14

195 9 0
                                    

____________________________________________
Tandai typo

"RIZA ...! SINI LO DEMIT!" pekik Asa seraya berlari mengejar Riza yang sedang tertawa puas.

Terlihat Asa benar-benar murka dengan Riza yang diam-diam menyembunyikan tasnya di belakang pintu. Tidak itu saja, Riza juga diam-diam memakan bekalnya yang berisi roti selai strawberry.

"Wah ngajak war lo, Za!" emosi Asa seraya mengejar Riza yang tengah berlari ke arah lapangan.

Terlihat banyak para siswa dan siswi yang menatap keduanya heran, ada juga yang tertawa bahkan iri. Karena, Riza merupakan siswa yang membuat para siswi tertarik padanya karena prestasinya di bidang olahraga.

Dari lantai dua, terlihat pasang mata Kafi tak lepas dari interaksi keduanya. Bahkan Hikam yang sedang melewati koridor lab Adm berhenti menyaksikan keduanya. Jelas ia cemburu, karena ia sangat menyukai Asa, mungkin itu hanya sekedar obsesi, bukan cinta sungguhan.

Para sahabat Asa menghembuskan napas kasar. Jika gadis itu benar-benar murka, ia tidak akan bisa melepaskan targetnya.

Asa tersenyum smirk kala langkahnya mulai mendekati Riza, dengan tenaga penuh ia berlari sekencang mungkin dan ...

"ADUH!" ringis Riza kala Asa menjambak rambutnya secara brutal.

Sontan saja peristiwa itu mengundang gelak tawa dari para siswa dan siswi yang melihat keduanya.

Asa menarik Riza menuju kelas dengan tangan yang masih memegang erat rambut hitam legam milik Riza. Entah mengapa, Riza ini sangat hobi sekali mengacaukan hari-harinya.

Asa mendorong Riza ke bangku. Sontak, Riza meringis karena bokongnya yang terbentur bangku dengan kerasnya akibat dorongan Asa.

Riza sedikit mendongak menatap Asa yang sedang menatapnya marah, dengan cepat ia menundukkan kepalanya dan sedikit merosotkan tubuhnya.

Seisi kelas diam. Menunggu apa yang akan di lakukan Asa pada si perusuh kelas ini. Hanya Asa yang berani memperlakukan Riza seperti ini. Karena Riza pernah sangat marah karena suatu hal yang terjadi satu tahun yang lalu. Saat itu ia mengamuk di dalam kelas, dan membanting apa yang di hadapannya, jelas saja sejak saat itu tidak ada yang berani mengganggu Riza, bahkan para sahabatnya. Dan tibalah Asa menghentikan aksi mengamuk remaja itu.

"Za? Lo seneng banget sih gangguin gue? Gue capek, Za. Setiap hari marahin lo mulu gua udah bosan, gue pengen sehari ... aja lo nggak ganggu hidup gue. Cuma sehari, Za." gusar Asa meraup wajahnya.

Keadaan semakin hening. Bahkan seisi kelas merasa iba dengan Asa. Para sahabat Asa bungkam, kalaupun mereka menengahi, Asa pasti akan menyuruh mereka diam dan tidak ikut campur.

"Lo denger gue, Za?"

Riza semakin beringsut, ia jadi takut sekarang dengan situasi saat ini. Ia merasa bersalah, ia sadar atas tindakannya membuat Asa malah ingin membuangnya ke kali ciliwung.

"Huuft, karepmu lah, Za. Di tanya malah diem," ucap Asa lalu mendudukkan bokongnya di bangkunya.

Keadaan masi sama. Hening. Tak ada yang memulai percakapan. Biasanya jam istirahat seperti ini kelas Asa sangat ramai, tapi kini kelasnya membisu.

"Gue lakuin ini karena ini cara gue biar bisa deket sama lo, Sa. Gue ... suka sama lo, Sa." celetuk Riza membuat seisi kelas spontan menatap Riza kaget.

Mereka pikir Riza sudah melupakan Asa karena beberapa kali sudah Riza berpacaran dengan Adik tingkat mereka, walau sudah putus dari dua bulan yang lalu.

Asa diam, ia tahu Riza melakukan ini agar bisa di dekatnya. Tapi, yang di lakukan Riza membuatnya risih merasa tak nyaman.

"Cara lo salah. Buang perasaan lo ke gue," ucap Asa seraya memainkan ponselnya.

Riza bangkit dan menarik bangku lalu duduk di  samping Asa seraya menatap gadis itu, "Pernah coba, tapi selalu gagal."

"Lo bukan bener-bener suka gue, Za." entengnya menoleh kearah Riza sekilas.

"Orang yang suka sama gue itu beban, Za. Buang perasaan lo, dan kita berteman. Jangan pernah berusaha buat gue suka sama lo, dan nggak perlu tau alasannya apa. Intinya, sekiranya nanti aku pergi, kecewa mu nggak terlalu dalam." ucap Asa lalu menyimpan ponselnya kala bel pertanda masuk berdentang.

Riza merasa tertohok, ia benar-benar tidak mengerti maksud yang di katakan Asa. Dengan berat hati, ia kembali ke bangkunya.

***

Kafi menatap kosong lurus ke depan, lebih tepatnya ke arah Buk Teni yang sedang menulis materi di papan tulis.

Tiba-tiba saja, ia teringat dengan Asa.

Flashback on

Kafi dan Asa sedang berjalan-jalan mengelilingi kota dengan motor KLX kebanggaannya.

"Aku takut," ucap Asa yang mampu di dengar Kafi, karena ia menjalankan motornya dengan sangat pelan, sehingga ia dapat mendengar ucapan Asa.

"Takut kenapa ... Jendral ada disini." lembut Kafi.

Ya. 'Jendral' adalah panggilan khusus Asa untuk Kafi, dan 'Ndok' adalah panggilan khusus Kafi untuk Asa.

"Takut ... Jendral pergi. Aku nggak bisa bayangin betapa hancurnya aku kalo nggak ada kamu nanti."

Jantung Kafi serasa berdenyut perih, sebegitu takut kah Asa kehilangan dirinya? Sepertinya iya.

"Jendrak janji, nggak bakalin ninggalin, Ndok."

Tatapan Asa menjadi sayu, "Jangan berjanji, kita nggak akan tahu apa yang terjadi kedepannya. Kamu bisa aja bilang gini, tapi bisa jadi besok kamu bilang yang bertolak belakang dengan ucapan yang barusan." ucap Asa.

"Jendral janji! Nggak akan ninggalin." pungkas Kafi."

Flashback off

Kafi mengingat kejadian itu. Tepat beberapa hari dari situ ia merasa nyaman dengan perempuan lain.

Saat ia sedang bertemu dengan Asa, ia pasti menyembunyikan ponselnya dan saat Asa ingin meminjam ponselnya pasti ia akan memberi alasan.

Asa jelas curiga dan merasa yakin ada hal yang di tutupi Kafi, tetapi ia memilih diam dan memaklumi itu. Ia tidak ingin membuat Kafi tidak nyaman dengan sikapnya.

Dalam diam Asa sering menangis karena Kafi yang tidak pernah ada waktu dengannya dan selalu mengurusi game onlinenya bernama Mobile Legend itu. Mereka hanya bertemu di sekolah saja dan jika ada janji ingin berjalan-jalan, jika tidak? Mereka tidak akan bertemu dan bahkan chatan saja tidak.

"Kafi?"

"Kafi!?"

Panggil Buk Teni kala melihat Kafi yang hanya melamun saja.

Buk Teni menggelengkan kepalanya lalu berjalan kearah Kafi, "Kafi?" seraya memegang bahu Kafi. Hal itu membuat atensi para seisi kelas mengarah pada Kafi.

Kafi tersentak kaget lalu menoleh kearah Buk Teni yang menatapnya penuh tanda tanya. "Maap, Buk."

Buk Teni tersenyum, "Kau sedang memikirkan apa, Kafi? Sampai-sampai kau tidak mendengar panggilan, Ibuk."

"Tidak ada, Buk." sopan Kafi menundukkan kepalanya.

Buk Teni hanya menghela napasnya perlahan lalu melanjutkan aktivitasnya menjelaskan materi.

~••~

ASA (Lengkap/TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang