Part 15: Step One

32 8 15
                                    

"Kalian juga ikut?" tanya Gista setelah mengontrol dirinya agar tidak terbawa emosi.

"Ikut ngapain, Bu? Itu pilihan dia, kami gak tau apa-apa." Ben ikut menimpali. "Tapi, kami emang ada di sana."

Kali ini Gista berada di titik bingung, apa yang harus ia lakukan. Apa sudah saatnya melaporkan mereka? Setidaknya dengan ruangan mereka yang ada di rooftop dan kertas yang Gista sita sudah bisa menjadi bukti semuanya. Namun, ia bimbang.

**

"Di sekolah ada beberapa murid yang bikin aku kepikiran banget," ucap Gista yang sedang berbaring di atas paha Cakra. "Mereka punya penyakit mental apa, ya?"

"Kenapa?"

"Aneh aja, katanya dia itu baik, tapi yang dilakukannya jauh dari kata baik," jawab Gista.

"Baik atau gak itu relatif, sama kayak cantik dan tampannya seseorang."

Sejenak Gista pun terdiam, ia mengulang kembali kalimat yang dikatakan oleh Cakra—relatif, sama halnya dengan Dani. Lelaki itu baik setiap berada di depan Gista, tidak dia saja bahkan ketiga temannya pun begitu.

"Emang mereka ngapain?" tanya Cakra. Tidak mungkin Gista mengatakan jika mereka ada hubungannya dengan lelaki yang bunuh diri di pasar beberapa hari yang lalu.

"Ya, bandel kayak biasa," balas Gista ragu sambil bangkit dari tidurnya, tetapi Cakra langsung menahan bahunya.

"Rebahan aja, Ay." Cakra kembali melanjutkan game-nya. "Mereka cowok?" tanya Cakra.

"Dua cowok, dua cewek," balas Gista. "Nah, satu lagi. Kata guru BK, yang cewek lebih serem dari pada yang cowok. Padahal di kelas mereka kayak siswa pada umunya," jelas Gista dan Cakra mengangguk paham.

"Aku mau ralat, deh. Jangan terlalu perhatian, nanti aku cemburu," ucap Cakra lalu mengecup puncak kepala Gista sambil menaruh ponselnya di atas meja.

Sudah paham gerak gerik selanjutnya, Gista mengalungkan tangannya ke leher Cakra, tersenyum tepat di depan matanya. Kali ini tidak ada yang mengganggu surga dunia yang dinikmati oleh dua insan, karena siang tadi Adnan dan keluarganya pergi dari rumah atas permintaan Cakra, dengan alasan siapa yang akan menempati rumah yang ia belikan untuk almarhum mamanya.

Di awali dengan bibir yang saling bertaut dan berakhir dengan desahan yang tak beraturan. Cakra masih ingat, pertama kali ia melakukannya dengan Gista. Seperti anak SD yang belum disuntik tapi sudah menangis, rasanya tidak tega. Namun, ternyata wanita itu mlaah menikmatinya.

**

"Pagi, sayang."

Satu kecupan kembali mendarat di atas rambut yang masih basah. Asap kopi hitam dengan bau khasnya memenuhi ruangan. Cakra memeluk pinggang Gista sambil menatap layar laptop yang memperlihatkan bagaimana cara masuk ke dalam kehidupan anak remaja.

"Jadi, kamu mau ngubah mereka?" tanya Cakra dan Gista menganggukkan kepala. Setidaknya untuk menyadarkan mereka jika jangan pernah bermain dengan nyawa.

Mata Cakra menyipit saat melihat tampilan yang memperlihatkan langkah apa yang harus dilakukan. "Kamu gak boleh lakuin ini, oke?" tunjuk Cakra pada urutan tiga dan empat, yaitu memberikan perhatian kecil dan membutanya nyaman, lalu melakukan pendekatan dari hati ke hati.

Gista tertawa sambil menggelengkan kepala, "Aneh banget, masa cemburunya sama anak sekolahan," timpal Gista.

**

Tepat jam istirahat, Gista bergegas menuju rooftop sekolah, firasatnya mengatakan jika Dani dan teman-temannya berada di sana, dan ternyata benar. Mereka ada di dalam ruangan kecil itu.

"Halo," sapa Gista sambil tersenyum. Berbeda dengan Dani ia tidak percaya jika gurunya akan menyapa mereka dengan raut wajah yang bersahabat.

Sudah dua kali Gista mendapati batang rokok bertengger di mulut mereka. Namun, Gista tidak memarahinya malah menyodorkan segenggam permen yang ia keluarkan dari kantong bajunya.

"Permen ini ajaib, sebelumnya dia pernah bikin orang selingkuh dari rokok," ucap Gista.

Dani menggaruk kepalanya lalu menggesek hidungnya. "Ibu gak marah?" tanya Dani.

"Ibu masih muda dan gak mau marah-marah, nanti cepat tua," balasnya ambil tersenyum dan kembali menyodorkan permen pada mereka.

Dani menganggukkan kepala, ia kembali menyalakan rokok miliknya. "Lagi pula, Ibu gak bakal marah," ucapnya sambil tersenyum pada temannya.

"Tapi, Ibu gak bisa kena asap rokok. Nanti, kalau Ibu pingsan di sini, kalian ketahuan sama sekolah, jadi ribet," jelas Gista sambil tersenyum.

Dani kembali memasukkan rokok ke dalam laci yang ada di dekatnya. Gista sedikit mencondongkan badannya dan di sana terdapat jenis rokok yang berbeda. "Enak semua?" tanya Gista.

Ben menggelengkan kepala, "Tiap rokok beda rasanya, Bu," balas Ben santai, tetapi Belva langsung memukulnya sambil membesarkan mata. Gista langsung tertawa.

"Santai aja, kalau di luar jam pelajaran, kita jadi teman, gimana?" tawar Gista. Semua tatapan langsung tertuju padanya. "Tapi, kayaknya Ibu bakal jadi obat nyamuk, kalian seperti duo couple yang udah cocok banget," sambungnya.

Kali ini Resta mendekati Gista. "Bener, Bu?" tanya Resta, tetapi Gista langsung membuat jarak antara mereka.

"Mulut lo," ujar Ben sambil melempar botol kecil pada Resta. Gadis itu langsung menyambutnya dan menyemprotkan ke dalam mulut. Bau rokok tidak lagi tercium.

"Bener, Bu? Tapi, iya, sih. Gak satu atau dua yang bilang kami jodoh. Kayak Resta, nih. Wajah Resta gak jauh beda sama Ben, terus, Bu. Perhatiin Dani sama Belva, deh. Sangarnya mirip, kan?" tanya Resta dengan semangat, tetapi berakhir dengan pukulan keras di kepalanya.

Gista melempar tatapan pada Ben, "Jangan kasar sama cewek," tunjuk Gista. Ben langsung menyatukan telapak tangannya dan meminta maaf pada Gista.

"Sama gue!" bentak Resta karena ia korban kekerasan Ben, bukannya Gista.

Benar dugaan Gista, mereka seperti siswa pada umumya, bahkan terlihat bersahabat saat bersama dengannya. Saling bertukar cerita dan Resta yang tidak pernah melepaskan pelukan dari Gista. "Berasa lagi meluk kakak," gumamnya.

Apa yang harus diubah jika mereka tidak pernah memperlihatkan perilaku buruknya, atau haruskah Gista mengikuti tanpa sepengetahuan mereka di luar sana? Tidak mungkin, itu terlalu gila.

**

"Belakangan ini kamu deket banget sama mereka," tunjuk Vina pada Dani dan temannya yang berjalan ke arah parkiran mobil. "Bahkan, udah jarang masuk BK juga," sambungnya.

Syukurlah, batin Gista. Namun, ia malah tersenyum, "Mungkin mereka juga udah capek masuk BK."

Belakangan ini pun, ia terus berusaha untuk masuk ke dalam dunia mereka, walau kadang kehadirannya sering tidak diterima.

"Kalian malu punya teman yang lebih tua kayak aku?" tanya Gista, sejenak mereka terdiam, se per detik kemudian Dani menggelengkan kepala.

"Kami cuma ngerasa gak pantas punya teman kaya Ibu," ucapnya.

Sepanjang jalan pulang, Gista malah terpikir dengan apa yang dikatakan Vina padanya. "Kamu jangan terlalu fokus sama mereka, lagi pula itu udah jadi tugas BK. Kalau pak Mahen tau, ribet juga. Entah kamu atau staf TU."

**

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang