Part 13: Salahkah?

39 12 30
                                    

Menuruni tangga sambil melihat setiap lembar kertas, Gista tidak menyangka jika mereka melakukan dengan langkah yang sudah direncanakan dengan matang. Ia tidak yakin jika Dani melakukan semuanya hanya untuk kesenangan belaka, mereka pasti memiliki motif lain. Satu persatu Gista melipat agar masuk ke dalam kantong baju dan rok yang ia kenakan.

"Bu," sapa salah satu murid yang melewati Gista dan langsung dibalas dengan senyum dan anggukan. "Oh, iya, Bu. Tadi kalau gak salah, Ibu dicariin bu Vina sama bu Fariza," sambungnya.

"Iya, kah?"

Siswa itu menganggukkan kepala dan tersenyum sambil izin untuk pergi lebih dahulu. Gista meronggoh kantong ia lupa jika meninggalkan ponselnya di dalam tas, sedangkan kantongnya berisikan kertas milik Dani tadi.

Gista langsung berjalan ke arah kantor, walau sebentar lagi jam istirahat habis. Hanya senyum tak bersalah pada dua temannya saat ia lupa jika mereka akan makan siang bersama dan makanannya sudah dipesan lebih.

"Ke mana, sih? Padahal kamu yang paling pengen makan empek-empek," ucap Vina sambil menyuapi sisa makanan yang ada di dalam piring pada Gista. "Kayak hamil aja," sambungnya dan langsung membuat Gista tersedak. Fariza menyodorkan minum sambil tertawa, wanita itu terlalu mudah digoda.

"Aku gak mungkin ngidam," batin Gista.

**

"Cie, Ibu guru udah pulang." Laras menyapa dari halaman rumahnya. Pagi, siang, sore wanita itu tidak bosannya mengurus bunga-bunganya yang berkembang indah, rasanya Gista ingin meminta satu, tapi ia tidak berbakat dengan hal seperti itu.

Gista membelokkan langkahnya dan menyalami Laras, ikut mengusap kelopak bunga tulip kuning yang terlihat begitu indah.

"Bunga ini maknanya banyak, Gis," ucap Laras sambil tersenyum, lalu menarik satu batang dan memberikan kepada Gista. "Kalau buat pasangan, biasanya bunga ini ngelambangin cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi, kalau buat ikatan persahabatan, bunga ini lambangin keceriaan. Sama kayak Gista, harus tetap ceria, ya?"

Gista menaikkan alisnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Laras padanya, lalu pandangannya beralih pada tatapan Laras yang tertuju ke arah rumahnya. Seketika Gista menarik sudut bibir untuk tersenyum dan mengangguk paham.

"Mak pun gak ngerti apa yang mereka pikirin, kamu udah ngomong sama suamimu?" tanya Laras.

"Ngomong langsung belum, Mak. Tapi, kayaknya dia ngerti."

"Coba aja Prima tau, aduh, ngamuk yang ada mamamu. Dia paling anti banget orang tua yang ikut campur sama urusan rumah tangga anaknya. Dulu dia sering ngomong gitu sama, Mak."

Gista tertawa, "Udah lah, Mak. Biarin aja, mereka juga keluarga Gista. Gak ada bedanya sama mama. Mana tau mereka cuma mau liburan aja."

Tidak tahu harus menjawab apa, Gista hanya meminta maaf saat Adnan memarahinya tepat di depan pintu. Sedangkan, Laras menggelengkan kepala, berharap Cakra cepat pulang untuk menyelamatkan istrinya.

"Kamu gak liat kalau di dapur gak ada apa-apa?! Menantu macam apa, seandainya Cakra milih Ara, ini gak bakal terjadi di keluarga anak saya," dumalnya.

Padahal Gista sudah menyiapkan makanan dan ia rasa sudah cukup hingga sore. Namun, ia mendapati dapurnya berantakan, bahkan tidak ada satu pun gelas atau piring bersih yang bersisa, entah apa yang mereka lakukan di rumahnya.

Baju dinas yang belum ia ganti, Gista langsung membersihkan dapurnya. Memasukkan pakaian kotor milik mertua dan adik iparnya yang berserakan di pintu kamar mandi, bahkan ia harus menebalkan telinga mendengar omelan Regina dan Adnan, sesekali Melody pun ikut menimpalinya.

"Andai aja mertua aku kayak nenek, mungkin aku bakal jadi manusia paling bahagia," batin Gista sambil mencuci piring. Ia tersenyum mengingat bagaimana neneknya dulu yang menganggap mamanya sebagai anak sendiri, bahkan hingga ia meninggal.

Cakra pulang saat semuanya sudah selesai dan Gista bersyukur suaminya tidak melihat kondisi rumah yang berantakan. Bukan untuk menutupi kelakuan orang tuanya, tapi karena ia tidak ingin terlihat tidak bisa apa-apa di depan Cakra.

"Mandi dulu, aku mau ke pasar." Gista menaruh baju milik Cakra, sedangkan ia belum mandi hanya baju yang baru saja ia ganti karena basah akibat cipratan air cucian.

"Lah, tadi pagi bukannya udah?"

Gista mengembuskan napas dan mencoba untuk tersenyum. "Ya gitu, udah habis."

Laki-laki yang sedang melepas kancing bajunya ternyata paham maksud senyum dari istrinya. Ia pun memasang kancing bajunya kembali dan berniat keluar kamar menemui Adnan.

"Mandi dulu, ya? Nanti omongin kalau udah dingin," tahan Gista.

"Kamu udah mandi?" Gista menggaruk kepalanya dan kembali tersenyum. "Mandi bareng, yuk," ajak Cakra dan langsung ditolak oleh Gista.

"Aku mandinya nanti, keburu sore nanti gak ada apa-apa di pasar."

Cakra langsung berdecak kesal, lalu mengambil kunci mobilnya. "Ya udah, aku antar. Nanti kita mandi bareng."

Gista kembali menggelengkan kepala sambil tertawa. "Bukan bermaksud ngelawan sama suami, tapi mending kamu mandi terus ngomong sama keluarga kamu baik-baik. Dan bukannya gimana, mereka belum nerima aku." Senyum Gista hilang, raut wajahnya berubah menjadi serius. "Biasanya aku diomelin karena salah, tapi sekarang aku gak tau salah di mananya, aku malah kena omel," ujar Gista dengan air mata yang sudah tergenang.

Cakra menarik Gista ke dalam pelukannya, mengusap punggung Gista dan meminta maaf atas apa yang keluarganya lakukan.

"Gak apa-apa, mungkin aku emang salah." Gista kembali tersenyum dan mengambil kunci mobil milik Cakra. "Aku berangkat, ya. Gak lama, kok."

**

Hari yang terasa lebih lama dan lebih berat. Gista memutari pasar mencari apa saja yang bisa ia jadikan untuk persediaan beberapa hari. Ia tidak tahu seberapa lama mertuanya di rumah, sehingga harus membeli banyak makanan.

Tangan kanan dan kirinya menenteng kantong plastik berukuran besar membuatnya kesusahan dan seketika ia kaget saat seseorang merebut plastik itu dari tangannya.

"Eh?"

"Emangnya Ibu gak ada saudara buat nolongin bawain ini?"

Gista mendongakkan kepala saat melihat Dani berdiri di sampingnya. Untuk apa ia di sini? batinnya. Laki-laki itu tidak terlihat seperti pelajar, bahkan jika ia menyamar menjadi anak kuliahan pun orang akan percaya.

"Udah mau pulang?" tanyanya lagi dan Gista menganggukkan kepala.

"Kenapa ada di sini?"

"Ini tempat umum, emang salah saya di sini?"

Gista menggelengkan kepala sambil berjalan keluar pasar tidak ada percakapan lain hingga mereka sampai di depan mobil yang dibawa oleh Gista.

"Sendiri aja?" tanya Gista, tapi tidak dijawab sama sekali. Diabaikan siswa sendiri itu rasanya, sulit untuk dijelaskan.

"Gak, Bu," balasnya singkat seakan membaca pikiran Gista.

"Kamu itu baik, gak mau berubah jadi lebih baik lagi di mata orang lain?"

**

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang