Baru saja mematikan mesin mobilnya, Melody berlari ke arah Cakra. "Mama, Bang, mama," ucap Melody sambil menangis.
"Nyalain mobilnya lagi!" teriak Adnan pada anaknya, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Regina sehingga Adnan dan Gista menggendongnya keluar.
Melody membuka pintu belakang dan Cakra mengambil alih posisi Gista yang kesusahan. Gista terdiam saat isi mobil langsung penuh saat ia belum masuk.
"Papa aja yang bawa, kamu di depan berdua sama aku, gimana?" tanya Cakra.
"Gak usah, aku boleh pakai motor Melody?"
"Cepetan!" teriak Adnan dari dalam mobil.
Cakra tidak bisa membiarkan Gista sendiri, tapi Gista malah menyuruh Cakra pergi lebih dulu.
"Siapa yang mau ngunciin pintu, beresin yang berserakan di rumah. Nanti aku nyusul, oh, iya, motor kamu 'kan ada," ucap Gista sambil tersenyum dan menyuruh Cakra pergi.
"Ya udah, kunci ada di lemari dekat TV. Kamu hati-hati."
Gista memberikan anggukan dan menatap mobil yang mulai menjauh darinya. Gista langsung membersihkan lantai yang licin karena minyak goreng berserakan di bawah. Pantas saja Regina bisa jatuh. Punggung Regina tidak bisa digerakkan, karena posisi jatuhnya yang telentang.
Setelah merapikan semuanya, Gista menyusul ke rumah sakit yang tidak jauh dari rumah Adnan dengan motor milik Cakra. Ternyata, jalanan tidak bisa diajak bekerja sama. Gista masuk pada setiap celah kendaraan di depannya dan ternyata mobil Cakra terkurung di antara banyaknya mobil lain.
Gista menepikan motor dan berjalan ke tengah jalan, meminta pengendara lain menepi karena Regina harus cepat dilarikan ke rumah sakit. Di bawah terik matahari dan panasnya kota, Gista memohon pada yang lain, bahkan mengabaikan beberapa orang yang marah padanya.
"Emangnya Anda aja yang terdesak!" bentak laki-laki tua dengan perut buncit seperti hamil sembilan bulan.
Gista berlari ke arah mobil Cakra, dan betapa kagetnya Cakra melihat wajah Gista yang memerah di luar sana.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Cakra, dan langsung dibalas dengan anggukan.
"Nyalain klaksonnya, biar aku di depan," ucap Gista dan kembali meminta jalan pada yang lain.
"Maaf, Pak, Buk. Tapi, mama saya harus di bawa ke rumah sakit."
Gista mengambil kembali motornya, dan melajukan tepat di depan mobil Cakra. Memberi tanda darurat dan akhirnya mereka bisa keluar dari kemacetan yang cukup padat. Gista mengiringi dengan laju yang kencang.
Cakra tidak tahu jika Gista memiliki sisi gila seperti itu, bahkan ia tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Baru saja sampai di depan gerbang rumah sakit, Gista memarkirkan motornya yang berjarak jauh dengan Cakra.
Gista melihat tangannya yang memerah. "Panasnya gak nanggung," gumamnya sambil berjalan menuyusul Cakra.
Langkah Gista terhenti saat melihat laki-laki dewasa menampar seorang remaja di tengah keramaian, tetapi tidak ada satu pun yang tergerak hatinya untuk menjauhkan laki-laki itu. Gista pun mendekat, ternyata orang itu adalah muridnya—Dani.
Satu tamparan kembali mendarat, "Gak guna kamu ada di dunia ini!" bentak laki-laki yang tidak terlalu tua dengan wajah yang memerah.
Gista langsung menghampiri Dani dan menarik tangannya. Laki-laki itu masih terdiam saat Gista berhadapan langsung dengan papanya.
"Anda siapa? Jangan ikut campur!" teriaknya marah.
"Saya gurunya," tatap Gista.
"Anda gak ada urusannya sama anak saya!" Laki-laki itu menarik paksa Dani dari belakang Gista dan langsung ditepis.
"Kekerasan pada anak dan di bawah umur, walau Anda orang tuanya, saya bisa nuntut Anda. Ini sama aja melecehkan anak. Ini keramaian, anak tidak bisa dimarahi, atau bahkan ditampar," jelas Gista dan kembali membawa Belva.
"Anda yang pergi atau saya?" tanya Gista.
"Ya, Anda!" tunjuknya.
Gista menganggukkan kepala, lalu pergi sambil menarik tangan Dani menjauh dari keramaian. Cukup hari saja yang panas, batin Gista saat itu sambil menetralkan suasana hatinya.
"Dani!"
Langkahnya terhenti, "Ini tengah hari dan panas. Kamu mau lanjut ditampar terus hidung kamu berdarah?" tanya Gista, Dani hanya menatap. "Ya udah, biarin aja." Gista kembali menarik tangan Dani masuk ke dalam koridor rumah sakit. Setidaknya di dalam sana, tidak terlalu panas.
Tatapan Dani terus tertuju pada Gista, ia sadar umur mereka sangat jauh, tetapi Dani merasakan kenyaman saat bersama Gista. Entah karena Gista yang terlalu baik, atau hati Dani yang seenaknya mencintai wanita yang jelas tua darinya.
"Ibu kenapa di sini?" tanya Dani lebih dulu sebelum Gista bertanya kepadanya.
Gista melirik ponsel dan memperlihatkan panggilan masuk, "Bentar, ya." Tidak sampai beberapa detik, Gista kembali pada Dani. "Ibu duluan, ya. Ada keluarga yang baru masuk tadi pagi," jelasnya pada Dani.
Baru beberapa langkah, Gista berbalik dan berdiri di hadapan Dani. "Walau kamu salah, tapi gak seharusnya kamu biarin papa kamu mempermalukan kamu di tempat umum. Kalau kayak gitu, kamu boleh kok ngelawan," ucap Gista sambil mengusap bahu Dani dan pergi menuju UGD
**
Cakra menunduk sambil menyatukan kedua tangannya, bukan masalah biaya rumah sakit yang ia pikirkan, tetapi siapa yang akan merawat Regina selama masa pemulihan punggungnya. Karena untuk saat ini, duduk pun ia tidak bisa.
"Papa orangnya gak sabaran, dan Melody sibuk kuliah. Kadang ada kelas malam," jelas Cakra.
Gista mengusap punggung Cakra, situasi yang sulit karena Regina tidak mau diurus orang lain yang tidak ia kenal.
"Aku mau jagain, tapi kalau udah pulang ngajar. Dan aku punya rekomendasi, tapi gak tau kamu bakal izinin." Gista melirik Cakra.
"Siapa?"
"Tetangga kita, mak Ay," ucap Gista, ia takut Cakra tidak menyetujui karena Laras mamanya Wildan.
"Kenapa harus marah? Emang dia mau?"
"Soalnya mama Wildan."
Cakra tersenyum dan mengusap kepala Gista. "Yang rawat 'kan mamanya, bukan Wildannya. Emangnya dia mau?'
"Gak tau sekarang, tapi dulu waktu aku kecil, dia ngerawat anak tetangga yang orang tuanya sibuk kerja."
"Hee, itu 'kan anak-anak. Tapi, kita tanya aja, ya." Gista menganggukkan kepala. Lagi pula, Laras tidak memiliki pekerjaan selain berbicara dengan tanamannya setiap pagi. Sejenak mereka terdiam, memandangi satu persatu wajah yang ada di rumah sakit.
"Aku jadi kepikiran," ucap Gista lalu menatap Cakra. "Kalau aku ada di posisi itu, kamu bakal sewain orang lain juga?"
Cakra melingkarkan tangan di pinggang dan menaruh kepalanya di bahu Gista. "Kalau masih ada aku, buat apa nyuruh orang lain. Prinsip aku seseorang yang udah jadi milik aku, aku bakal jaga dia apapun keadaannya. Karena itu tanggung jawab aku."
Gista meniupkan napasnya lalu tersenyum. "Kalimat itu aku rekam, loh. Walau gak ada surat tertulisnya, tapi aku anggap itu janji kamu."
"Iya, sayang."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
Ficción GeneralNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...