"Percaya kalau nanti Gista bakal jadi guru?" tanya gadis dengan seragam putih merah yang ia kenakan pada laki-laki yang ada di sebelahnya.
"Gak percaya, kata papa Wildan. Selain percaya sama rukun iman, nanti dibilang musyrik," timpal temannya sambil memainkan mainan robot di tangannya. "Tapi, banyak teman kita pas ditanya guru di kelas, cita-cita apa? Pasti jawabannya guru semua dan kata mama Wildan dia dulu juga cita-citanya mau jadi guru, eh sekarang malah jadi ibu rumah tangga aja," sambungnya tanpa melihat pada Gista.
Wanita dengan seragam dinas cokelat berjalan menuju gerbang sambil tersenyum, teringat dengan teman kecilnya dulu. Wildan salah, buktinya cita-cita Gista terwujud menjadi guru dan bukan ibu rumah tangga.
Satu persatu siswa dengan seragam putih abu-abunya melewati Gista. Ada yang tersenyum menyapa, lalu berbisik dengan teman sebelahnya. Dan ada juga yang terlihat biasa saja, seakan tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya.
Empat siswa berlari tepat di samping Gista diiringi dengan teriakan laki-laki dewasa di belakang.
"Hoi kalian!" tunjuk Mahendra dengan penggaris kayu yang berukuran satu meter.
Dan lagi, Gista kembali mengukir senyum. Karena saat SMA dulu pun ia pernah menjadi empat siswa yang baru saja berlari di sampingnya.
Sebelumnya, kepala sekolah yang bertugas di SMA 2 Bung Hatta sudah membekali Gista. Mulai dari lingkungan sekolah, hingga sifat dari guru lain yang mengajar.
"Ini alasannya orang dalam diperlukan," batin Gista saat masuk ke ruangan guru dan mulai menyapa satu persatu guru yang ada di dalam sembari berkenalan.
"Gista," salam Gista pada wanita yang ada di meja sebelahnya.
"Fariza," sambutnya sambil tersenyum. "Guru Matematika," sambungnya.
Gista mengangguk sambil tersenyum, dia pun juga sudah tahu. Karena disetiap meja tertulis bidang studi yang mereka ajar.
Setelah bel berbunyi, satu persatu guru meninggalkan meja dan berjalan menuju ke kelas yang akan mereka ajar.
"Ada kelas pagi, Bu?" tanya Fariza pada Gista yang masih merapikan mejanya.
"Iya, ada. Kelas 11 IPS 2," jawab Gista.
Hanya anggukan kepala yang diberikan. Tanpa Gista sadari, Fariza menunggunya berkemas.
"Sekalian bareng, saya ngajar di IPS 1-nya," jelas Fariza tanpa ditanya.
Gista, si wanita yang seakan tak lelah untuk tersenyum. Bahkan, disepanjang jalan dengan guru lainnya ia selalu memamerkan senyuman yang memikat setiap mata yang melihat.
Masuk ke dalam ruangan yang hanya bersikan 25 siswa. Gista menatap semua siswa dan melempar senyum sapaan. Perkenalan ini sudah disiapkan Gista dari jauh hari, jadi tidak akan terasa canggung, namun tetap saja ia masih merasa canggung.
"Canggung juga, ya. Walau yang natap muda dari aku," batin Gista.
Perkenalan nama, asal, dan lulus sudah dilakukan dengan baik. Namun, masih ada siswa yang menanyakan apakah Gista sudah memiliki pasangan?
Pertanyaan legenda, bahkan pertanyaan itu sudah ada semenjak ia SMA dulu.
"Sama saya gak perlu ribet, tapi yang harus dipegang saat jam pelajaran adalah saling menghargai. Adek-adek menghargai saya, saya akan menghargai balik. Kuncinya itu saja. Bercanda? Tentu boleh, tapi ingat waktu, kapan harus bercanda dan kapan kita serius," jelas Gista di depan kelas.
"Ah satu lagi, jangan terlalu serius sama saya, nanti suka," sambung Gista sambil menahan senyum di bibirnya.
Satu kelas dibuat tertawa, dan beberapa siswa laki-laki menahan dadanya. Bahkan, ada yang jatuh ke lantai membuat Gista menggelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
Ficción GeneralNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...