Udara pagi yang masih terasa segar, setidaknya bisa menghilangkan kata-kata yang ia dapatkan dari mertuanya. Perlahan Gista sudah biasa dengan sarapan seperti itu, walau ada beberapa hal yang membuat hatinya sakit, tetapi untuk sekarang tak masalah ia masih bisa menahannya.
Jarak yang cukup jauh, membuatnya hampir telat dan tanpa disadari Dani dan Ben berjalan di samping Gista lalu menyalami tangannya tanpa izin.
"Pagi, Bu," ucap mereka serantak.
"Udah baikan lagi?" tanya Gista, tapi mereka langsung mengangkat bahunya.
"Bukannya kamu udah dilarang terlibat sama mereka," bisik Vina tiba-tiba yang datang entah dari mana.
Gista menghentikan langkahnya, menyuruh Dani dan Ben pergi. "Terlibat apanya? Salah kalau aku cuma ngomong gitu sama mereka?" tanya Gista.
"Kalau kayak gitu, kalian bakal terlihat lebih dekat, Gista."
"Terus, aku harus jaga jarak sama murid sendiri? Jangan aneh, deh, Na."
**
Ekspektasi yang tidak sama dengan kenyataan. Padahal Gista membayangkan mereka akan mau melakukan apa yang disarankan, tapi saat sampai di lokasi mereka malah menatap jijik, karena itu bukan dunianya.
"Kami mending pulang, Bu. Banyak tugas yang harus diselesaikan."
Gista mengembuskan napas, ia tidak percaya mereka akan mengerjakan tugas.
"Kita coba dulu gimana? Mereka pengen juga sekolah kayak kalian, hari ini kalian berbagi kisah di sekolah aja?" Gista masih membujuk mereka berempat, tetapi tidak membuahkan hasil.
"Kalau mereka mau belajar, mending sama Ibu, lebih berpengalaman," ujar Ben lalu meninggalkan tempat itu dan disusul oleh temannya.
"Maaf, ya, Bu," ucap Dani lalu tersenyum.
Tidak berhenti di sana, hari kedua pun Gista masih berusaha. Kali ini ia tidak meminta apapun, cukup menemaninya di sana. Namun, mereka tetap anak yang tumbuh dengan kekayaan dan menatap remeh mereka yang ada di sana, bahkan Resta melempar tasnya ke tanah karena tak sengaja disentuh oleh anak-anak yang terlihat kumuh.
"Maafin dia, ya?" pinta Gista sambil tersenyum tulus untuk mengobati hati anak itu. Resta terlalu berlebihan kali ini.
Hari selanjutnya, Dani mulai ikut dengan Gista. Mulai membuka diri untuk bermain dengan anak-anak itu dan ternyata menyenangkan, bahkan mereka bermain bola bersama. Senyum Gista terpancar, melihat tawa Dani yang jarang sekali dilihat.
Butuh satu minggu untuk mengajak mereka semua bergabung dengan anak-anak yang ada di sana dan Gista juga menjelaskan jika tidak ada yang berbeda.
"Bayangin aja, mereka udah bisa cari nafkah sendiri, sedangkan kalian gak ada. Selain kalian yang punya masalah hidup berat, mereka juga berat. Gak ada orang tua, makan pun gak rutin, gak sekolah, bahkan banyak orang yang menganggap mereka gak ada," jelas Gista. "Masing-masing kita punya masalah hidup, gak ada yang gak. Tapi, masalah itu ada, untuk dipecahkan, kan?"
Mereka berjalan beriringan menuju tepi jalan raya di kala menatari mulai merangkak pergi. Senja yang indah untuk momen yang berharga ini.
"Kalian bukannya mecahkan masalah, malah bikin masalah itu semakin besar. Gak iri sama mereka? Hari ini mereka ada masalah dan malamnya bisa langsung terpecahkan karena mereka berusaha untuk keluar."
"Emang mereka punya masalah apa? Gak berat kali, makanya bisa langsung dapat jalan keluar." Resta memainkan batu yang ada di tangannya.
"Makan. Masalah mereka itu. Kalian tau betapa susahnya untuk mencari sesuap nasi? Bahkan, harus kejar-kejaran dengan satpol pp dan ada yang rela masuk ke got untuk bersembunyi."
Mereka hanya bisa diam, Gista memang tidak bisa membawa mereka semua keluar dari masalah masing-masing, tetapi ia membantu mereka untuk tidak memperbesar masalah.
"Waktu itu berharga, jadi jangan sia-siain, ya."
"Ibu bilang semua orang pasti ada masalah, Ibu sendirinya adakah?" tanya Dani.
Gista melempar senyum pada siswanya, jangan ditanya masalah hidup Gista, tentu saja hampir membuatnya gila. Entah itu di sekolah atau di rumahnya sendiri.
Kesabaran Gista sangat diuji, entah siapa yang memulainya, tetapi ia dituduh menerima suap dari keluarga Dani, bahkan namanya sering dijadikan topik pembicaraan saat makan siang atau jam pulang.
"Guru gak kompeten, masuk karena om-nya kepala sekolah."
Padahal Gista berusaha menyembunyikan fakta itu, tapi ada saja yang mengungkitnya. Dia mencoba untuk tidak peduli, karena jika ada topik baru mereka akan berhenti dan langsung beralih. Namun, ada yang membuatnya begitu kesal karena ada yang menuduhnya jika ialah yang menghilangkan bukti-bukti keburukan Dani dan teman-temannya, entah itu di dalam sekolah atau di luar.
"Paling udah disogok."
Alih-alih untuk memberitahu pada Cakra, Gista memilih untuk diam. Itu masalahnya di dunia kerja dan tak mungkin dimasukkan dalam rumah tangga. Karena di sana ia juga memiliki masalah lain, bukan dengan Cakra melainkan dengan mertuanya.
Entah apa lagi yang harus ia lakukan agar terlihat baik di mata mereka, saat Cakra tidak ada di rumah, Gista selalu disudutkan ada saja yang salah di mata mereka. Bahkan, mempermasalahkan Laras yang membantu Gista merawat Regina di masa sakitnya.
"Paling kamu yang bujuk Cakra biar nyewa orang buat rawat saya," ujar Regina sambil menerima suapan bubur yang disodorkan Gista ke mulutnya.
"Gista 'kan kerja, Ma."
"Halah, alasan," timpal Regina. "Kenapa gak ganti baju? Mau cari perhatian sama Cakra lagi? Biar dia yang ngerjain kerjaan dapur lagi?" tanya Regina beruntun.
Gista menggelengkan kepala, ia tak bermaksud apapun. Baru saja sampai di rumah, Adnan menyurunya membuatkan kopi, lalu memasakkan Regina bubur, lagi pula besok dia tidak menggunakan baju itu.
"Terus apa hubungan kamu sama anaknya Laras? Akrab banget kalian, katanya teman kecil, kenapa gak nikah sama dia malah anak saya."
Gista meremas ujung bajunya, menahan agar tidak ada air mata yang jatuh. Ia hanya menggigit bibir bawah sembari menyuapi Regina. Seketika, Gista merindukan mamanya, ingin memeluknya erat dan mengatakan beban yang dia rasakan. Namun, ia tak ingin membuat Prima ikut sedih.
"Sudahlah." Regina mendorong mangkok bubur di tangan Gista. "Udah kenyang, sini obatnya," tunjuknya dengan tangan kiri.
Melihat Cakra yang tampak lelah membuat Gista enggan menceritakan apa yang ada di dalam hatinya. Namun, ia merasa jika orang tua Cakra terlalu berlebihan padanya.
"Ada masalah?"
Gista langsung menggelengkan kepala, memasang wajah tanpa beban di depan suaminya, karena itu bisa menjadi obat lelah Cakra.
"Gimana harinya?" tanya Gista.
"Kayak biasa, ke lapangannya lancar?"
Gista menganggukkan kepala, hatinya masih terasa sesak. Apakah tidak masalah memberitahu satu beban yang ia rasakan agar tidak terlalu berat?
"Gimana cara ningkatin kesabaran, ay?" tanya Gista pelan.
"Kamu punya masalah apa? Gak mau cerita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
Ficción GeneralNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...