Pertemuan antar guru diadakan secara mendadak. Kali ini bukan masalah soal ujian, tetapi tentang beberapa siswa yang meresahkan di lingkungan sekolah, bahkan pada masyarakat luar pun.
"Saya selaku kepala sekolah, memberitahukan kepada semua staf guru. Masalah ini bukan hanya untuk guru BK saja, tapi semua guru yang ada di sekolah ini. Kita harus terus mengingatkan, dan jika ada yang tahu siapa pelakunya, langsung lapor dan langsung kita tangani sesuai dengan ketentuan yang berlaku."
Akhir-akhir ini banyak laporan atas kasus pembully-an. Bahkan, kekerasan yang mengatas namakan SMA 2 Bung Hatta.
"Pak," ucap salah satu guru yang duduk di sebelah Gista. Semua tatapan tertuju padanya.
Fariza, guru muda selain Gista, dengan kaca mata yang bertengger rapi di hidungnya dan tangan yang ia satukan di atas meja. "Saya bukannya mau soudzon. Tapi saya punya beberapa siswa yang dicurigai," sambungnya. Beberapa guru pun mengangguk setuju. Sedangkan, Gista tengah berada di dalam kebingungan karena tidak tahu apa-apa.
"Tapi kita gak ada bukti, saya pun juga berpikir orang yang sama. Karena setiap hari ada saja laporan di ruangan BK atas nama mereka."
Kali ini Gista mulai paham dengan siapa yang dimaksud. Namun, mengingat bagaimana sikap Dani dan teman-temannya saat bertemu waktu itu mereka hanya seperti remaja pada umumnya.
Keputusan akhir, pihak sekolah menambah beberapa guru menjadi mata-mata untuk siswa. Mereka sepakat memfokuskan perhatian kepada Dani dan teman-temannya.
Baru saja keluar, Gista dibuat kaget dengan kemunculan Dani yang datang tiba-tiba entah dari mana.
"Halo, Bu," sapa Dani dengan senyum lebar dan tangan yang berada di kantong celana. "Ambil buku latihan Sejarah, Bu," jelasnya tanpa ditanya oleh Gista.
"Oh iya, Bu," panggil Dani sebelum meninggalkan Gista. "Ibu cantik hari ini," ucapnya sambil mengajukan jempol kanan dan kembali tersenyum lebar.
Percakapan singkat itu menarik perhatian laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka, di tangannya membawa beberapa buku yang bertuliskan "Seni dan keterampilan", ia sengaja memperbesar langkahnya. Singkat, Dani tersenyum melihat manusia kepo yang terlihat berjalan ke arahnya.
"Duluan, Bu," pamit Dani, lalu menatap Ivan dengan tatapan kemenangan. Seperti ada tegangan listrik tinggi dari mereka berdua. Mereka saling menatap tajam.
**
Saat jam pulang, Yongki menyuruh Gista untuk ke ruangannya untuk membahas berapa lama cuti yang diperlukan. Gista menolak untuk cuti, ia hanya butuh izin satu atau dua hari saja. Menurutnya tidak mungkin mengambil cuti, sedangkan ia belum genap satu bulan mengajar.
"Lagian gak acara besar-besar."
Namun, Yongki tidak mengizinkan. Bagaimana bisa calon pengantin dibiarkan berkeliaran seperti ini.
Setelah memutuskan untuk menerima ajakan Cakra, Gista meminta tidak ada pesta. Cukup nikah dan acara kecil khusus keluarga saja.
"Lagian, Adek gak undang guru di sini. Kalau cuti pun gak enak jadinya, kan," sambungnya.
Gista tetaplah si bungsu yang keras kepala, siapa pun di keluarganya tidak bisa membantah apa yang diinginkan, lagi pula keinginannya pun tidak merugikan siapa pun.
"Oh iya, Gis," panggil Yongki, sebelum Gista keluar dari ruangannya. "Kamu dekat sama siswa yang namanya Dani?" tanya Yongki.
Gista memutar kembali langkahnya, sedikit berpikir apakah ia dekat dengan Dani. Karena baginya, Dani itu sama seperti siswa lain yang mencari perhatian pada guru-guru baru.
"Dia sebelumnya gak pernah dekat sama guru mana pun, tapi sama kamu bisa sedekat itu. Bahkan, kata teman kelasnya, dia terus ada di jam pelajaran kamu."
Gista membenarkan apa yang dikatakan Yongki, karena semenjak ia mengajar Dani selalu ada di kelas dan tidak pernah membuat ulah."Kalau ada yang aneh, kamu langsung kasih tau Om, atau pak Mahen, ya."
**
Satu keluarga terkejut dengan permintaan si bungsu. Bagaimana tidak, mereka ingin mempersiapkan acara yang mewah, tetapi ditolak langsung oleh Gista, begitu pun pada Cakra.
"Dari pada acara gak jelas gitu, mending uangnya disimpan buat biaya hidup kita nanti."
Berulang kali Cakra bersyukur karena pilihannya tepat. Tidak banyak wanita dengan pemikiran sederhana seperti Gista.
"Makasi ya, Gis"
Ternyata permintaan sederhana itu tidak direstui oleh keluarga Cakra. Mereka ingin acara yang mewah. Dari awal, Gista sudah mendapat pandangan buruk dari keluarga Cakra.
"Emangnya salah kalau gak ngadain pesta? Lagian cuma dunia, tapi kenapa malah dipandang buruk?" rutuk Gista
"Gak. Kamu gak salah. Nanti aku yang ngomong sama mereka," ucap Cakra menenangkan.
Padahal Gista sudah bersikap santai, dan bahkan mengakrabkan diri dengan keluarga Cakra. Namun, terlihat jelas ada raut yang berbeda saat Gista bersama dengan mereka. Apalagi ada nama Arabella yang mereka bandingkan dengan Gista.
"Si Cakra ada-ada aja. Padahal Ara jauh lebih baik, ramah lagi anaknya."
Gista tersenyum tipis, seramah apalagi yang harus ia perlihatkan. Sebenarnya pilihan Cakra salah, tak seharusnya ia memutuskan apapun secara mendadak seperti itu, dan terlebih masalah masa depan.
"Jangan dipikirin, ya."
Begitulah Cakra menenangkan Gista setiap papanya mengomentari Gista tepat di hadapannya.
"Kamu yakin bisa sama anak saya?"
Saat itu Gista mengangguk sambil tersenyum, tetapi balasan yang ia dapat hanya senyuman miring yang terlihat seperti meremehkan.
"Kamunya yakin banget, tapi saya yakin anak saya yang gak bisa sama kamu."
Sesekali Gista berpikir, Cakra diperlakukan begitu baik di keluarganya. Lantas kenapa, Gista tidak dianggap sama sekali, bahkan keberadaannya pun tak terlihat di keluarga Cakra.
"Mungkin karena kamu gak mau diadain pesta, mereka kecewa."
Jujur saja, semenjak Gista dikenalkan dengan keluarga Cakra hatinya menjadi bimbang, tapi enggan untuk mengatakan kepada keluarganya. Karena melihat Cakra yang diterima dengan senang hati di keluarganya. Gista tak ingin menghancurkan kebahagiaan orang tuanya.
Beberapa persiapan sudah dilakukan, hingga mendaftarkan diri di kantor KUA. Dan hari ini, mereka pergi membeli cincin dan baju yang akan dikenakan nanti saat acara pernikahannya.
"Sekalian mau lihat rumah kita gak?" tanya Cakra.
Hanya anggukan tanpa ada satu kata yang keluar dari mulutnya. Entah karena lelah atau terlalu banyak beban pikiran. Ini bukan tentang pernikahannya saja, tetapi tentang empat siswanya yang kemarin malam bertemu di tepi jalan tengah berbuat hal yang di luar kata wajar. Ada rasa ingin untuk mengadukan, tetapi di sisi lain ada rasa ingin tahu alasan mereka melakukan itu semua, dengan penampilan dan image di mata Gista yang bagus tentang mereka.
"Gis?"
Gista tidak mendengar panggilan Cakra. Mungkin jika bukan tangan Cakra menyentuh punggung tangan Gista, wanita itu tidak akan menanggapi laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti.
"Kamu mikirin papa? Atau ada hal lain?" Cakra kembali bertanya dan langsung dibalas gelengan oleh Gista, kali ini Cakra risau dengan Gista yang lebih banyak diam setelah bertemu dengan keluarganya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...