetap saja mereka pasti akan bertemu.

Tiada hari tanpa Asa mengingat sosok itu. Entah mengapa, baginya melupakan Kafi adalah suatu hal yang sangat sulit di lakukannya, semakin ia mencoba melupakannya, semakin ia mengingatnya.

Lamunan Asa buyar, kala Bik Tira selaku pembantu di rumahnya mengetuk pintu kamarnya.

Bik Tira adalah pembantu di rumahnya sejak ia berumur Delapan tahun. Perempuan berumur 40 tahun itu adalah saksi kehidupannya selama ini.

"Non! Sudah waktunya makan malam!" pekik Bik Tira dari balik pintu.

Dengan secepat kilat, Asa menaruh figura itu di laci lalu membuka pintu.

Bik Tira tersenyum kala Asa membuka pintu, "Sudah waktunya makan malam, Non."

Asa tersenyum seraya mengangguk, "Papa udah pulang, Bik?" tanyanya.

Bik Tira menatap Asa sendu seraya menggeleng pelan, "Sebaiknya, Non Asa makan yuk?"

Asa menghela napas lelah lalu mengangguk. Ia berjalan ke arah ruang makan yang sunyi. Biasanya, ia akan makan bersama dengan Bik Tira, Mbak Olis yang juga pembantu di rumahnya, Mang Aden selaku satpam rumahnya, dan Mang Cecep selaku pembersih sekaligus penjaga taman di rumahnya.

"Assalamualaikum, Non Asa!" salam Mang Aden dan Mang Cecep.

Asa menoleh kearah dua pria paruh baya itu lalu tersenyum, "Waalaikumsalam warrohmatullah hiwabarokatuh. Mari duduk, Mang." ucap Asa mempersilakan.

"Wah ... Kayanya enak nih!" semangat Mang Aden menatap masakan di atas meja.

"Bener itu!" timpal Mang Cecep.

"Siapa dulu dong ... Yang masak! Olis gitu loh!" celetuk Mbak Olis yang datang dari arah dapur bersama Bik Tira.

"Ayo Mang Cecep aja yang pimpin doa?" ucap Mang Aden. Mang Aden memang memanggil Mang Cecep dengan sebutan 'Mang' karena usia Mang Cecep yang lebih tua darinya.

Mang Cecep mengangguk lalu memulai memimpin doa hingga selesai.

"Selamat makan ... " ucap Asa.

"Selamat makan juga, Non Asa!" semangat keempatnya.

Hening. Begitulah situasi saat ini. Mereka semua menyantap makanan dengan nikmatnya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu utama.

Senyum Asa merekah kala mendengar ketukan pintu itu, "Itu pasti Papa!" tebak Asa tersenyum lebar.

"Biar Bibik aja yang buka, Non." ucap Bik Tira.

"Biar Asa aja, Bik!" antusias Asa berlari ke arah pintu utama.

Di meja makan, para pekerja rumah Asa sedang gelisah memikirkan Asa.

"Saya kasian dengan Non Asa," sedih Mbak Olis menatap sendu makanannya.

"Saya juga, Lis. Gak tega dengan, Non Asa." timpal Mang Aden di angguki mereka semua.

***

"Assalamualaikum," salam Galang setelah Asa membuka pintu.

"Waalaikumsalam Warrohmatullah hiwabarokatuh. Papa udah makan? Mau Asa ambilin makanan? Atau mau Asa pijitin? Pasti Papa pegel banget seharian kerja." cerocos Asa tersenyum lebar.

Galang menatap datar sang putri, dan melengos begitu saja menuju kamar, tanpa berniat membalas ucapan sang putri.

Asa menghela napas lelah menatap sendu kepergian Sang Papa. "Asa pengen sekali ... aja. Papa iyain ucapan Asa ... " lirihnya.

Dengan langkah berat, Asa berjalan ke ruang makan.

"Non Asa?" panggil Mang Cecep pelan.

Asa mendongak menatap Mang Cecep seraya tersenyum, "Iya, Mang?"

Mang Cecep tersenyum tipis, 'Non Asa anak baik. Selalu saja tersenyum saat sedang terluka. Mamang bangga sama Non Asa' batin Mang Cecep menatap sedih Asa.

Asa mengerti dengan raut wajah Mang Cecep lalu berdehem, "Asa gak papa kok, Mang. Asa pamit dulu ya ke kamar. Malam Mang Cecep, Mang Aden, Bik Tira dan Mbak Olis!"

"Malam, Non ... " ucap mereka semua sebelum Asa berlalu menuju kamar.

Mbak Olis memandang piring Asa yang masih terisi banyak, "Padahal ... Makanan Non Asa belum habis, tapi ia sudah meninggalkannya."

Ketiganya memandang piring Asa, yang ternyata memang masih terisi banyak.

"Non Asa pasti lagi sedih banget. Karena seperti biasa, Tuan akan mengabaikannya lagi." celetuk Mang Aden.

"Saya jadi gak tega melihat Non Asa. Ia selalu berusaha tegar di depan kita," timpal Bik Tira di angguki yang lain.

~••~

ASA (Lengkap/TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang