9. Maut Hampir Tiba

163 9 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 10 siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jam menunjukkan pukul 10 siang.

Matanya mulai terbuka, dia dalam keadaan terbaring lemas diatas ranjang empuk kamarnya.

Melihat disampingnya terdapat bi Rani yang setia menunggu gadis cantik itu bangun, sebelum itu bi Rani memanggil pak satpam untuk minta bantuan membantu dia memindahkan Zila ke kamarnya.

"Non..."
"Non udah bangun?", bi Rani dengan wajah lega dan bahagia menatap Zila yang sudah tersadar.

"Bi...", ia menoleh kearah bi rani mengeluarkan suara dengan nada yang merintih menahan sakit disekujur tubuhnya.

"Badan Zila sakit semua", ucapnya terpatah patah.

Masih bisa dilihat memar diujung bibirnya yang makin membengkak walau sudah di kompres, bagian tangan, mata kaki, dan samping lehernya yang membiru akibat sabetan sabuk yang sangat keras itu.

Bi Rani memegang kedua tangan Zila dan menundukan kepalanya seketika.

Setetes air mulai lolos dari matanya.

ia menatap Zila dengan mata yang berbinar dan berucap , "maafin bibi non".

"Bibi gagal jagain non..."

Zila mencoba untuk duduk dan mengatakan.

"bibi ga gagal ko, ini udah takdir Zila aja..", dengan menunjukan senyum palsunya.

Tangan kanannya meraih pipi bi Rani dan mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti.

"Bibi jangan nangis kalo bibi nangis yang nguatin Zila nanti siapa?", ucapnya dengan tatapan sendu.

Bi Rani menghembuskan nafas dan langsung mengusap pipi yang masih terlihat basah karna air mata.

"Engga ni bibi ga nangis ko, bibi kan ngga cengeng,", ucapnya sembari berusaha tersenyum.

Dia harus lebih kuat dari Zila, siapa lagi orang yang akan menguatkan Zila kecuali bi Rani.

"Sini peluk bibi.." pintanya dengan kedua tangan yang dibuka untuk memeluk badan Zila.

Zila tanpa basa basi langsung memeluk erat bibinya itu, sekarang ia sudah tidak menangis, di dalam hatinya hanya ada rasa kecewa dan kesedihan yang amat mendalam sampai air matanya pun tidak dapat keluar lagi.

Kecewa dengan perlakuan papa dan mamanya yang sangat tidak manusiawi menyiksa anaknya sendiri secara habis habisan.

"Bi..." ucapnya masih dalam pelukan bi rani.

"Andai aja sebelum Zila lahir,
Zila bisa minta sesuatu keTuhan..." ia terlihat diam sejenak tidak melanjutkan omongannya.

"Zila mau minta terlahir jadi anak bi Rani aja," ujarnya dengan bibir yg tersenyum tipis dan satu tetes air mata.

Bi Rani melepas pelukannya ke Zila, ia pun tersenyum sambil berucap.
"Mau bagaimanapun itu ibu non,mau sejahat apapun, setega apapun orang tua terhadap anaknya pasti dilubuk hatinya masih tersimpan rasa sayang."

"Setiap orang tua itu memiliki alasan atas perbuatan yang dia lakukan untuk anaknya, mungkin sekarang papa Angga dan mama Mira bertindak seperti itu karna ada alasan tertentu, tugas kita sebagai anak hanya mendoakan yg terbaik untuk mereka."

"Bibi yakin suatu saat mama papa non Zila akan berubah seiring berjalannya waktu, semua ini hanya butuh waktu non, kuncinya cuma satu,"

"Non zila harus buktiin ke mereka bahwa non Zila bisa, non Zila kan anak satu satunya, anak pertama yang mentalnya harus sekuat baja, bibi di sini hanya perantara dari Tuhan untuk menjaga non Zila sebisa bibi aja ga lebih dari itu..."

ia terpaksa harus berucap seperti itu, entah mengapa seperti ada sesuatu yang disembunyikan bi Rani terhadap Zila melalui nada omongannya, ia terkesan seperti membela Angga dan Mira.

Zila hanya menatap bi Rani dia tak berucap sepatah kata pun.

"Yaudah non Zila sekarang istirahat, tunggu disini ya bibi mau kedapur dulu mau buatin makanan buat gadis cantiknya bibi ini" ucapnya sambil mengelus rambut kepala Zila.

Zila hanya terduduk mengangguk tak bersuara.

"Jujur Zila capek Tuhan selalu dalam posisi seperti ini.." dia berbicara didalam hati sambil memejamkan kedua matanya terduduk dan menyenderkan tubuhnya dibantal yg disenderkanya di tembok.

ia menjadi ketiduran... sementara itu, bi Rani masuk kedalam kamarnya secara perlahan.

"Nak bangun yuk," entah kata apa yang terlontar dari mulut bi Rani itu, dia benar benar mengatakan itu seperti nada seorang ibu yg tengah memanggil lembut putrinya.

Setelah itu bi Rani tersadar dengan apa yang diucapkannya barusan, diapun menggeleng gelengkan kepalanya, ia tidak jadi membangunkan Zila ia memilih untuk meninggalkannya dan menaruh semangkok bubur dan segelas susu di meja kecil dekat ranjang Zila.

Dan bergegas pergi,sebelum itu tak lupa ia mengecup lembut dahi gadis yang tengah berbaring pulas itu.

°°°°°°

Jam kelas mereka telah usai.

"Nath gue duluan ya,biasa orang sibuk" ujar Bara sambil menggerakkan alisnya atas bawah.

Padahal mah dia kaga sibuk ngapa ngapain, dia sibuk buat lagu aja, itupun kaga jadi jadi cihh.

"Hem serah lu deh bar." jawab nathan berdehem sambil melirik pandangannya kearah lain.

Bara mulai melangkahkan kakinya keluar kelasnya yang berada dilantai tiga itu, dia mulai masuk lift yang disediakan perkelas yang berada di lantai atas.

Beberapa detik kemudian.

Pria berhoodie hitam itu tiba tiba saja memegangi dada kirinya yg terasa nyeri,baru mau mulai berjalan tubuhnya malah ambruk begitu saja bagaikan pohon yang telah ditebang.

Brakk!!

"Akhh...dada gue" lirihnya dengan suara yang terpatah patah dan tangan kanan yang memegang dada bidang kiri miliknya.

Dia perlahan menyeret tubuhnya untuk menyender ke dinding.
Dengan nafas yang terengah engah dia mengatakan.

"Tuhan Nathan mohon jangan sekarang..."

Air matanya mulai jatuh seketika, matanya mulai kelihatan memerah, dia mulai mengatur nafasnya perlahan menarik dalam dalam dan mengeluarkannya.

Wajahnya sangat menunjukan dia terlihat seperti sangat kesakitan.

Sedikit demi sedikit dia mulai kehilangan kesadaran, pandangannya mulai terlihat kabur, nafasnya sudah sangat sesak dan nyeri dibagian dada kirinya semakin terasa.

Tubuhnya yang awalnya tadi tersender duduk didinding sekarang mulai tumbang seketika di bawah lantai kramik itu.

"Debb!!"

rasa sakit yang sangat amat di dada, ia rasakan selama beberapa menit, terbujur tanpa tenaga dan merasakan tubuhnya yang sudah melemas hingga ingin berteriak meminta tolong pun ia tidak bisa.

"Apa ini akan berakhir sekarang." lirihnya didalam hati dengan tatapan yang melihat keatas atap kampusnya, sudah sangat terlihat bibirnya yang terlihat pucat dan wajahnya yang membiru bagaikan mayat hidup.

°°°°°°°

Hay yorobun aku up lagi nih,,,yok siapa yang masih setia baca??cung tangan,,,okei makasi yang masih stay baca kisah mereka berdua,,,semoga akan berakhir bahagia yaa😊🥀

OUR STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang