24

2.4K 199 11
                                    

hai teman2

maaf baru sempat update, sibuk kerja. met baca y. moga suka


24

Udara dingin menyambut Gabriel ketika ia keluar dari taksi. Ia yang hanya mengenakan celana jins pudar dan kaus oblong, bergidik dingin.

Avery yang sudah keluar dari mobil, tampak memandang sekeliling dengan takjub. Gunung Tangkuban Perahu tampak indah nun jauh di sana.

Sementara itu si sopir taksi mengeluar dua buah koper dari bagasi. Gabriel meraih dompet dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dan mengulurkannya kepada si sopir.

"Ambil saja kembaliannya, Pak," kata Gabriel saat melihat lelaki paruh baya itu merogoh kocek untuk mencari uang kembalian.

Si sopir taksi tersenyum lebar dan berterima kasih, kemudian berlalu.

"Selamat datang, Nak Gabriel," sambut seorang lelaki paruh baya sembari berjalan mendekati Gabriel.

Gabriel mengangguk singkat pada Pak Karmin, penjaga vilanya.

Pak Karmin meraih kedua buah koper yang tadi diturunkan oleh sopir taksi dan membawanya masuk ke dalam vila.

"Bibi sudah siapkan keperluan masak-memasak di kulkas, Nak Gabriel. Ada ayam, ikan dan juga sayur-mayur," kata Bi Mida, istri Pak Karmin.

Kening Gabriel berkerut.

Bi Mida tersenyum, "Kata Bapak, kami boleh libur seminggu ini."

Gabriel mengangguk mendengar itu meski sebenarnya kesal. Apa maksud sang ayah meliburkan pengurus vila? Semoga saja Avery bisa memasak, jika tidak mereka terpaksa pindah ke pusat kota. Tidak memungkinkan untuk mereka memesan makanan dari luar mengingat vila yang terletak cukup jauh dari peradaban.

Pak Karmin muncul dari dalam vila. "Kami pamit pulang dulu, Nak."

Gabriel kembali mengangguk tanpa kata. Setelah pasangan paruh baya itu berlalu, ia pun masuk ke dalam vila. Mengabaikan Avery yang tampak sibuk memotret diri sendiri dengan latar belakangan pemandangan pergunungan.

Vila tersebut tidak terlalu besar, hanya memiliki tiga kamar tidur.

Gabriel menyeret kopernya ke kamar yang biasa ia tempati. Pemandangan pergunungan yang indah seketika menyambutnya dari jendela kamar yang terbuka lebar.

Bibir Gabriel melengkung samar. Stres akibat pekerjaan seketika menguap. Sepertinya Gabriel harus berterima kasih kepada sang ayah yang telah mengirimnya ke sini.

Gabriel berdiri di depan jendela dan menikmati embusan angin sejuk pergunungan.

"Di mana kamarku?"

Pertanyaan itu membuyarkan keasyikan Gabriel. Ia menoleh dan mendapati Avery berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan kanan memegang gagang koper.

Hari ini wanita itu mengenakan kaus pas badan berlengan panjang dengan gambar boneka beruang besar di bagian depan, dipadu dengan celana jins biru muda. Avery tampak begitu muda dan memikat.

"Kau bisa memilih salah satu dari dua kamar yang tersisa."

"Minta kuncinya," Avery berjalan mendekat dan menadahkan tangan.

"Tidak dikunci."

"Aku sudah memeriksanya, dan keduanya terkunci."

Dahi Gabriel berkerut. Ia melewati Avery dan memeriksa kedua kamar yang dimaksud.

Avery melangkah keluar dari kamar, berdiri tepat di depan pintu yang terbuka.

Kening Gabriel berkerut kian dalam. Avery benar, keduanya terkunci. Tidak biasanya kamar-kamar di vila dikunci.

Gabriel memeriksa pintu depan, hanya adu satu kunci di sana. Ia mengembus napas gusar. Ke mana perginya kunci kedua kamar tersebut? Apakah tanpa sengaja Bi Mida dan Pak Karmin membawanya? Namun seingat Gabriel, selama ini kunci-kunci kamar tersebut berada di tempat masing-masing, seperti halnya kamar Gabriel.

Bi Mida dan Pak Karmin tinggal sekitar satu kilometer dari vila. Tidak ada kendaraan, dan Gabriel enggan menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki demi mengambil kunci.

"Kalau begitu kau bisa tidur di kamarku," kata Gabriel akhirnya. Hanya itu pilihan yang tersisa.

Mata Avery melebar. "Kau bercanda, bukan?"

Gabriel mengangkat alis. "Apa salahnya kita tidur sekamar? Atau kau mau tidur di ruang tamu?" Gabriel mengedikkan bahu pada ruang tamu yang polos tanpa sofa. "Silakan, tapi jangan mengeluh jika kau masuk angin dan kedinginan. Kali ini aku tak akan meminjamkanmu selimutku. Di sini sangat dingin, dan suhunya tak bisa diatur sesuka kita."

Avery mematung.

Gabriel mengangkat bahu tak acuh.

Mau tak mau Avery masuk ke kamar. "Tidak ada sofa di sini," kata Avery dengan wajah cemberut.

"Kau bisa tidur di ranjang."

"Bersamamu?"

"Ya."

"Ranjang itu kecil, Gabriel, kita tidak mungkin tidur berdua di sana."

Gabriel menatap wajah Avery yang tampak frustrasi.

Ranjang yang ada di tengah-tengah kamar tersebut memang berukuran kecil. Jika mereka berdua tidur seranjang, meskipun berusaha saling menjauh dengan tidur di bagian paling pinggir ranjang, bisa dipastikan tubuh mereka akan sering bersentuhan

"Kita bahkan sudah pernah bercinta, Avery," kata Gabriel sedikit gusar dengan sikap 'bak gadis perawan' Avery.

Perawan. Ya, Avery memang masih perawan, tapi itu sebelum Gabriel meringsek ke dalam dirinya dan merenggutnya. Hasrat seketika menyerbu Gabriel, ia mengertakkan rahang.

Rona merah merambat ke tulang pipi Avery. Bibir ranumnya bergerak, hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian membatalkannya.

Bagus! Gabriel tidak butuh provokasi lebih lanjut atau ia akan kehilangan kendali dan menyeret Avery ke ranjang dan mencumbunya.

***

Avery menggoreng dua butir telur mata sapi dan menyiramnya dengan kecap asin dan saus sambal.

Gabriel yang baru duduk di balik meja makan dan melihat hidangan tersebut, mengerutkan kening.

Avery diam-diam meringis. Ia tidak pandai memasak, bisa dibilang ia hampir tidak pernah memasak.

Kemudian Avery menghidangkan nasi putih untuk Gabriel, lalu untuk dirinya.

Gabriel makan tanpa kata. Avery lega pria itu tak banyak berkomentar.

***

Bersambung...

jangan lupa vote dan komen yang cetar, ya teman2. thanks.

Evathink
IG/Youtube: evathink

part 25 & 26 ceritaini tersedia di karya karsa (unduh apk di playstore).

part 25 & 26 ceritaini tersedia di karya karsa (unduh apk di playstore)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Avery and Her Ice HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang