22

2.4K 253 35
                                    

22

Gabriel menyetir mobil menuju kantornya dengan pikiran melayang. Menjelang pukul sepuluh, jalanan tidak seramai awal pagi, di mana orang-orang sedang berlomba-lomba pergi bekerja.

Gabriel nyaris tak pernah pergi ke kantor seterlambat ini. Biasanya setiap Senin sampai Jumat, pada pukul sembilan pagi, ia sudah duduk manis di balik meja kerjanya. Sementara pada Sabtu dan Minggu, ia libur.

Sembari menginjak rem, Gabriel memaki pelan. Terlalu larut dalam lamunan membuatnya hampir menabrak kendaraan di depan yang berhenti karena lampu merah.

Gabriel mengertakkan rahang. Avery bukan hanya mengganggu pikiran dan konsentrasinya menyetir, tapi yang lebih menyebalkan, wanita itu membuat dirinya jadi sering mengumpat, suatu perbuatan tak terpuji, yang harus segera ia kurangi.

Drake dan Sebastian akan mengerut kening, lalu tertawa terbahak-bahak jika mendengar ia memaki. Ya, tentu saja. Selama ini mulut Gabriel bisa dibilang bersih dari kata-kata kotor. Avery-lah yang menodainya. Sejak wanita itu meringsek masuk ke dalam hidupnya, Gabriel merasa tak sama lagi.

Lampu apill berubah hijau. Gabriel mulai menjalan mobilnya sembari dengan keras menyingkirkan Avery dari benaknya, atau ia akan benar-benar menabrak nantinya.

***

Usai sarapan Avery pergi ke kamar. Tubuhnya lenguh. Anehnya, harus diakui, ada kepuasan asing memenuhi dirinya.

Avery baru saja mengempaskan diri di ranjang ketika ponsel di tangannya berdering singkat.

Pesan dari nomor asing. Seseorang yang memperkenalkan diri bernama Rangga dan mengatakan ia adalah editor yang akan menangani buku Avery.

Ini di luar dugaan. Avery sama sekali tak menyangka naskahnya akan ditangani secepat ini. Penerbit yang bekerjasama dengannya ini adalah penerbit besar, yang ada puluhan, bahkan ratusan naskah yang pastinya sedang mengantri untuk diterbitkan.

Sepertinya karya Avery menjadi proyek prioritas.

Avery senang mengetahui itu. Ia pun membalas dengan hangat pesan dari sang editor.

***

Gabriel mencoret-coret kertas kosong di atas meja di hadapannya. Hanya dalam beberapa menit, kertas itu telah dipenuhi coretan-coretan absurd.

Membayang jelas di benak Gabriel bagaimana gugup dan tegangnya Avery saat mereka sarapan tadi pagi.

Gabriel yang sudah memutuskan tidak akan meminta maaf, tak berkata apa-apa melainkan memperhatikan Avery diam-diam.

Avery yang sejak awal sudah terlihat cantik, makin memesona saat rona merah menjalar di pipi wanita itu.

Gabriel teringat ketika Avery dilanda kenikmatan, wajah gadis itu juga memerah.

Darah Gabriel seketika bergejolak. Dengan cepat celananya mengetat.

Sial! Api hasratnya kembali menyala.

Gabriel mengertakkan rahang, Bukan hanya karena dilanda gairah yang tak diundang, tapi juga karena gagal menepati janjinya bahwa ia tak akan mengumpat lagi.

Desahan frustrasi melucur dari bibir Gabriel. Apa yang terjadi pada dirinya? Mengapa ia berubah menjadi remaja puber yang mudah bergairah?

Gabriel mengembus napas panjang lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dinding kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit.

Ia memandang pepohonan di bawah sana yang bergoyang ditiup angin. Dalam sekejap pemandangan itu memudar berganti bayangan percintaan dengan Avery tadi malam.

Gabriel menggeleng. Apa yang istimewa dari percintaan itu sehingga terus bermain liar di benaknya?

Apa karena Avery perawan?

Atau karena untuk kali pertama dalam perjalanan seksualnya, bersama Avery-lah ia merasakan kenikmatan tak terhingga.

Entah yang mana satu penyebabnya, yang jelas Gabriel sangat menginginkan Avery, lagi dan lagi.

***

Makan malam berlangsung kaku. Satu-satunya orang yang berusaha menghangatkan suasana adalah Gunawan, dan itu pun gagal.

Pria awal enam puluh itu melirik anak dan menantunya dengan pandangan penuh arti, lalu kembali makan dengan wajah semringah.

Gabriel mengunyah makanan, tapi tidak tahu apa yang ia makan dan bagaimana cita rasanya. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita cantik yang duduk di seberangnya. Bahkan, usaha-usaha sang ayah untuk mengajaknya mengobrol, tak mampu menarik perhatiannya.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, Avery cenderung pendiam malam ini. Wanita itu makan tanpa kata, hanya sesekali merespons saat ayah Gabriel mengajaknya bicara.

Kejutan hadir di akhir makan malam. Gunawan Vinson mengulurkan satu buah amplop kepada Gabriel. Pria itu menatap ayahnya penuh tanya.

"Di dalamnya ada tiket pesawat ke Bandung. Papa pikir kau harus mengajak Avery berlibur di vila kita di Lembang."

Mulut Gabriel seketika terbuka karena terkejut.

Avery yang sedang minum tersedak. Gabriel melirik istrinya itu. Avery tampak tegang.

Gabriel kembali mengalihkan tatapannya pada sang ayah. "Aku tak bisa meliburkan diri begitu saja, Pa. Pekerjaanku—"

"Papa tahu pekerjaanmu. Untuk sementara papa yang akan mengambil alih."

Gabriel memasang wajah keberatan. "Tapi ...."

Gunawan mengangkat alis. "Kau meragukan kemampuan papa? Kalau-kalau kau lupa, papa sudah mengelolanya selama 25 tahun dan baru pensiun lima tahun lalu. Papa masih sangat lihai, Nak."

Gabriel menunduk. "Maaf, Pa. Aku tak bermaksud seperti itu."

Gunawan mengangguk-angguk kecil, lalu melirik sang menantu. "Kau sudah pernah ke Lembang, Avery?"

Gabriel melirik Avery. Wanita itu tampak mengangguk ragu, yang Gabriel duga disebabkan sedang tidak fokus.

Gunawan tertawa. "Lembang menyenangkan, bukan? Udaranya sejuk dan segar." Kemudian ia berdiri, berbalik dan meninggalkan ruang makan.

Tinggallah Gabriel dan Avery yang membisu.

***

Bersambung...

Evathink
IG/Youtube ; evathink

cerita ini tersedia versi PDF, silakan order pada Evathink, WA 08125517788

____________________________________

Note : cerita akan dilanjutkan di wattpad sampai TAMAT
____________________________________


500 vote 70 komen, langsung update next part!


Avery and Her Ice HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang