Part 31 : Semua salah?

13 5 9
                                    

Suasana terasa jauh berbeda dari sebelumnya, Gista pun berusaha meminta maaf. Walau ada kata "Iya" yang terlontar, tetapi sikap Cakra masih berbeda. Ia sadar kemarahan Cakra tak hanya masalah meminta izin, melainkan ia sudah melarang untuk dekat dengan Dani, apalagi Gista yang sekarang tengah berbadan dua.

"Aku berangkat," ucap Gista sambil menyalami tangan Cakra, tapi hanya dibalas dengan gumaman.

Keluar dari mobil ada rasa tak nyaman di dalam hati. Ia sadar jika sekarang malaikat tengah mencatat dosanya, karena tidak mengikuti apa kata suaminya. Namun, bagaimana pun mereka membutuhkan Gista.

Gista tak menemukan siswa yang dicari membuat ia pun tak fokus mengajar di kelas. Untung saja ada salah satu siswa yang mengabarinya tentang keberadaan Dani dan teman-temannya. Ia memastikan jam mengajarnya, hari ini hanya dua kelas. Gista harus meluruskan semuanya dan mengatakan dia tak bermaksud untuk meninggalkan mereka semua.

Lokasi itu cukup jauh dari lingkungan sekolah, tetapi tidak menjadi masalah bagi Gista. Toh, sekarang sudah bnyak ojek online. Lagi, Gista pergi tanpa berpamitan dengan Cakra.

"Sekali ini aja, nanti gak lagi," gumamnya yang ia tujukan pada sang suami.

Sebuah kafe yang tak terlalu ramai dan terlihat kurang terurus, tidak mungkin siswanya memberikan alamat yang salah. Namun, melihat lokasinya, itu bukan tempat yang akan mereka kunjungi. Berniat kembali, tetapi langkahnya terhenti saat Belva berdiri di belakangnya. Mereka sama terkejut, tadinya gadis itu ingin melarikan diri, untung lekas ditahan oleh Gista.

Wajahnya terlihat pucat dengan seragam yang begitu kotor. Gista menatapnya, di dalam tapan itu jelas ada pertanyaan. "Kenapa?"

Belva membawa Gista ke dalam kafe itu, betapa terkejutnya Gista melihat siapa yang ada di dalam, yaitu beberapa anak yang ada di pinggiran jalan waktu itu. Setelah berbicara singkat dengan mereka, Gista mengikuti Belva ke lantai dua, baru saja berada di tangga terakhir hidungnya menangkap bau yang tidak sedap. Seketika ada rasa mual, tetapi harus ia tahan.

"Yang lain di mana?" tanya Gista dengan mata yang berair menahan rasa mual.

"Mer—"

Gista tidak bisa menahan dan terpaksa memuntuhkan isi perutnya di jendela yang menghadap ke belakang. Belva pun gelagapan, ia sadar Gista seperti itu karena ruangannya yang tidak pernah dibersihkan lebih dari satu minggu.

Butuh waktu setengah jam untuk menormalkan kembali dan itu pun mereka pergi keluar mencari udara segar. Berkali-kali Belva melontarkan permintaan maaf, walau Gista mengatakan tak apa-apa.

**

Jika mengatakan alasan yang sebenarnya apakah Cakra akan memberikan izin? Pertanyaan itu terus berkeliaran di dalam kepala Gista. Sikap suaminya masih sama, bahkan di hari kedua dan ketiga. Namun, Gista masih tetap dengan pendiriannya.

"Anakmu aja yang berlebihan, istrinya mau kerja malah dilarang," ucap Regina di ruang tengah, tetapi terdengar jelas ke dapur.

"Lagi," batin Gista. "Gak capek apa, kalian ngomongin anak dan menantu terus," sambungnya sambil menyusun beberapa piring ke dalam lemari.

"Malah sampai ke rumah kepala sekolah tempat Gista ngajar, nyuruh berhentiin Gista. Tapi, gimana lagi, kepala sekolahnya masih keluarga dia, mana didengar si Cakra," sambung Regina.

"Dari awal udah keliatan, apalagi dia anak bungsu, pasti keras kepala, egois. Beda sama Ara lah," timpal Adnan.

Di dapur, Gista langsung menghentikan aktivitasnya. Merasa tak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh mertuanya. Tidak peduli lagi perbandingannya dengan Ara, amarahnya seketika tak bisa ditahankannya. Ia langsung bergegas ke kamar untuk menemui Cakra.

Tatapan mereka saling beradu, Cakra yang melihat perbedaan itu pun langsung menghampiri Gista, walau ia masih merasa kesal dengan tingkah istrinya yang jarang mendengarkan perkataannya.

"Jadi, kamu yang bilang sama om kalau aku bantu anak muridku lagi? Terus nyuruh om buat ngurus masalah aku sendiri? Tanpa peduli sama urusan orang lain, yang tak terkecuali itu siswa aku?" tanya Gista beruntun, tetapi tidak sampai disitu. "Asal kamu tau, masalah aku sebenarnya gak ada. Kita? Aman aja, tapi, masalahku ada di keluargamu!" tunjuk Gista dengan nada pelan, tapi ada tekanan di ujung kalimatnya.

"Berhenti jadiin mereka alasan, masalahnya itu kamu!" Cakra tak kalah emosi.

"Aku?" tanya Gista. "Kayaknya, aku gak pantas disalahkan, karena semuanya berawal dari kamu. Mungkin kalau kamu gak nikahin aku dan tetap sama Ara ini gak bakal terjadi. Orang tuamu gak bakal kayak gini sama aku," sambungnya.

Tak sampai di situ, setelah mengambil napas sesaat, ia melanjutkan kalimatnya. "Gak bermaksud nyesal sama hubungan ini, karena kita gak ada masalah, tapi kalau kita gak ada hubungan sebelumnya, masalah aku cuma mereka," tunjuk Gista bebas ke arah kiri, yang mengartikan para siswanya.

Saling mengambil napas, Cakra pun mengusap wajah lalu naik ke rambutnya dan menngalihkan tangannya ke pinggang.

"Terus, mau kamu apa? Mau terus gak nurut sama aku? Aku kayak gini buat kamu, buat anak kita, Gis," jelas Cakra setelah menurunkan amarahnya.

"Tau, aku tau!" balas Gista sedikit berteriak. "Tapi, mereka butuh aku. Tolong ngertiin, aku bisa jaga diri aku. Asalkan kamu tau, kalau sama mereka, aku pasti dijagain. Dia mau sama aku, jadi gak ada salahnya bantu mereka keluar," sambung Gista.

"Asalkan kamu tau, laki-laki yang kamu cemburui itu, dia gak punya tujuan hidup. Kehidupannya suram banget, disalahkan, bahkan gak dianggap. Dia butuh kasih sayang,"

Cakra menggelengkan kepala, "Tapi, gak kamu juga. Lihat apa yang mereka lakuin di luar sana. Orang kayak mereka itu gak baik.

"Salah? Salah aku kasih dia kasih sayang sebagai guru, sebagai ibu yang harus jagain anaknya?" Laki-laki itu berdecak kesal, Gista tak paham dengan apa yang dia maksud. "Kamu nilai orang begitu, tanpa tau betapa berat yang mereka jalani."

Tak sampai di sana, Gista menceritakan semua tentang siswanya yang dikatakan Belva tadi siang padanya. Bagaimana mereka hari itu, satu hari setelah Gista diliburkan.

Entah dari mana berita itu datang, tetapi anehnya tentang mereka keluar secara serentak. Kabar Belva yang dirumorkan melakukan hubungan seks dengan papanya, kata mereka, Belva yang menginginkan. Tadinya, ia tidak peduli dengan kabar itu, karena masih ada temannya, tapi di sayangkan, kabar perjodohan Resta menyebar luas membuat ia ikut menghilang. Hanya Dani, Ben, dan Belva yang tersisa.

Entah kenapa, satu persatu rumor menyebar, kematian Andre dan semua kasus pembullyan. Disaat itulah, Dani mencari Gista, tapi ia tak menemukannya. Mereka membutuhkan seseorang untuk bersandar

Dan siang itu, saat Gista menemui Belva. Ia melihat siswanya sedang berada di titik terbawah. Dani yang sebelumnya begitu marah, tetapi saat ia datang, laki-laki itu memeluk Gista dan menangis.

"Boleh gak saya pergi lebih dulu?" kalimat itu terlontar di sela tangisnya

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang