hai, teman2
part 18 sudah hadir di karya karsa ya. mohon dukungannya teman2 agar aku semakin semangat update dan berkarya. makasih buat yang udah dukung.
unduh app karya karsa, lalu cari nama evathink, jangan lupa follow ya.
met baca
17
Dering alarm sayup-sayup menyusup ke dalam kesadaran Avery yang sedang mengendap saat lelap. Ia bergerak pelan, lalu membuka mata dan disajikan pemandangan langit-langit kamar yang mulai akrab di matanya.
Ponsel di atas meja kembali berdering, meski pelan, tapi di pagi yang hening terdengar cukup keras.
Avery bangkit dan meraih ponselnya, kemudian mematikan alarm.
Pukul enam pagi. Ia sengaja mengatur alarm agar tidak bangun kesiangan lagi.
Setelah meletak ponsel kembali ke atas meja di depan sofa tempat ia tidur, Avery mengangkat kedua tangan ke atas untuk merenggangkan otot-otot yang kaku ketika tidur. Selimut yang sepanjang malam menyelimutinya, kini berkumpul di pinggang.
Avery menguap, menyibak selimut dan melipatnya.
Gabriel yang tertidur pulas, sama sekali tidak terganggu oleh dering alarm Avery, juga suara berisik samar ketika Avery meletak bantal dan selimut ke ranjang di sisinya.
Sejumput rambut gelap Gabriel jatuh ke kening, sementara bulu matanya yang lebat dan lentik tampak tersusun rapi di bawah kelopak mata yang tertutup. Wajah itu tampak polos bak bocah tanpa dosa.
Tak sadar senyum samar melengkung di bibir Avery. Bahkan saat tidur pun Gabriel tampak tampan. Pasti banyak wanita tertarik pada pria itu, bukan? Pernahkah ada wanita yang mampu memikat si Gabriel yang dingin nan pendiam?
Avery mengangkat bahu. Entahlah. Ia tidak tahu dan tak ingin tahu. Itu tak penting baginya. Gabriel mungkin kini suaminya, tapi mereka bahkan tidak bisa dibilang teman. Dalam satu hari, bisa dihitung hanya berapa patah kata yang menghubungkan komunikasi mereka.
Avery tidak tahu sampai kapan mereka akan seperti ini.
Nasihat Silvia sekali dua melintas di benaknya. Namun bukan tak menghargai sang sahabat yang peduli padanya, tapi Avery juga memiliki pendapat sendiri. Baginya, jalani dulu. Kelak, pasti akan ada jawaban apa yang tebaik untuk mereka berdua, tetap bersama atau berpisah.
Sembari menguap kecil, Avery berbalik dan berjalan ke kamar mandi.
Empat puluh menit kemudian Avery sudah berada di ruang makan. Selang beberapa menit Gunawan melangkah memasuki ruang makan.
"Selamat pagi, Papa," sapa Avery dengan senyum ramah.
Gunawan Vinson terkejut, tapi tak urung ia balas tersenyum. "Selamat pagi, Avery. Apa yang kau lakukan di ruang makan pagi-pagi begini, Nak? Seharusnya kau masih tidur."
Avery tertawa kecil dan menarik kursi dari balik meja untuk sang mertua. "Aku ingin sarapan bersama Papa. Papa mau minum apa? Kopi?"
"Ya, kopi, Nak, tapi biar Bi Imah yang buatkan."
"Tidak apa-apa, Pa. Aku saja." Avery pun membuat secangkir kopi lalu menghidangkan untuk sang ayah mertua. "Silakan diminum, Pa."
"Terima kasih, Nak."
Avery membuat teh manis untuk diri sendiri.
Gunawan Vinson meraih cangkir kopi, lalu meniup pelan dan menyesapnya. "Wah, wah, kopinya sangat enak, Avery. Takarannya pas sekali."
Avery yang baru selesai menyeduh teh dan duduk di kursi bagian lain meja, menoleh dan menatap sang ayah mertua dengan mata berbinar dan senyum mengembang. "Benar, Pa?"
"Emm," Gunawan mengangguk mantap dan kembali menyesap kopinya.
Avery menyesap teh dengan wajah semringah. Ia bukan wanita yang pintar memasak, tapi ia tahu tentang takaran kopi yang pas, dulu salah satu mantan kekasihnya adalah barista di sebuah restoran hotel bintang lima.
Menit-menit berikutnya, Avery dan sang ayah mertua bercakap-cakap dengan seru. Suara entakan sepatu di lantai yang kian mendekatlah yang menghentikan obrolan keduanya.
Avery menoleh ke sumber suara. Tampak Gabriel melangkah memasuki ruang makan dalam kondisi segar dan tampan. Pria itu mengenakan setelan jas lengkap. Tangan kanannya menenteng tas kerja.
Tiba di dekat meja makan, Gabriel meletak tas kerjanya di salah satu kursi dan duduk di kursi lain, tepat berhadapan dengan Avery.
"Selamat pagi, Pa," sapa Gabriel pada sang ayah.
"Pagi, Nak."
Avery menelan ludah dan membisu. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus bersikap layaknya seorang istri?
Avery sadar mata mertuanya terhunus padanya. Ia berdeham. "Pagi, Sayang. Kau mau minum apa?" tanya Avery dengan suara seringan mungkin. Ingin ia menggigit lidahnya, kenapa ia harus memanggil Gabriel "Sayang"?
Gabriel tampak terkejut, tapi kemudian ekspresi pria itu kembali datar. "Kopi."
Avery bangkit. Bi Imah menawarkan diri untuk membuat kopinya, tapi Avery menolak dengan sopan.
Selesai membuat kopi, Avery menghidangkannya untuk Gabriel. Ketika berdiri begitu dekat dengan pria itu, Avery bisa mencium wangi maskulin parfum sang suami. Seketika jantungnya berdegup liar.
Tanpa kata Avery kembali ke tempat duduknya sembari berusaha menenangkan degup jatung yang sedang menggila.
Apa yang salah? Kenapa ia harus merasa seperti ini?
***
love,
evathink
jangan lupa vote dan komen ya. 400 vote dan 50 komen, langsung update next part
makasih
btw, saya aktif di instagram. follow yuk, id: evathink
KAMU SEDANG MEMBACA
Avery and Her Ice Husband
Romance[Follow Evathink sebelum membaca, agar mendapat Info update!] Unexpected Love #3 Tak mau menikah dengan pria pilihan orangtuanya membuat Avery Larasati nekat mengklaim seorang pria asing yang ia temui di pesta sebagai calon suaminya. Adalah Gabriel...