25

3K 230 17
                                    

25

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh menit. Masih terbilang sore untuk tidur, tapi suasana yang hening nan sepi membuat malam terkesan larut.

Gabriel masuk ke kamar. Tampak Avery duduk di bibir kanan ranjang dengan mata tertuju pada ponsel. Wanita itu mengenakan piama, pilihan yang tepat di tempat berudara dingin ini.

Gabriel menutup pintu dan Avery menoleh. Sesaat mata mereka beradu, lalu Avery memalingkan wajah dan kembali menatap ponselnya.

Perlahan Gabriel melangkah menuju ranjang, lalu duduk di bagian kiri ranjang. Ada jarak sekitar satu meter membentang di antara keduanya.

Gabriel meraih ponselnya dan mengecek pesan dari sang manajer, lalu membalas beberapa surel. Untunglah, meski cukup jauh dari peradaban, sinyal operator selular masih bisa dijangkau.

"Sebenarnya apa yang kita lakukan di sini," kata Avery bosan. "Kita bisa tinggal di hotel di pusat kota Bandung dan tidur di kamar terpisah dengan ranjang super empuk."

Gabriel tidak merespons pernyataan itu. Ia justru senang berduaan dengan Avery di vila ini. Di dalam benaknya, ia sedang mencari cara bagaimana mengajak Avery bercinta.

Malam itu mereka tidak berbicara satu sama lain. Ketika Gabriel mencium Avery,wanita itu menyambut dengan panas. Jadi, apakah jika ia melakukan hal tersebut saat ini, Avery akan memberi respons yang sama?

"Gab!"

Gabriel memandang Avery. Bibir Avery tampak ranum dan menggoda dikecup.

"Ayo kita ke kota. Aku bisa gila jika lebih lama di sini."

Gabriel memutar otak. Ia harus bisa meyakinkan Avery kalau ide wanita itu tidak bisa dikabulkan.

"Gabriel!"

"Bisa saja besok pagi Bi Mida atau Pak Karmin datang, jika kita tidak ada di sini dan mereka melaporkan pada Papa, apa kau bisa menjawabnya dengan alasan masuk akal?"

Avery terdiam.

Bagus! Gabriel berharap wanita itu tidak memutar otak dan menemukan alasan yang lebih kuat.

Avery menghela napas panjang.

Gabriel tahu wanita itu frustrasi. Di ruangan dengan luas 3x4 meter, tanpa televisi atau apa pun, jelas sangat membosankan. Untuk duduk di luar, mereka tak sanggup. Selain dingin, di luar juga banyak nyamuk.

Avery menghela napas panjang, lalu berbaring dan memejam.

Apa yang ada di benak wanita itu? Bukankah mereka bisa mengisi waktu dengan berselancar di dunia maya, membaca berita atau menonton Youtube?

Avery membuka mata dan bangkit. Wanita itu kembali menghela napas panjang. "Entah bagaimana aku lupa membawa laptop, padahal benda itu sangat penting bagiku," Avery mengeluh muram.

Tadi pagi Avery bangun kesiangan dan wanita itu buru-buru bersiap-siap agar mereka bisa tiba di bandara tepat waktu. Dalam ketergesaan itu, Avery melupakan laptopnya dan baru teringat ketika pesawat lepas landas.

Gabriel sendiri tidak membawa laptop. Pekerjaannya sedang diambil alih sang ayah. Ia bisa memeriksa surel dari ponsel.

Tiba-tiba lampu padam.

Avery menjerit kecil dan merapat kepada Gabriel.

"Hei, jangan takut," Gabriel mencoba menenangkan Avery yang kini sudah menempel ke badannya dan mencengkeram lengannnya.

Avery tersadar dan melepaskan cengkeramannya. Ia duduk tegak.

Gabriel menyalakan senter dari ponsel.

"Apakah di sini ada generator?" tanya Avery.

Gabriel mengangkat bahu. "Sepertinya tidak. Aku dan Papa jarang kemari."

Avery mengembus napas frustrasi.

Hening.

Baik Gabriel mau pun Avery sama-sama larut dalam pikiran masih-masing.

Setelah bermenit-menit berlalu dan lampu masih saja tak menyala, sementara sinyal di ponsel menghilang, Avery bersuara. "Apa kau tak frustrasi berada dalam situasi ini?"

"Situasi apa?" tanya Gabriel berusaha memastikan ke mana arah pertanyaan Avery. Apakah Avery merujuk pada pernikahan mereka atau keberadaan mereka di vila saat ini?

"Yah ..., terjebak di sini, di vila sepi dan kini mati lampu."

"Aku menikmatinya."

Dalam sedkit cahaya dari ponsel yang diletakkan di atas nakas dalam posisi terbalik, mata Avery melebar. "Bagaimana bisa?"

"Ini mengurangi stres akibat pekerjaan," jawab Gabriel singkat. Ia tak berbohong, meski sebenarnya ada agenda lain dalam benaknya, yakni mengajak Avery mendaki puncak kenikmatan.

Avery cemberut.

Mata Gabriel terpaku pada bibir Avery.

Awalnya Avery tampak sibuk dengan pikirannya, tapi kemudian ia sepertinya tersadar kalau Gabriel sedang memperhatikannya. Wanita itu mengangkat wajah dan dalam cahaya temaram, mata keduanya beradu.

Gabriel tak menyia-nyiakan momen tersebut. Ia merapatkan tubuh pada Avery. tangannya menjulur ke belakang kepala wanita itu.

Mata Avery membesar saat bibir mereka hampir bersentuhan.

Tanpa kata-kata bujukan atau pun rayuan manis, Gabriel menempelkan bibirnya ke bibir Avery. Berbeda dengan malam itu, kali ini ia mengecup Avery dengan lembut.

"Gabriel ...," Avery mencoba melepaskan ciuman Gabriel dengan mendorong dada pria itu.

Dorongan Avery sangat lemah, memberi sinyal kepada Gabriel kalau wanita itu tidak sungguh-sungguh menolak. Gabriel pun memperdalam ciumannya. Makin lama semakin liar.

Dan semuanya terjadi begitu saja. Tak sampai lima menit, pakaian mereka berdua sudah berserakan di lantai. Dalam dinginnya suhu Lembang, keduanya bercumbu dengan panas. Menggapai puncak-puncak kenikmatan tiada tara.

***

Avery bergelung dalam pelukan lengan kukuh. Selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dingin sangat menggigit. Avery membuka mata, berniat menurunkan suhu AC. Namun ia kembali memejam saat diterjang silau cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang gordennya tidak tertutup sempurna.

Setelah beberapa saat, perlahan-lahan Avery kembali membuka mata. Ia bingung mendapati pemandangan dada berotot. Avery sedikit menggeser mundur tubuhnya. Tampak Gabriel tidur lelap di sampingnya.

Avery terkejut. Sekuat tenaga ia menggali ingatannya, dan kesadarannya yang mengendap tatkala tidur pun kembali sepenuhnya. Bayangan percintaan panasnya dengan Gabriel yang berkali-kali tadi malam menghantamnya dengan dahsyat.

Avery memejam. Apa yang sudah ia lakukan? Bagaimana mungkin ia bercinta lagi dan lagi dengan Gabriel, padahal nasib pernikahan mereka bahkan belum tahu akan mengarah ke mana.

Perlahan Avery menyibak selimut, tapi saat akan turun dari ranjang, ada yang mencengkeram tangannya.

Avery menoleh pada Gabriel. Tampak pria itu membuka mata sedikit.

Gabriel bangkit lalu memeluk Avery. Kecupan panas hinggap di leher Avery.

Avery menggeliat geli. "Gabriel, tidak ...." Ia mencoba melepaskan diri. Namun usahanya itu sia-sia. Alih-alih melepaskannya, Gabriel justru mencumbunya.

Percintaan panas dan liar pun kembali terjadi.

***


PART 26 TERSEDIA DI KARYA KARSA!

Bersambung...

Evathink
IG/Youtube: evathink

700 votes, 70 komen, langsung update next part!

Teman2,
Novel karya2 saya tersedia versi PDF, yang mau order, WA aku ya, 08125517788

Juga tersedia di KARYA KARSA (unduh apk di playstore) dan google play buku!


Avery and Her Ice HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang