Ketika kata nyaman sudah melekat, jarak tak pernah menjadi masalah. Tidak peduli jika Gista berhenti mengajar di kelas 11, tetapi mereka masih mencoba mendekat. Sesekali empat siswa itu selalu mencari jalan agar mereka bertemu. Kehadiran yang berhasil menghibur Gista entah dari masalah di rumah atau di sekolah.
Malas bergabung dengan para guru, Gista lebih sering pindah dari satu kelas ke kelas lain, ia jarang kembali ke kantor jika bukan jam pulang. Jika pun ada yang harus ia kerjakan, Gista akan berada di ruangan BK atau diperpustakaan, walau sesekali Ivan masih sering datang hanya untuk mengganggu kenyamanan Gista.
"Yah, gak bisa lagi sama anak kesayangan."
Gista tidak mempedulikannya, pekerjaannya masih banyak dan lebih bermanfaat dari pada mendengarkan Ivan yang tak pernah lelah mengikutinya. Namun, saat itu Dani datang dengan kue keju dan susu cokelat untuk Gista.
"Dimakan, Bu. Ngajar pun harus pakai tenaga." Dani tersenyum lalu melempar pandangannya pada Ivan. "Maaf, Pak, saya cuma bawa ini aja. Jadi, Bapak bisa beli sendiri, ya," ucapnya datar.
"Tapi, ini perpustakaan, gak boleh bawa makanan dan makan-makan," ucap Ivan kesal.
Gista tersenyum pada Dani, "Makasi, ya. Nanti Ibu makan, soalnya ini nanggung," ucap Gista pada Dani dan mengambil kue itu lalu memasukkan ke dalam tas. "Tenang, Pak. Saya gak bakal makan sekarang, nih, saya simpan." Gista menatap Ivan sambil tersenyum dan kembali mengerjakan pekerjaannya. Menyusun materi kelas sepuluh untuk diajarkannya setelah jam istirahat.
Ada raut kesal yang terlihat saat Ivan berjalan keluar dari perpustakaan, membuat Dani atau pun Gista tak kuasa menahan tawa.
Tidak peduli dengan omongan para guru, Gista malah semakin dekat dengan para siswanya. Bahkan, setiap pulang ia selalu mendapatkan tawaran pulang bersama dengan siswanya yang se arah, tetapi ditolak oleh Gista, ia tidak mau merepotkan.
"Kami bakal tampil yang terbaik, Ibu harus lihat kami, kami maksa," tunjuk Resta yang langsung dibalas dengan anggukan. "Oh, iya, suruh Ben yang ngantar aja, Bu, atau Dani?"
Gista menggelengkan kepala, tidak perlu. Lagi pula sebentar lagi mereka akan kembali berlatih. Sekilas ia tersenyum, melihat perubahan pada mereka. Walau masih jarang terliat berinteraksi dengan siswa lain setidaknya mereka sudah mulai masuk ke dalam lingkungan yang lain. Tak hanya itu, mereka masih mengunjungi tempat anak-anak jalanan. Bangganya Gista mengetahui jika mereka memberikan bantuan tanpa harus ada imbalan lagi.
Kue yang diberikan oleh Dani ternyata belum tersentuh dan tidak sengaja dilihat oleh Cakra saat mereka sudah sampai di rumah.
"Tumben banget kamu bawa makanan pulang," ujar Cakra mengambil kue yang sudah penyek karena tertindih oleh buku Gista di dalam tas.
"Itu, tadi ada yang ngasih di sekolah. Aku kelupaan makannya."
"Siapa?"
Beberapa detik Gista terdiam sebelum menyebutkan nama Dani, karena ia sudah tahu bagaimana respon Cakra saat mendengarkan nama siswanya.
"Kan udah aku bilang, om mindahin aku ke kelas sepuluh, jadi beberapa siswa masih ada yang peduli sama aku, bukan Dani aja," jelas Gista.
"Cowok?"
Gista menghela napas, jika sudah ada kata 'cowok' dan dijawab 'iya' Cakra akan langsung memperlihatkan kecemburuannya.
"Masa kamu masih cemburu, sih, sama siswa aku sendiri," jawab Gista, alih untuk mengatakan iya, tetapi jawaban Gista sudah memiliki makna 'iya' di dalam kepala Cakra.
Laki-laki itu mengusap rambutnya kasar, beberapa kali ia mengembuskan napas. Rasa cemburunya memang berlebihan, karena ia takut ada orang lain yang merebutnya.
"Aku pernah bilang sama kamu, gak apa-apa banyak yang sayang sama kamu, tapi jangan peduliin juga lah. Emang kamu gak bilang kalau kamu udah punya suami?"
Gista mengangkat tangannya dan memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manis. "Masih kurang? Apa perlu aku kasih pengumuman gitu? Emang aku siapa di sana, sayang? Aku cuma pegawai biasa. Lagi pula gak aku ladenin. Itu buktinya, kue sama minumannya gak aku makan," jelas Gista.
Tatapan yang diberikan mencoba untuk memastikan tidak ada kebohongan yang dijelaskan oleh Gista pada suaminya. Namun, Cakra pamit keluar kamar untuk mencari udara segar, satu sisi ia sadar jika sikapnya yang terlalu berlebihan. Selang beberapa menit, Cakra kembali masuk ke dalam kamar, menatap lekat mata Gista.
"Kamu mau jadi istri yang baik, gak?" Pertanyaan itu tentu mendapat balasan anggukan oleh Gista, siapa yang tidak mau menjadi istri yang baik. "Kamu berhenti kerja aja, ya? Aku udah kerja dan gaji aku udah mencukupi kita berdua, bahkan masih bisa buat kasih jajan Melody atau orang tua aku," sambung Cakra.
Gista langsung terdiam, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja, sedangkan mengajar adalah cita-citanya dari kecil. Namun, disatu sisi, permintaan itu terlontar dari mulut suaminya, apa yang harus ia lakukan? Bolehkah menentangnya?
**
Baru saja semalam Cakra memintanya untuk berhenti dan sesampainya di sekolah, Yongki memberikan cuti pada Gista. Bukan karena suaminya, tetapi karena Gista yang dituduh menerima suap.
"Tunggu sampai tenang dulu, ya?"
"Jadi, Om nuduh Adek nerima suap juga? Gak ada, loh. Emang atas dasar apa mereka nuduh gitu dan malah kayak gini!" Gista tak kuasa menahan amarahnya.
"Semua guru bilang gitu, Om bilang bakal proses kamu, untuk sekarang mending kamu ambil cuti sambil Om selesaiin semuanya, ya?"
Gista mengusap kepalanya. Kenapa dengan dunia ini, apa berbuat kebaikan adalah suatu kejahatan? Apa salahnya dengan dia yang berusaha mengubah beberapa orang untuk menjadi lebih baik?
Hari ini Gista masih diizinkan mengajar, lagi pula cuti yang diberikan hanya tiga hari. Semoga ada kabar baik setelah itu, karena ia tidak bisa jauh dari lingkungan sekolah ini. Masalah dengan Cakra, bisa ia bicarakan lagi ketika pikirannya tenang.
Namun, bukannya tenang, Cakra malah naik pitam. Ketika Gista mengatakan ia diberikan cuti karena dituduh menerima suap dari siswanya sendiri. Laki-laki itu tak segan mengunjungi rumah Yongki untuk menyalurkan emosinya. Ia tidak terima jika istrinya dikatakan menerima suap.
"Kalau bukan karena keinginan Gista buat jadi guru, saya gak bakal biarin dia ngajar. Gaji saya cukup buat dia, Om, bahkan bisa berlebih. Tapi, ini masalah harga diri, Om."
Yongki pun tidak dapat berkata-kata, karena posisinya berat. Satu sisi Gista adalah keponakannya dan di sisi lain, jika membela Gista dia yang dikatakan oleh bawahannya tidak kompeten karena melindungi keluarganya.
"Jalan tengahnya cuma itu, biarkan dia cuti selagi Om nyelesaiin semuanya," jelas Yongki untuk menenangkan Cakra.
Jalan hidup yang tak pernah terbayangkan malah terjadi. Anggapan tentang, ketika satu hal telah tercapai maka semua akan baik-baik saja, tetapi nyatanya semua itu salah, ketika telah tercapai saat itulah masalah akan muncul satu persatu.
**
"Apakah melakukan kebaikan itu adalah sebuah kejahatan?"
-Gista-
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
Ficção GeralNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...